Pada awal tahun 2025, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi baru dengan diberlakukannya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. PPN adalah pajak yang dikenakan pada penjualan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang secara langsung mempengaruhi harga barang dan jasa.
Pajak ini dibebankan kepada konsumen, sementara Pengusaha Kena Pajak (PKP) bertanggung jawab untuk menyetorkannya ke kas negara. Sebagai pajak tidak langsung yang tidak bersifat kumulatif, PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang muncul dalam setiap tahapan produksi serta distribusi.
Berdasarkan Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, terdapat dua kategori pihak yang dikenai PPN, yaitu PKP dan Non-PKP. PKP wajib mengumpulkan dan menyetorkan PPN kepada negara, sedangkan Non-PKP tetap membayar PPN saat membeli barang atau jasa yang dikenakan pajak. Meski demikian, Non-PKP tidak memiliki hak mengklaim kredit Pajak Masukan saat bertransaksi dengan barang atau jasa yang dikenakan PPN.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% bertujuan meningkatkan penerimaan negara guna mendukung program pembangunan serta mengurangi defisit fiskal. Untuk mengurangi dampak negatif, pemerintah menyiapkan 15 paket stimulus ekonomi senilai Rp38,6 triliun untuk membantu rumah tangga berpenghasilan rendah, kelas menengah, serta pelaku usaha, terutama UMKM dan sektor industri padat karya.
Selain itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024, PPN 12% hanya akan dikenakan pada barang tertentu, terutama barang mewah seperti kendaraan bermotor, rumah, apartemen, serta kapal pesiar yang tidak digunakan sebagai transportasi umum.
Kenaikan PPN ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan untuk memperkuat stabilitas fiskal setelah pandemi Covid-19 yang menyebabkan ketidakstabilan keuangan serta penurunan pendapatan pajak.
Langkah ini juga bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dan menyesuaikan tarif pajak dengan standar internasional. Kenaikan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan diberlakukan secara bertahap.
Namun, kebijakan ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Banyak yang khawatir terhadap kenaikan harga barang dan jasa yang dapat meningkatkan beban hidup, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.
Para ekonom juga menyatakan kekhawatiran bahwa kenaikan tarif PPN di tengah proses pemulihan ekonomi bisa menurunkan daya beli masyarakat serta memperlambat konsumsi dalam negeri, yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Meskipun kebijakan ini lebih banyak diterapkan pada barang mewah, dampaknya tetap dapat dirasakan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) jika kenaikan PPN berujung pada inflasi. Kenaikan harga barang dan biaya produksi bisa menyebabkan daya beli konsumen menurun, sehingga mempengaruhi pendapatan pelaku usaha kecil.
Secara matematis, kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% bukan hanya sekadar 1% tambahan, melainkan secara efektif mencerminkan kenaikan sebesar 9,09%. Hal ini dikarenakan perhitungan dilakukan berdasarkan selisih nilai pajak yang dikenakan sebelumnya.
Sebagai contoh, jika barang dengan harga Rp100.000 dikenakan PPN 12%, maka total harga menjadi Rp112.000, di mana pajak yang terutang adalah Rp12.000. Sebaliknya, jika PPN 11%, maka pajak yang terutang adalah Rp11.000. Selisih kenaikan ini dapat dihitung dengan rumus berikut:
(12.000 – 11.000) / 11.000 x 100% = 9,09%
Dengan adanya kenaikan ini, pengeluaran bulanan rumah tangga juga berpotensi meningkat. Sebagai gambaran, rumah tangga dengan pengeluaran Rp5 juta yang sebelumnya mencakup PPN 11%, setelah tarif naik menjadi 12% akan mengalami kenaikan pengeluaran sekitar Rp45.045. Peningkatan ini tentunya akan berpengaruh pada pola konsumsi masyarakat secara luas.
Selain itu, kenaikan tarif PPN bisa mendorong pergeseran perilaku belanja, di mana masyarakat cenderung mengurangi pembelian barang-barang non-esensial dan lebih memilih produk dengan harga yang lebih terjangkau. Kebijakan ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi, mengingat kelompok berpenghasilan rendah lebih terdampak dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.
Untuk mengurangi dampak negatif kebijakan ini, pemerintah perlu memastikan adanya kebijakan pendukung seperti subsidi untuk barang kebutuhan pokok, distribusi bantuan sosial yang lebih optimal, serta edukasi perpajakan secara komprehensif.
Langkah-langkah ini dapat membantu mengurangi beban masyarakat akibat kenaikan tarif PPN dan memastikan bahwa kebijakan pajak ini tetap sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Referensi
- Atiqoh, U. N. (2024). Kenaikan PPN 12 Persen : Bagaimana Dampak dan Implikasinya bagi Masyarakat? Retrieved 26 Maret 2025, from https://istanagaruda.net/dampak-kenaikan-ppn-12-persen-bagi-masyarakat/
- Corneles, R. Y. (n.d.). Dampak Kenaikan PPN 12% terhadap Perekonomian dan Konsumen di Indonesia. Binus University. https://binus.ac.id/bekasi/2025/02/dampak-kenaikan-ppn-12-terhadap-perekonomian-dan-konsumen-di-indonesia/
- Fitriya. (2025, Januari). Pajak Pertambahan Nilai dan Regulasi Tarif PPN Terbaru 2025. Mekari Klikpajak. Retrieved 26 Maret 2025, from https://klikpajak.id/blog/pajak-pertambahan-nilai-ppn/
- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2025, Januari). Presiden Prabowo Subianto Tegaskan Pemberlakuan PPN 12% Hanya Dikenakan Terhadap Barang dan Jasa Mewah. Kementerian
- Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Retrieved 26 Maret 2025, from https://ekon.go.id/publikasi/detail/6122/presiden-prabowo-subianto-tegaskan-pemberlakuan-ppn-12-hanya-dikenakan-terhadap-barang-dan-jasa-mewah
- Nasly, S. 2024. Fakta Kenaikan Tarif PPN 12%, Resmi Bukan Hanya Barang Mewah. Retrived 27 Maret 2025, from https://artikel.pajakku.com/fakta-kenaikan-tarif-ppn-12-resmi-bukan-hanya-barang-mewah/
- Ruang Menyala. 2024. Hitung-Hitungan Belanja dan Pengeluaran Jika PPN Jadi 12%. Retrived 27 Maret 2025, from https://www.ruangmenyala.com/article/read/hitung-hitungan-belanja-dan-pengeluaran-jika-ppn-jadi-12