Demokrasi di Indonesia kian hari kian kehilangan ruhnya. Apa yang dulu dijanjikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, kini terasa seperti panggung besar yang dikuasai segelintir elite politik. Mereka memegang kendali dengan kekuatan modal dan jejaring kekuasaan, sementara suara rakyat perlahan teredam di tengah gemuruh kepentingan kelompok.
Setiap menjelang pemilu, rakyat menjadi pusat perhatian. Janji manis dan slogan perubahan menghiasi ruang publik, seolah aspirasi masyarakat menjadi kompas arah kebijakan. Namun, begitu kotak suara ditutup dan kursi kekuasaan terisi, janji-janji itu berubah menjadi gema kosong.
Rakyat kembali menjadi penonton yang hanya dipanggil ketika dibutuhkan, bukan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyentuh hidup mereka.
Krisis kepercayaan pun merebak. Banyak warga yang merasa tidak ada bedanya siapa pun yang duduk di tampuk kekuasaan karena sistem yang mereka layani tetap sama: sistem yang mengutamakan kepentingan elite.
Sikap apatis yang tumbuh dari kekecewaan ini menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan demokrasi. Sebab, tanpa kepercayaan rakyat, demokrasi hanya tinggal ritual lima tahunan tanpa makna substantif.
Lebih parah lagi, praktik politik uang dan politik dinasti masih merajalela. Kekuasaan diwariskan layaknya harta keluarga, sementara jabatan publik sering kali dibeli dengan rupiah, bukan diraih dengan integritas. Akibatnya, demokrasi kehilangan daya seleksinya terhadap kualitas kepemimpinan. Yang muncul bukan pemimpin visioner, melainkan pewaris kekuasaan.
Namun, secercah harapan tetap ada. Generasi muda kini menunjukkan perlawanan melalui ruang digital dan gerakan sosial. Mereka memanfaatkan media sosial untuk mengawasi kebijakan publik, mengkritik ketidakadilan, dan menuntut transparansi. Gerakan ini menunjukkan bahwa kesadaran politik tidak mati ia hanya mencari wadah baru yang lebih jujur dan terbuka.
Tantangan terbesar bagi pemerintah dan partai politik hari ini adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan rakyat. Legitimasi tidak cukup hanya lahir dari kemenangan pemilu, tetapi harus tumbuh dari kejujuran dan kerja nyata dalam menyejahterakan masyarakat. Politik seharusnya kembali ke akarnya: memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memperkaya segelintir orang.
Jika rakyat terus diposisikan hanya sebagai alat politik, maka demokrasi akan sekarat dalam kemegahannya sendiri. Sudah saatnya kekuasaan kembali berpijak pada suara rakyat, bukan pada kepentingan elite. Karena sejatinya, tanpa rakyat, politik kehilangan maknanya dan demokrasi kehilangan jiwanya.





