Dalam Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, tergambar jelas bahwa Islam telah menjadi bagian integral dalam perjalanan historis bangsa Indonesia. Sejak era kebangkitan nasional hingga kini, Islam telah memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran kolektif bangsa.
Meski organisasi Boedi Oetomo sering disebut sebagai pelopor gerakan nasional, perannya dianggap belum mampu merangkul seluruh elemen masyarakat, terutama karena eksklusivitas keanggotaannya yang terbatas pada suku Jawa.
Kekosongan ini diisi oleh Serikat Dagang Islam (SDI) yang hadir dengan visi inklusif berdasarkan ikatan keagamaan, yakni Islam. Dengan masyarakat Hindia Belanda yang mayoritas beragama Islam, organisasi ini cepat memperoleh simpati dan dukungan luas, tidak hanya dari kalangan pedagang, tetapi juga dari masyarakat umum.
Seiring waktu, SDI yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, mulai memperluas orientasi gerakannya. Awalnya berdiri untuk mengimbangi dominasi perdagangan etnis Tionghoa, SI kemudian menyadari bahwa persoalan yang dihadapi rakyat bukan semata-mata persaingan ekonomi, tetapi penindasan struktural yang dilakukan oleh modal asing melalui kekuasaan kolonial.
Penindasan tersebut mewujud dalam pembangunan pabrik dan perkebunan, seperti industri gula yang secara brutal mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya lokal. Dalam situasi ini, tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen mulai menggeser arah perjuangan menuju perlawanan terhadap sistem kapitalistik yang ditegakkan pemerintah kolonial. Dari sini, embrio gerakan kiri di Indonesia lahir dan tumbuh.
Namun kini, muncul pertanyaan besar: Apakah Islam masih menjadi kekuatan penting dalam politik nasional, atau justru terjebak dalam kubangan politik praktis? Apakah populisme Islam hari ini benar-benar bergerak melawan penindasan, atau hanya menjadi jembatan untuk meraih kekuasaan?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat relevan dalam konteks politik Indonesia kontemporer. Sebab, Islam tidak hanya eksis sebagai agama, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang besar. Ironisnya, kuantitas yang besar ini tidak dibarengi dengan kualitas gerakan yang konsisten dan transformatif. Gerakan Islam kini tampak terfragmentasi oleh kepentingan-kepentingan politik jangka pendek yang melemahkan posisi umat sebagai aktor perubahan sosial.
Populisme yang mengatasnamakan Islam seperti dalam Gerakan 212, politisi yang menggandeng ulama sebagai pasangan atau juru kampanye, serta mobilisasi massa melalui ormas-ormas besar, tampak lebih sebagai strategi elektoral dibanding perjuangan ideologis. Yang patut dikritisi adalah kenyataan bahwa semua gerakan tersebut berujung pada dukungan politik praktis, bukan perubahan struktural atau kebijakan yang berpihak pada umat.
Dalam praktiknya, Islam kerap diposisikan sebagai objek—diseleksi, dijinakkan, dan dieksploitasi untuk kepentingan suara. Islam diistimewakan dalam jumlah, bukan dalam nilai atau arah perjuangannya. Suara umat lebih sering dimanfaatkan sebagai modal elektoral, bukan sebagai dorongan moral untuk memperbaiki kondisi sosial-politik bangsa.
Populisme Islam hari ini gagal merumuskan peta perjuangan melawan penindasan, padahal ajaran Islam secara tegas menolak segala bentuk ketidakadilan, baik terhadap manusia maupun alam.
Sayangnya, belum terlihat ada gerakan Islam besar yang konsisten menyuarakan isu-isu ekologis atau eksploitasi sumber daya alam. Tak ada pula suara lantang dari organisasi Islam besar yang membela kaum miskin yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi yang timpang.
Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan Islam lebih pasif dan selektif dalam menyikapi realitas sosial. Tokoh-tokoh agama dan pimpinan organisasi Islam tampak enggan menyuarakan penderitaan rakyat dengan semangat yang sama seperti saat mereka terlibat dalam kampanye politik.
Secara kuantitatif, posisi Islam saat ini serupa dengan zaman Hindia Belanda: menjadi mayoritas. Namun secara kualitas, perannya sebagai pelopor perubahan sosial belum terlihat. Islam kehilangan arah dalam membedakan siapa publik dan siapa elite, siapa yang perlu didukung dan siapa yang harus dikritisi. Umat Islam kehilangan orientasi sebagai nodal point atau simpul utama dalam gerakan melawan penindasan.
Namun bukan berarti situasi ini tidak bisa diubah. Sejarah menunjukkan bahwa Islam pernah menjadi kekuatan perlawanan yang signifikan, seperti yang dilakukan oleh Syarikat Islam terhadap kolonialisme Belanda.
Walaupun konteks pemerintahan saat ini berbeda, penindasan dalam bentuk baru tetap ada. Ekspansi modal, penggusuran atas nama pembangunan, eksploitasi alam, dan ketimpangan ekonomi adalah bentuk-bentuk penindasan modern yang harus dihadapi dengan semangat perlawanan yang sama.
Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk merumuskan kembali common sense atau keresahan bersama umat Islam. Perlu ada peta jalan yang jelas, dimulai dari menyadari realitas secara objektif, berpihak pada kaum tertindas, serta menegakkan nilai-nilai kebenaran sesuai ajaran Islam.
Umat Islam juga harus berani menetapkan common enemy, musuh bersama yang sejatinya adalah para penindas yang menggunakan kekuasaan dan modal untuk memperlemah rakyat.
Islam memang mengajarkan untuk patuh kepada ulil amri, tetapi kepatuhan ini tidak bersifat absolut. Jika pemimpin tersebut melakukan penindasan terhadap rakyat atau mengeksploitasi alam, maka justru Islam mengajarkan untuk melawan dengan cara yang benar dan bermartabat. Dalam hal ini, Islam bukan sekadar ajaran spiritual, tetapi juga sistem nilai yang menyatu dengan etika sosial.
Apabila sejarah benar-benar seperti roda yang berputar, maka sudah waktunya Islam kembali mengambil peran aktif sebagai kekuatan progresif dalam melawan penindasan struktural. Peran itu tidak bisa dicapai jika umat Islam terus-menerus menjadi alat dalam politik praktis.
Sebaliknya, Islam harus menjadi subjek yang menentukan arah politik nasional demi terwujudnya negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur—sebuah negeri yang baik dan diridhai oleh Tuhan.





