Abstrak
Di era media sosial, praktik pengungkapan diri tidak lagi berlangsung secara bertahap sebagaimana dijelaskan dalam Teori Penetrasi Sosial oleh Altman dan Taylor. Munculnya fenomena oversharing—kecenderungan membagikan informasi pribadi secara berlebihan dan spontan—telah mengubah dinamika komunikasi interpersonal dan memunculkan tantangan baru terhadap batas-batas privasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana praktik oversharing memengaruhi relevansi Teori Penetrasi Sosial serta mengidentifikasi risiko privasi yang muncul dalam konteks komunikasi digital. Menggunakan pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap delapan informan yang aktif menggunakan media sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun media sosial mempercepat proses pengungkapan diri, kedalaman dan makna relasi yang terbentuk sering kali bersifat dangkal. Individu juga menghadapi dilema antara kebutuhan akan koneksi sosial dan perlindungan terhadap privasi pribadi.
Kata Kunci: Teori Penetrasi Sosial, Oversharing, Privasi, Pengungkapan Diri, Media Sosial
Abstract: In the era of social media, self-disclosure practices no longer take place gradually as described in Altman and Taylor’s Social Penetration Theory. The rise of oversharing-the tendency to share personal information excessively and spontaneously-has changed the dynamics of interpersonal communication and posed new challenges to the boundaries of privacy. This study aims to analyze how oversharing practices affect the relevance of social penetration theory and identify privacy risks that arise in the context of digital communication. Using a qualitative approach, data was collected through in-depth interviews with eight informants who actively use social media. The results show that although social media accelerates the process of self-disclosure, the depth and meaning of the relationships formed are often superficial. Individuals also face a dilemma between the need for social connection and the protection of personal privacy.
Keywords: Social Penetration Theory, Oversharing, Privacy, Self-Disclosure, Social Media
Pendahuluan
Teori Penetrasi Sosial, yang dikemukakan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor pada tahun 1973, merupakan salah satu teori penting dalam kajian komunikasi interpersonal. Teori ini menjelaskan bahwa hubungan antarindividu tidak serta-merta menjadi dekat atau intim, melainkan berkembang melalui proses pengungkapan diri (self-disclosure) yang bertahap.
Proses ini diibaratkan seperti mengupas lapisan bawang: dimulai dari lapisan luar yang berisi informasi umum, lalu semakin ke dalam mengungkap hal-hal yang bersifat pribadi, emosional, dan intim. Semakin dalam informasi yang dibagikan, maka semakin tinggi pula tingkat kedekatan yang tercipta antara individu. Dengan demikian, keterbukaan dalam komunikasi menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan dan keintiman emosional dalam suatu hubungan.
Namun, teori ini lahir pada era ketika komunikasi masih berlangsung secara tatap muka dan terbatas dalam ruang fisik tertentu. Seiring perkembangan zaman, terutama dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pola interaksi manusia mengalami transformasi besar.
Kemunculan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter telah mengubah cara individu membangun dan memelihara hubungan. Di platform-platform ini, proses pengungkapan diri tidak lagi berjalan secara bertahap seperti yang dijelaskan dalam teori klasik tersebut.
Kini, banyak individu justru cenderung membagikan informasi pribadi secara cepat, spontan, dan dalam jumlah besar. Fenomena ini dikenal dengan istilah oversharing, yaitu kecenderungan untuk mengunggah atau menyampaikan informasi pribadi yang seharusnya bersifat privat kepada publik, tanpa memperhatikan batasan atau dampaknya.
Praktik oversharing ini menimbulkan dilema atau paradoks dalam konteks komunikasi interpersonal. Di satu sisi, keterbukaan yang tinggi dapat menciptakan kesan kedekatan dan keintiman secara cepat, misalnya ketika seseorang membagikan pengalaman pribadi di media sosial dan mendapat respons empatik dari orang lain.
Namun di sisi lain, keterbukaan yang berlebihan ini berpotensi mengaburkan batas antara ruang privat dan publik, yang pada akhirnya dapat mengancam privasi individu. Selain itu, hubungan yang terjalin melalui keterbukaan instan tersebut sering kali bersifat superfisial atau semu, karena tidak dibangun atas dasar kedekatan emosional yang berkembang secara alami.
Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah proses pengungkapan diri yang dijelaskan dalam Teori Penetrasi Sosial masih relevan di tengah budaya digital yang mendorong keterbukaan seketika?
Dalam konteks inilah, penelitian ini menjadi signifikan. Perubahan cara individu membagikan informasi pribadi di media sosial perlu ditinjau ulang dalam kerangka teori yang telah lama digunakan untuk memahami dinamika komunikasi interpersonal.
Penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk mengkaji kembali relevansi Teori Penetrasi Sosial di era digital, tetapi juga untuk memahami bagaimana individu saat ini mengelola pengungkapan diri dan menjaga privasi mereka di tengah arus informasi yang begitu terbuka. Selain itu, studi ini juga berusaha mengidentifikasi bagaimana media sosial telah membentuk ulang pola kedekatan dan kepercayaan dalam relasi antarpersonal.
Apakah keintiman masih bermakna ketika semua orang bisa langsung tahu informasi pribadi kita? Atau justru kita telah kehilangan makna mendalam dari hubungan itu sendiri? Dengan menggali pertanyaanpertanyaan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang komunikasi interpersonal di era mode
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus untuk memahami dinamika pengungkapan diri dan persoalan privasi di media sosial dalam kerangka Teori Penetrasi Sosial. Pendekatan ini dipilih karena sesuai untuk menggali pengalaman, persepsi, dan makna subjektif dari individu mengenai oversharing.
Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap delapan informan yang dipilih secara purposif, dengan kriteria:
- Aktif menggunakan media sosial seperti Instagram dan TikTok
- Berusia antara 19–21 tahun
- Secara sadar membagikan informasi pribadi mereka di platform tersebut. Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur, sehingga informan tetap memiliki kebebasan untuk bercerita berdasarkan pengalaman pribadi mereka, namun tetap dalam batasan topik yang telah ditentukan
Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur agar informan bebas bercerita, namun tetap dalam koridor topik penelitian. Data dianalisis dengan teknik analisis tematik untuk menemukan pola, tema, dan isu penting dari narasi informan. Validitas data dijaga melalui triangulasi sumber dan member checking.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana praktik oversharing di media sosial terjadi dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana hal tersebut berhubungan dengan proses pengungkapan diri menurut Teori Penetrasi Sosial. Berdasarkan wawancara mendalam dengan delapan informan, ditemukan beberapa tema utama yang mencerminkan dinamika pengungkapan diri dan tantangan privasi di era digital. Tema-tema tersebut antara lain yaitu:
- Motivasi mengungkapkan informasi pribadi,
- Persepsi terhadap batas privasi,
- Peran media sosial dalam membentuk identitas,
- Kesadaran terhadap risiko oversharing.
1. Motivasi Mengungkapkan Informasi Pribadi
Sebagian besar informan menyatakan bahwa mereka membagikan informasi pribadi untuk terhubung dengan orang lain, mencari validasi, atau mengekspresikan diri. Media sosial dianggap sebagai ruang aman untuk mencurahkan perasaan.
“Aku kadang upload curhatan di story karena ngerasa kayak lega aja gitu. Kadang ada yang respon, kadang enggak, tapi kayak udah cukup bisa ‘keluarin’ uneg-uneg.”
— Informan F, 21 tahun
Hal ini mendukung gagasan dalam Teori Penetrasi Sosial, namun juga menunjukkan adanya fungsi personal seperti pelepasan emosi.
2. Persepsi terhadap Batas Privasi
Persepsi mengenai privasi bersifat subjektif. Beberapa informan nyaman membagikan hal sensitif, sementara lainnya lebih selektif.
“Menurutku, selama itu enggak nyebutin nama orang atau terlalu detail, ya enggak apa-apa sih. Itu kan cerita aku.”
— Informan A, 21 tahun
Hal ini memperlihatkan bahwa proses penetrasi sosial tidak selalu linear dan dipengaruhi oleh konteks serta kebutuhan individu.
3. Peran Media Sosial dalam Pembentukan Identitas
Banyak informan menyebut bahwa membagikan kehidupan pribadi adalah bagian dari membentuk citra diri di media sosial.
“Kalau aku enggak ngepost apa-apa, orang tuh kayak mikir aku enggak punya hidup. Padahal ya kadang sengaja aja biar kesannya aktif.”
— Informan D, 20 tahun
Ini menunjukkan bahwa media sosial adalah ruang representasi diri yang memengaruhi proses pengungkapan.
4. Kesadaran terhadap Risiko Oversharing
Mayoritas informan sadar akan risiko oversharing, namun sering kali tetap melakukannya karena dorongan emosional.
“Kadang mikir juga sih, ini bakal jadi masalah enggak ya ke depannya. Tapi kadang udah ke-post duluan, baru nyadar.”
— Informan B, 19 tahun
Kondisi ini memperlihatkan dilema antara kebutuhan mengekspresikan diri dan menjaga batas privasi.
Pembahasan
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku oversharing di media sosial tidak bisa dipahami hanya sebagai bentuk keterbukaan atau usaha menjalin kedekatan dengan orang lain. Dalam Teori Penetrasi Sosial, pengungkapan diri biasanya berlangsung secara bertahap, mengikuti perkembangan rasa percaya dan kedekatan antarindividu.
Namun, temuan di lapangan menunjukkan bahwa di media sosial, proses tersebut tidak selalu berjalan secara berurutan atau terstruktur. Justru sebaliknya, pengguna bisa langsung membagikan informasi yang cukup pribadi tanpa melalui tahapan-tahapan yang biasa terjadi dalam komunikasi tatap muka.
Fenomena oversharing juga memperlihatkan pergeseran batas antara ranah pribadi dan ranah publik. Informasi yang dulu dianggap privat dan hanya dibagikan kepada orang terdekat, kini dapat diakses oleh banyak orang secara terbuka.
Motivasi utama di balik pengungkapan diri di media sosial tidak hanya sebatas ingin menjalin hubungan yang lebih dekat, tetapi juga berkaitan dengan kebutuhan untuk mendapat validasi sosial, membentuk citra diri, serta mengekspresikan emosi secara personal. Oleh karena itu, meskipun Teori Penetrasi Sosial masih berguna untuk memahami prinsip dasar pengungkapan diri, teori ini perlu dikritisi dan disesuaikan dengan realitas media sosial saat ini.
Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa praktik oversharing di media sosial bukan semata-mata bentuk keterbukaan untuk membangun kedekatan dengan orang lain, seperti yang dijelaskan dalam Teori Penetrasi Sosial. Di media sosial, pengungkapan diri justru berjalan secara tidak berurutan pengguna bisa langsung membagikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada publik, tanpa melalui proses kedekatan yang bertahap.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial telah mengubah cara individu memaknai privasi dan keterbukaan. Informasi yang dulunya dianggap pribadi, kini dibagikan secara terbuka sebagai bagian dari ekspresi diri, pencarian validasi, atau bahkan untuk membentuk citra di hadapan publik. Artinya, motivasi pengungkapan diri tidak hanya berkaitan dengan hubungan interpersonal, tapi juga sangat dipengaruhi oleh kebutuhan emosional dan tekanan sosial di ruang digital.
Selain itu, para pengguna umumnya menyadari risiko dari oversharing, seperti potensi penyalahgunaan informasi atau penilaian negatif dari orang lain. Namun, dorongan untuk terlihat aktif, diterima, atau didengar di media sosial sering kali lebih besar daripada pertimbangan soal privasi. Ini menunjukkan adanya kontradiksi antara kebutuhan untuk mengekspresikan diri dan keinginan untuk tetap menjaga batas pribadi.
Dengan demikian, meskipun Teori Penetrasi Sosial masih dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami pengungkapan diri, teori ini perlu dilihat secara lebih kritis dalam konteks media sosial. Pengungkapan diri di ruang digital tidak lagi hanya soal membangun kedekatan, tetapi juga menjadi strategi eksistensi dan pencitraan diri di tengah dinamika komunikasi yang serba cepat, terbuka, dan kompetitif.
Referensi
- Abdurrahman, A. G. A., Putri, C. N. D., & Irwansyah, I. (2021).Menganalisis tahap pengungkapan diri dalam aplikasi kencan online (Tinder) selama pandemi. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi, 5(2), 24–38
- Dr. Mahdi Syahbandir, S.H., M.Hum. Oversharing dan Citra Diri di Instagram. Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM)
- Herliany Tandres & Septia Winduwati (2024)Pengelolaan Self-disclosure Generasi Z melalui Penggunaan Multiple Accounts di Instagram (Koneksi). Menggunakan pendekatan fenomenologis untuk meneliti bagaimana Gen Z memisahpisahkan akun Instagram mereka (personal, private, professional) sebagai strategi kontrol pengungkapan diri. Briliant Jurnal Riset dan Konseptual
- aizatun Nazira dkk –Self Disclosure Wanita Muslimah Bercadar di Media Sosial Instagram. Menggunakan analisis fenomenologis pada lima muslimah bercadar untuk memahami motif dan bentuk self-disclosure di Instagram. (INSIGHT: Jurnal Psikologi).
- Radja E. Hamzah & Citra E. Putri (2020) Analisis Self-Disclosure pada Fenomena Hyperhonest di Media Sosial Mengupas bagaimana batas privasi menjadi kabur dan oversharing muncul sebagai bentuk ekspresi diri yang tidak terkontrol. Jurnal Pustaka Komunikasi
- Edy P. Mag et al. (2023)Self-Disclosure Generasi Milenial Melalui Second Account Instagram Menggambarkan peran multiple identities di media sosial dan bagaimana pengguna membangun citra diri. Jurnal Ilmu komunikasi





