Pangkalpinang, Krajan.id – Diskusi publik bertajuk “Apakah Ekosida Layak Disebut Pelanggaran HAM Berat?” digelar pada Selasa, (12/11/2025) di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kepulauan Bangka Belitung.
Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH UBB) dan WALHI Babel yang menghadirkan mahasiswa, akademisi, dan aktivis lingkungan dalam perdebatan yang mengemuka.
Forum tersebut menjadi ruang refleksi sekaligus ajang perdebatan mengenai hubungan antara hukum, lingkungan, dan hak asasi manusia. Topik ekosida yang secara sederhana berarti tindakan perusakan lingkungan secara besar-besaran menjadi pokok bahasan utama.
Fenomena ekosida kini menjadi perhatian serius di berbagai kalangan, terutama di dunia hukum dan lingkungan hidup. Dalam forum tersebut, para peserta membedah bagaimana tindakan seperti deforestasi, pencemaran air dan udara, serta eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dapat berujung pada kerusakan ekosistem dan penderitaan masyarakat.
Secara konseptual, ekosida dipandang bukan hanya merusak alam, melainkan juga mengancam hak dasar manusia atas hidup, kesehatan, dan kesejahteraan. Analogi yang digunakan dalam forum menggambarkan bahwa lingkungan ibarat rumah bagi kehidupan. Jika rumah itu rusak, maka manusia sebagai penghuninya pun kehilangan tempat berpijak dan perlindungan.
Sebagai lembaga yang sejak lama bergerak dalam isu lingkungan, WALHI konsisten memperjuangkan agar ekosida diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Upaya ini dilakukan melalui riset akademik, penerbitan buku, dan kampanye publik yang menyoroti berbagai kasus kerusakan lingkungan di Indonesia mulai dari kebakaran hutan, pencemaran laut, hingga perusakan hutan oleh korporasi.
WALHI berpendapat bahwa bentuk kerusakan lingkungan yang disengaja atau diakibatkan oleh kelalaian berat dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena itu, lembaga ini mendorong agar pemerintah memasukkan konsep ekosida ke dalam instrumen hukum nasional, khususnya dalam undang-undang tentang pengadilan HAM.
Dalam perspektif internasional, isu ekosida juga tengah menjadi pembahasan serius. Sejumlah negara dan organisasi lingkungan dunia mendorong agar ekosida dimasukkan ke dalam Statuta Roma, sejajar dengan kejahatan internasional lainnya seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi.
Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa perluasan definisi ekosida dapat menimbulkan persoalan baru dalam penerapan hukum pidana. Beberapa mahasiswa hukum UBB dalam forum itu menilai, perlu ada batasan hukum yang tegas agar kategori ekosida tidak menimbulkan multitafsir dan tidak menghambat kegiatan ekonomi legal yang berdampak lingkungan minimal.
Mereka juga menyoroti aspek pembuktian hukum dan pertanggungjawaban korporasi yang masih menjadi perdebatan panjang di ranah hukum pidana. Bagi sebagian peserta, penerapan konsep ekosida harus dilakukan hati-hati agar tidak tumpang tindih dengan instrumen hukum lingkungan yang sudah ada.
Dalam sesi diskusi kelompok, Kelompok 2 menegaskan pentingnya menempatkan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia. Mereka menyampaikan bahwa hak atas lingkungan yang bersih dan sehat sejatinya telah dijamin oleh konstitusi.
“Perlindungan lingkungan harus menjadi prioritas utama, mengingat kerusakan alam berdampak langsung terhadap keberlangsungan hak hidup manusia. Ekosida sudah seharusnya diakui sebagai pelanggaran HAM berat, karena hak atas lingkungan yang bersih dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia,” tulis Kelompok 2 dalam keterangan yang diberikan pada (13/11/2025).
Mereka menambahkan, penegakan hukum lingkungan tidak seharusnya berhenti pada sanksi administratif atau perdata semata, tetapi juga perlu menyentuh dimensi moral dan kemanusiaan yang lebih luas.
Diskusi juga menyinggung realitas penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Lemahnya pengawasan, tumpang tindih regulasi, dan kepentingan ekonomi seringkali membuat pelaku perusakan lingkungan lolos dari sanksi.
Karena itu, peserta forum menilai perlu adanya sinergi antara pemerintah, aparat hukum, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mencegah praktik-praktik yang mengarah pada ekosida. Hanya dengan kerja sama lintas sektor, perlindungan terhadap lingkungan bisa berjalan seimbang dengan pembangunan ekonomi.
Perdebatan yang muncul dalam forum ini tidak berhenti pada tataran akademik. Ia juga menjadi refleksi tentang moralitas hukum dan tanggung jawab manusia terhadap bumi.
Apakah ekosida layak disebut pelanggaran HAM berat atau tidak, pada akhirnya bergantung pada keberanian bangsa ini menempatkan kelestarian lingkungan sejajar dengan nilai kemanusiaan. Sebab, menyelamatkan lingkungan bukan hanya tentang menjaga bumi, tetapi juga tentang melindungi kehidupan manusia di atasnya.
Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.





