Tahun 2025 akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan monumental yang akan memengaruhi arah sistem pemilu nasional ke depan. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah tidak boleh lagi dilaksanakan secara serentak, seperti yang terjadi selama ini.
Dengan adanya keputusan tersebut, pemilihan presiden, DPR, dan DPD akan diadakan secara terpisah dari pemilihan kepala daerah dan DPRD. Alasan MK cukup beralasan. Selama ini, pelaksanaan pemilu serentak dianggap membebani pemilih dan penyelenggara.
Pada Pemilu 2019, misalnya, masyarakat harus mencoblos hingga lima surat suara dalam satu hari. Situasi ini menimbulkan kebingungan, kelelahan, bahkan menurunkan kualitas pemilihan. Bagi petugas pemilu, beban kerja yang tinggi bahkan pernah menyebabkan kelelahan fatal hingga meninggal dunia.
Melalui pemisahan ini, diharapkan publik bisa lebih fokus dalam memberikan suara. Ketika pilpres dan pileg berlangsung, perhatian masyarakat akan tertuju pada isu nasional, seperti visi-misi capres dan program partai.
Sementara itu, saat pilkada digelar, masyarakat dapat memusatkan perhatian pada calon pemimpin lokal dan kebutuhan daerah masing-masing. Teorinya, pemisahan waktu ini dapat mendorong pemilih untuk berpikir lebih kritis dan mendalam sebelum menentukan pilihan.
Namun demikian, tidak sedikit pihak yang mengkritisi putusan MK tersebut. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah meningkatnya biaya penyelenggaraan pemilu. Jika pemilu harus diadakan dua kali dalam satu periode lima tahun, maka konsekuensinya adalah pembengkakan anggaran negara.
Selain itu, ada anggapan bahwa MK telah memasuki ranah legislatif dengan menetapkan format penyelenggaraan pemilu yang seharusnya ditentukan melalui undang-undang, bukan lewat putusan pengadilan.
Kini, beban berada di pundak DPR dan pemerintah untuk segera menyesuaikan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada dengan putusan MK ini. Proses revisi undang-undang tentu bukan pekerjaan sederhana. Ia membutuhkan waktu, riset kebijakan, serta konsensus politik yang matang—terlebih waktu penyelenggaraan pemilu berikutnya sudah semakin dekat.
Yang tidak kalah penting adalah bagaimana seluruh lapisan masyarakat bisa memahami perubahan ini. Sosialisasi yang masif dari KPU, pemerintah, dan media menjadi sangat krusial. Jangan sampai terjadi kesalahpahaman yang justru melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Penyesuaian sistem pemilu bukan sekadar perubahan teknis, melainkan upaya memperkuat kualitas demokrasi kita.
Pada akhirnya, putusan MK ini harus dilihat sebagai peluang untuk memperbaiki sistem demokrasi Indonesia. Pemilu yang berkualitas hanya akan terwujud melalui proses yang tertata, partisipasi publik yang cerdas, serta aturan main yang jelas dan adil. Semua pihak, mulai dari MK, DPR, KPU, hingga masyarakat, memegang peranan penting dalam menciptakan pemilu yang benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.





