Peristiwa tragis yang terjadi di Kedaung, Tangerang Selatan, menyisakan luka mendalam bagi keluarga dan masyarakat. Seorang pria bernama Narun harus meregang nyawa di tangan adik kandungnya sendiri, Firdaus, akibat konflik warisan yang tak kunjung terselesaikan.
Kejadian ini berlangsung pada Rabu pagi, 30 April 2025, tepat di depan sebuah warung kelontong. Korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan, bersimbah darah dengan luka senjata tajam di bagian bahu dan punggung.
Menurut keterangan dari saksi dan keluarga, hubungan antara kakak beradik ini sudah lama tidak harmonis. Firdaus sering kali mendatangi Narun untuk membicarakan hak waris yang ia yakini menjadi bagiannya. Namun, upaya penyelesaian yang ditempuh tidak pernah mencapai kesepakatan.
Musyawarah keluarga yang selama ini diandalkan sebagai solusi justru gagal meredakan ketegangan. Alhasil, konflik yang seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui jalur hukum malah berujung pada tindakan brutal yang menghilangkan nyawa.
Polisi bergerak cepat. Dalam waktu kurang dari 24 jam, Firdaus berhasil diamankan dan kini tengah menjalani proses pemeriksaan mendalam. Aparat menggunakan pendekatan scientific crime investigation untuk mengungkap latar belakang serta motif peristiwa berdarah ini.
Namun dari penyelidikan awal, jelas bahwa akar masalahnya terletak pada sengketa warisan yang tidak kunjung diselesaikan secara adil dan bijaksana.
Kasus ini menjadi gambaran nyata rapuhnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Banyak orang masih menganggap bahwa urusan warisan cukup diselesaikan melalui kesepakatan keluarga. Padahal, ketika jalan musyawarah menemui jalan buntu, jalur hukum—baik melalui mediasi, pengadilan agama, atau pengadilan negeri—harusnya menjadi pilihan utama.
Sayangnya, minimnya edukasi hukum membuat banyak konflik warisan berakhir tragis. Tak jarang, yang tersisa justru luka, dendam, dan perpecahan keluarga.
Dari sudut pandang hukum tata negara, peristiwa ini mencerminkan kegagalan implementasi prinsip negara hukum yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam negara hukum, segala persoalan seharusnya diselesaikan melalui proses hukum, bukan dengan kekerasan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa penegakan prinsip ini belum sepenuhnya mengakar di tengah masyarakat.
Negara sebenarnya memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah tragedi serupa terulang. Peran negara tidak hanya sebatas penegakan hukum secara represif, tetapi juga menyangkut fungsi edukatif dan preventif.
Kampanye penyuluhan hukum yang berkelanjutan, pendidikan kewarganegaraan sejak usia dini, serta kemudahan akses ke lembaga bantuan hukum harus menjadi prioritas. Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman bahwa hukum hadir untuk melindungi dan memberikan keadilan, bukan sekadar ancaman atau formalitas.
Tragedi di Kedaung bukan sekadar kisah kriminal biasa. Ini adalah cermin dari lemahnya sistem perlindungan hukum terhadap konflik internal keluarga yang berpotensi membahayakan. Harta warisan, berapa pun nilainya, tidak sebanding dengan nyawa manusia atau keharmonisan keluarga. Perselisihan semacam ini semestinya diselesaikan dengan kepala dingin, mengedepankan integritas dan kepercayaan terhadap proses hukum.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menanamkan nilai-nilai hukum dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman terhadap hukum tata negara tidak boleh berhenti pada penguasaan teori, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang mendukung keadilan, kedamaian, dan kemanusiaan. Bila prinsip ini dipegang teguh, kita tidak hanya mencegah tragedi serupa, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih beradab dan beretika.
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H





