Hukum pidana merupakan fondasi penting dalam menjaga ketertiban sosial, melindungi hak-hak masyarakat, dan menegakkan keadilan. Di Indonesia, hukum pidana telah menempuh perjalanan panjang, dari warisan sistem kolonial Belanda hingga reformasi hukum yang lebih kontekstual dan progresif.
Dinamika sosial, perkembangan teknologi, dan arus globalisasi telah menjadi pendorong utama bagi negara untuk terus memperbarui kebijakan hukumnya. Opini ini mengulas dinamika kontemporer hukum pidana Indonesia, mulai dari pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penerapan keadilan restoratif, penanganan kejahatan siber, hingga tantangan integrasi hukum pidana internasional, berdasarkan referensi jurnal ilmiah tahun 2024.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP menjadi tonggak penting dalam sistem hukum nasional. KUHP baru ini menggantikan KUHP lama yang merupakan warisan kolonial Belanda dan telah berlaku selama lebih dari seratus tahun.
Beberapa pasal dalam KUHP baru berupaya mengadopsi pendekatan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat Indonesia, termasuk dengan mengakui eksistensi hukum adat atau living law.
Pasal 2 KUHP mengatur bahwa hukum yang hidup di masyarakat dapat dijadikan dasar pemidanaan. Hal ini membuka ruang bagi pengakuan terhadap hukum adat dan norma sosial lokal dalam sistem hukum pidana nasional. Namun, penerapan living law ini tidak bebas dari kritik.
Baihaki dan Ghiffari (2024) menggarisbawahi adanya kekhawatiran terhadap ketidakpastian hukum serta potensi pelanggaran terhadap prinsip legalitas. Untuk itu, diperlukan pedoman yang jelas dan tegas mengenai batasan dan kriteria hukum adat yang dapat diberlakukan secara pidana agar tidak terjadi penyimpangan.
Di tengah semangat reformasi, pendekatan keadilan restoratif turut menjadi sorotan. Pendekatan ini menekankan pemulihan hubungan antara korban, pelaku, dan masyarakat, alih-alih hanya fokus pada penghukuman. Menurut Afifah (2024), keadilan restoratif sangat bermanfaat dalam penanganan tindak pidana ringan, seperti perkara anak dan penganiayaan ringan. Penyelesaian melalui mediasi atau kesepakatan damai sering kali lebih memberikan rasa keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Namun, tantangan muncul seiring dengan perkembangan teknologi digital. Kejahatan siber seperti penipuan daring, cyberbullying, dan penyebaran hoaks menjadi semakin kompleks. Sayangnya, perangkat hukum konvensional sering kali belum mampu menjawab tantangan ini.
Hutasoit dan Kurniawan (2024) mencatat bahwa masih banyak kasus kejahatan siber yang tidak dilaporkan atau tidak diproses secara memadai, baik karena lemahnya perlindungan hukum terhadap korban maupun kurangnya kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan digital.
Indonesia juga menghadapi tantangan dalam mengadopsi prinsip hukum pidana internasional, terutama untuk menangani kejahatan lintas negara seperti korupsi, perdagangan orang, dan pencucian uang.
Meski telah meratifikasi berbagai konvensi internasional, menurut Sari (2024), implementasinya ke dalam hukum nasional masih belum menyeluruh. Harmonisasi antara hukum nasional dan prinsip internasional masih menemui berbagai kendala, baik dari segi substansi hukum maupun dari aspek kelembagaan.
Keseluruhan dinamika tersebut menggambarkan bahwa hukum pidana Indonesia tengah berada dalam fase transisi yang tidak sederhana. Di satu sisi, terdapat semangat kuat untuk mereformasi dan memodernisasi sistem hukum.
Namun di sisi lain, tantangan implementasi, konflik norma, dan resistensi terhadap perubahan menjadi hambatan yang perlu diatasi bersama. Sinergi antara pembuat kebijakan, akademisi, aparat penegak hukum, dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan bahwa hukum pidana Indonesia dapat berkembang ke arah yang lebih adil, adaptif, dan sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H





