Reformasi Hukum Tata Negara ibarat membangun rumah di atas tanah baru: fondasi konstitusi harus kokoh, tetapi realitas politik kerap mengikis kemurniannya. Sejak Reformasi 1998, Indonesia berkomitmen untuk menata ulang sistem ketatanegaraan, mulai dari desentralisasi kekuasaan hingga penguatan peran Mahkamah Konstitusi.
Namun, setelah dua dekade lebih, kita menyaksikan bagaimana oligarki terus mencoba mengintervensi hukum, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dijadikan alat politik, dan wacana amendemen UUD 1945 kembali mencuat dengan motif yang patut dipertanyakan.
Pertanyaannya, bagaimana menjelaskan relasi antara prinsip-prinsip konstitusi yang ideal dan praktik kekuasaan yang kerap melenceng? Artikel ini mencoba membedah dinamika reformasi Hukum Tata Negara (HTN) dalam tarik-menarik antara idealisme hukum dan pragmatisme politik—sebuah konflik yang akan menentukan arah demokrasi Indonesia di masa mendatang.
Dalam semangat menjaga prinsip negara hukum, HTN semestinya menjadi pilar utama. Namun, dalam praktiknya, idealisme hukum sering kali berhadapan dengan kenyataan politik. Setelah 1998, kita memang mencatat kemajuan penting, salah satunya penguatan MK. Namun, sebagaimana disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie (2006), ketika politik praktis mulai mengintervensi ruang hukum, berbagai persoalan baru bermunculan.
Salah satu contoh nyata adalah penggunaan Perppu yang kerap dianggap sebagai alat pemusatan kekuasaan. Penelitian Saldi Isra (2020) dalam Jurnal Konstitusi mencatat bahwa sejak 2004 setidaknya telah diterbitkan dua puluh Perppu. Sebagian besar menimbulkan kontroversi karena proses pembentukannya dinilai mengabaikan prinsip demokratis dan cenderung melemahkan fungsi legislatif.
Tak hanya itu, Mahkamah Konstitusi pun tak luput dari sorotan. Feri Amsari (2019) dalam Indonesian Journal of Constitutional Law menyebut bahwa meski MK berperan penting dalam menjaga demokrasi, sejumlah putusannya, termasuk terkait pengujian UU Pemilu, dinilai sarat kepentingan politik. Ketika lembaga yudikatif terindikasi tidak lagi independen, maka kredibilitas hukum ikut tergerus.
Wacana amandemen UUD 1945 juga turut menambah kekhawatiran. Alih-alih memperkuat sistem ketatanegaraan, amandemen bisa dimanfaatkan oleh kelompok oligarki untuk memperpanjang kekuasaan atau mengerdilkan peran lembaga pengawas.
Nadirsyah Hosen (2018) dalam Jurnal Studi Hukum Indonesia mengungkap bahwa tren ini membahayakan cita-cita awal reformasi dan berpotensi menjauhkan masyarakat dari proses konstitusional yang sejati.
Desentralisasi yang diharapkan menjadi sarana memperluas demokrasi juga menunjukkan wajah lain. Bivitri Susanti (2017) dalam Jurnal Hukum & Pembangunan mencatat bahwa banyak daerah terjebak dalam konflik kewenangan dan praktik korupsi, membuat kebijakan otonomi justru menjadi alat transaksi politik. Tanpa landasan hukum yang kuat, desentralisasi malah memperparah ketimpangan.
Bagaimana seharusnya reformasi HTN dijalankan? Pertama, penguatan lembaga pengawas seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial harus diutamakan, baik melalui peningkatan kapasitas maupun revisi undang-undang yang menjamin independensinya.
Kedua, penggunaan Perppu perlu diatur lebih ketat agar tidak menjadi alat manipulatif kekuasaan. Ketiga, keterlibatan publik dalam proses hukum dan politik harus difasilitasi dan diperluas.
Meskipun terjal, reformasi HTN bukanlah misi yang mustahil. Satjipto Rahardjo (2009) dalam Jurnal Hukum Progresif menekankan bahwa hukum seharusnya menjadi alat perubahan sosial, bukan produk kepentingan politik. Mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis bukanlah utopia selama kita terus mengutamakan hukum dibanding ambisi kekuasaan.
Pada akhirnya, reformasi Hukum Tata Negara akan selalu berada dalam pusaran antara realitas politik dan idealisme hukum. Namun satu hal yang pasti, tanpa komitmen yang teguh terhadap prinsip-prinsip konstitusionalisme, hukum hanya akan menjadi alat legitimasi kekuasaan. Sudah saatnya hukum berdiri di atas politik, bukan sebaliknya.
Di tengah tantangan ini, peran akademisi dan masyarakat sipil menjadi krusial. Ramlan Surbakti (2021) dalam Jurnal Politik Hukum mencatat bahwa keterlibatan publik dalam pengujian UU Minerba menjadi contoh penting bagaimana kontrol sosial dapat memberi tekanan pada pembuat kebijakan. Sayangnya, keterlibatan ini kerap diabaikan oleh aktor politik yang lebih memilih strategi transaksional ketimbang dialog konstitusional.
Selain itu, dinamika globalisasi hukum turut memengaruhi arah reformasi HTN Indonesia. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung meniru praktik peninjauan konstitusional dari luar negeri tanpa adaptasi kontekstual.
David Law (2019) dalam International Journal of Constitutional Law menyebut bahwa adopsi sistem hukum asing secara kaku justru berisiko menyingkirkan nilai-nilai lokal seperti kearifan adat dan prinsip musyawarah. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi HTN yang ingin tetap inklusif dan berakar pada nilai-nilai bangsa.
Di sisi lain, kemajuan teknologi dapat menjadi sekutu baru dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas. Data dari Center for Legal Studies and Technology UI (2023) menunjukkan bahwa pengadilan berbasis elektronik di beberapa negara berhasil meningkatkan akses publik dan integritas putusan.
Sayangnya, penerapan sistem ini di Indonesia masih menghadapi hambatan infrastruktur dan resistensi dari pemegang kekuasaan. Padahal, digitalisasi peradilan bisa menjadi solusi strategis untuk menekan politisasi hukum dan praktik korup.
Reformasi HTN harus dipahami sebagai proses jangka panjang yang membutuhkan konsistensi, keberanian, dan keterlibatan berbagai pihak. Denny Indrayana (2022) dalam Jurnal Reformasi Hukum menegaskan bahwa perubahan sistem ketatanegaraan hanya akan berhasil jika didukung oleh tiga elemen utama: pemerintah yang bersih, peradilan yang independen, dan masyarakat yang kritis. Tanpa sinergi ini, reformasi hanya akan menjadi jargon kosong, tersandera antara idealisme yang mulia dan realitas politik yang keras.
Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H





