Film Home Sweet Loan merupakan sebuah drama keluarga Indonesia yang dirilis pada September 2024 dan disutradarai oleh Sabrina Rochelle Kalangie. Diadaptasi dari novel karya Almira Bastari dengan judul yang sama, film ini menyajikan cerita menyentuh dan penuh makna tentang perjuangan seorang perempuan dalam keluarganya.
Lewat alur yang mengalir dan konflik yang cukup menegangkan, film ini mampu menjadi cermin sosial bagi banyak orang, khususnya mereka yang selama ini merasa terjebak dalam beban tanggung jawab keluarga.
Kisah berpusat pada sosok Kaluna (diperankan oleh Yunita Siregar), seorang perempuan muda yang bercita-cita memiliki rumah bersama kekasihnya, Hansa (Wafda Saifan). Namun impian itu harus ia kubur ketika hubungan mereka kandas.
Meski kecewa, Kaluna memilih untuk bangkit dan terus mengejar impiannya untuk memiliki rumah sendiri. Di tengah keterpurukannya, ia tetap mendapat dukungan dari sahabat-sahabatnya—Danan (Derby Romero), Miya (Fita Anggriani), dan Tanish (Risty Tagor)—yang selalu berada di sisinya.
Namun kehidupan Kaluna tidaklah mudah. Ia tinggal serumah dengan kedua orang tuanya dan dua kakaknya, Kanendra (Ariyo Wahab) dan Kamala (Ayushita), yang telah berkeluarga dan memiliki anak.
Alih-alih merasa nyaman, Kaluna justru harus memikul tanggung jawab besar, mulai dari urusan keuangan hingga pekerjaan rumah. Ia menjadi tumpuan keluarga, baik secara fisik maupun emosional. Lambat laun, tekanan itu membuat Kaluna kehilangan kesabaran. Impiannya terasa semakin jauh dari jangkauan.
Yunita Siregar tampil memukau dalam memerankan Kaluna. Ekspresi wajahnya, intonasi suaranya, dan bahasa tubuhnya berhasil menggambarkan perasaan yang kompleks. Dari rasa lelah, sedih, hingga bahagia, semuanya disampaikan dengan sangat meyakinkan.
Aktingnya yang natural membuat karakter Kaluna menjadi sangat hidup dan relatable. Bahkan di media sosial, karakter ini sering dijadikan meme yang menggambarkan perjuangan anak muda masa kini yang rela hidup hemat demi membiayai diri dan keluarganya dengan gaji pas-pasan.
Salah satu aspek paling menyentuh dari film ini adalah bagaimana Kaluna digambarkan sebagai perempuan tangguh yang kehilangan makna “rumah”. Meski ia hidup di rumah keluarga, Kaluna merasa tidak memiliki tempat yang nyaman untuk dirinya sendiri.
Ia bekerja dari pagi hingga malam, lalu tetap harus mengurus pekerjaan rumah. Dalam satu adegan, ia bahkan harus pindah ke kamar pembantu karena kesalahpahaman, sebuah simbol bahwa keberadaannya di rumah kian terpinggirkan.
Ia kehilangan kehangatan yang seharusnya menyambutnya setiap kali pulang. Tak heran jika keinginan Kaluna untuk membeli rumah bukan semata karena impian material, tapi juga sebagai bentuk pencarian identitas dan ruang aman bagi dirinya sendiri.
Cerita Kaluna adalah gambaran nyata dari fenomena generasi sandwich—anak muda yang harus menanggung beban finansial untuk orang tua, saudara kandung, bahkan keponakan. Dialog-dialog sederhana yang diangkat dari kehidupan sehari-hari membuat film ini mudah diterima oleh penonton, terutama mereka yang berada dalam posisi serupa. Kaluna mewakili suara jutaan anak muda di Indonesia yang merasa lelah tetapi tetap bertahan, mengesampingkan impian pribadi demi keluarga.
Bukan hanya beban dari orang tua, Kaluna bahkan harus membantu kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga. Beban berlapis ini menambah kompleksitas masalah yang ia hadapi. Film ini tidak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya keadilan dan kerja sama dalam rumah tangga. Bahwa tak selayaknya satu orang memikul semua beban sementara yang lain bersandar tanpa peduli.
Home Sweet Loan berhasil menyampaikan pesan tersebut dengan baik. Tak heran jika film ini berhasil menarik lebih dari 1,7 juta penonton. Film ini membuka ruang diskusi tentang pentingnya menghargai perjuangan sesama anggota keluarga.
Setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing, dan sudah semestinya kita saling bahu-membahu, bukan hanya mengandalkan satu orang untuk segalanya.
Lewat Kaluna, penonton diajak untuk lebih memahami arti rumah, bukan sebagai tempat tinggal semata, tetapi sebagai ruang yang seharusnya memberi ketenangan, perlindungan, dan cinta. Sayangnya, bagi banyak orang seperti Kaluna, rumah justru menjadi tempat yang paling melelahkan.





