Rokok dan Kehidupan

Madura memiliki iklim sastra yang melahirkan banyak penyair terkemuka di Indonesia. Salah satu penyair muda yang cukup menonjol dari Sumenep adalah Mat Toyu. Pria kelahiran 1969 ini merupakan seorang aktivis budaya dan pemerhati bahasa. Ia memiliki salah satu antologi puisi yang diterbitkan pada tahun 2021 oleh Balai Bahasa Jawa Timur.

Dalam tulisan ini, saya akan menganalisis salah satu karya penyair dari Pulau Garam ini yang bertajuk “Merokok”. Analisis ini menggunakan pendekatan psikologi sastra, sebuah metode yang menitikberatkan pada analisis isi karya itu sendiri. Psikologi sastra menggabungkan dua disiplin ilmu yang berbeda, namun mampu menjadi satu kesatuan kompleks untuk memahami karya sastra secara lebih mendalam.

Bacaan Lainnya

MEROKOK

aku tetap merokok
meski pemerintah menakut-nakuti
dengan gambar berbatuk-batuk
leher membenjol bengkak-bengkak pucat
tapi uang rokok tetap dicuri
dimakan pemerintah menjadi tinja

aku merokok, agar dahi tidak merengut
aku merokok, melemaskan tulang setelah
menekuk
aku merokok, menyulut diri sendiri agar tidak
menggerutu

meski dilarang merokok
aku tetap menyalakan rokok
agar terlihat ada yang ditengok
mengusir nyamuk yang mengerubung
jika tak punya rokok
tertegun-tegun sendirian

aku tetap merokok
meski batuk berbunyi berdebum-debum
sampai mulut menjorok ke dalam

aku tetap merokok
tak menampik rasa takut

Jawa Tengah, Indonesia, 1437

Madura terkenal dengan salah satu pemasok tembakau terbanyak di Indonesia. Mungkin, salah satu alasan penyair mengusung tema “Merokok” karena latar belakangnya sendiri. Namun dalam hal ini, peneliti tidak akan menyangkut-pautkan hubungan antara karya dengan pengarang.

Menurut T.S. Eliot (dalam Wellek & Warren, 1990) mengatakan bahwa karya sastra adalah bentuk pelarian dari pengarang (escape from personality). Maka dari itu, penelitian di sini ingin memfokuskan analisis pada psikologi karya untuk meminimalisir kesalahan analisis.

Pada bait pertama ini merupakan sebuah naratif yang menyatakan kritik terhadap pemerintah. Hal itu terlihat ketika aku-lirik tetap merokok meski pemerintah menakut-nakuti dengan gambar-gambar berbatuk-batuk.

Artinya, aku-lirik seolah-olah ingin menggaungkan pemberontakan atau pernyataan bahwa dirinya tidak peduli terhadap kebijakan pemerintah yang menakut-menakuti orang yang merokok. Kritik tersebut begitu jelas diarahkan kepada pemerintah dalam larik kelima dan keenam pada bait pertama. tapi uang rokok tetap dicuri, dimakan pemerintah menjadi tinja.

Klausa ‘dicuri’ merujuk pada sebuah perlakuan kurang elok. Perlakuan itu tertuju pada pemerintah yang selalu meraup keuntungan dari masyarakat. Pajak, adalah suatu upaya yang diraup untuk kepentingan negara. Tapi, pada larik keenam, menegaskan bahwa sebenarnya uang pajak banyak masuk ke kantong pribadi pemerintah, dimakan, dan menjadi tinja.

Pada bait kedua, ingin menunjukkan alasan aku-lirik merokok karena ingin menenangkan pikiran, hal itu terlihat dalam larik pertamanya, agar dahi tidak merengut. “Dahi merengut” menunjukkan bahwa seseorang sedang dalam keadaan kesal, marah, dan tidak senang hati.

Maka, aku-lirik memilih untuk merokok untuk menghilangkan itu semua dari dirinya, bahkan ia tidak takut meski pemerintah telah menakut-nakutinya dengan memasang baleho-baleho yang memperlihatkan orang-orang menderita kanker akibat merokok.

meski dilarang merokok, aku tetap menyalakan rokok, agar terlihat ada yang ditengok, mengusir nyamuk yang mengerubung, jika tak punya rokok, tertegun-tegun sendirian. Larik-larik dalam bait ketiga ini, semakin memperjelas pula bahwa aku-lirik adalah sesosok laki-laki yang kecanduan rokok. Meski dirinya dilarang merokok, ia tetap memilih untuk merokok.

Baca Juga: Perempuan Pahlawan

Jika mengaca pada seorang perokok, terkadang ada beberapa alasan menarik ketika seseorang ditanya mengapa dirinya merokok. Salah satunya seperti aku-lirik dalam puisi ini. Ia merokok bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhannya, tapi juga karena dirinya merasa ada yang kurang jika tidak merokok.

Larik ketiga, mempertegas hal itu, ia merokok agar ada yang ditengok. Klausa “ditengok” merupakan sebuah kata kerja. Maka, jika tidak merokok, si aku-lirik merasa tidak ada kerjaan ketika sedang termenung sendirian.

Selain itu, asap rokok dijadikan sebagai pengusir nyamuk ketika si aku-lirik mungkin tidak lagi memiliki stok obat nyamuk. Hal itu dapat dilihat dari larik keempat yang berbunyi mengusir nyamuk yang mengerubung.

Kegabutan aku-lirik ketika tak ada rokok makin terlihat dalam larik terakhir bait ketiga ini, jika tak punya rokok, tertegun-tegun sendirian. Terlihat jelas, ketika aku-lirik tak memiliki rokok, ia akan merasa tertegun-tegun karena ada yang kurang, yaitu kebiasaannya merokok.

Saking kecanduan, aku-lirik meski dirinya telah menderita batuk-batuk, dirinya tetap memilih merokok. Hal itu terlihat dalam bait keempat, yang berbunyi, aku tetap merokok, meski batuk berbunyi berdebum-debum, sampai mulut menjorok ke dalam.

Baca Juga: Modernisme yang Tabu

Bait ini menggambarkan hal yang diderita aku-lirik yang mungkin sakitnya disebabkan oleh rokok. Kecanduan akan rokok memang membahayakan, baik bagi perokok aktif maupun pasif. Puisi ini, seolah-olah ingin membuat pembaca ngeri terhadap penyakit akibat kecanduan rokok. Namun, di sisi lain, aku-lirik melakukan kritik terhadap pemerintah yang korupsi.

Mungkin, ia rela mati karena sudah terlanjur benci terhadap pemerintah yang selalu meraup keuntungan dari masyarakat-masyarakat kecil, seperti para petani tembakau. Bahkan, ketika aku-lirik sakit-sakitan, dirinya tetap memilih untuk memberanikan diri merokok. Hal itu terlihat dalam dua larik terakhir dan sekaligus bait penutup dalam puisi ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *