Mengapa karya sastra kerap dipersempit maknanya sebagai hiburan belaka? Pertanyaan ini muncul dari pengalaman mengikuti perkuliahan teori sastra selama satu semester. Di ruang kelas, saya berhadapan dengan kenyataan bahwa sastra sering dipahami secara dangkal.
Ia dibaca sekadar sebagai cerita, permainan bahasa, atau pelarian dari rutinitas. Tidak sedikit pembaca yang berhenti pada alur, tokoh, dan tema, tanpa berusaha menelusuri lapisan makna yang lebih dalam. Padahal, sastra menyimpan daya reflektif yang jauh melampaui fungsi hiburan.
Pengalaman akademik tersebut mengubah cara pandang saya terhadap sastra. Karya sastra bukan sekadar rangkaian kata yang indah, melainkan medium yang merekam pergulatan manusia, dinamika sosial, serta konflik sejarah pada zamannya.
Ia tidak lahir dari ruang kosong. Setiap teks sastra merupakan hasil dialog antara pengarang dan realitas yang mengitarinya. Dari titik ini, sastra tampil sebagai dokumen kultural yang merekam suara-suara yang kerap terpinggirkan oleh sejarah resmi.
Pada awal perkuliahan, saya memandang teori sastra sebagai perangkat teknis untuk membedah unsur intrinsik. Fokusnya berkisar pada penentuan alur, penokohan, latar, serta tema. Pendekatan tersebut penting, tetapi ternyata tidak cukup.
Seiring berjalannya waktu, saya memahami bahwa sastra tidak hanya berbicara tentang apa yang diceritakan, melainkan juga mengapa dan dalam konteks apa cerita itu ditulis. Setiap konflik, latar, dan karakter membawa jejak realitas sosial yang sering kali berkelindan dengan pengalaman kolektif suatu masyarakat.
Kesadaran ini membuka pemahaman baru bahwa sastra merupakan ruang refleksi sekaligus kritik. Ia menjadi medium untuk mempertanyakan relasi kuasa, ketimpangan sosial, dan tragedi kemanusiaan yang kerap disamarkan atau diabaikan.
Membaca sastra secara kontekstual membuat teks tidak lagi berdiri sendiri, tetapi berdialog dengan kondisi sosial, politik, dan sejarah yang melingkupinya. Dari sinilah makna sastra menjadi lebih bernas dan relevan.
Ronggeng Dukuh Paruk dan Jejak Sosial Peristiwa 1965
Perkuliahan teori sastra memperkenalkan beragam pendekatan pembacaan, mulai dari strukturalisme, filsafat sastra, psikologi sastra, hingga sosiologi sastra dan pendekatan interdisipliner. Di antara berbagai perspektif tersebut, sosiologi sastra memberi pengaruh paling signifikan terhadap cara saya memahami teks. Pendekatan ini menegaskan bahwa sastra tidak hanya memotret pengalaman individual tokoh, tetapi juga merekam kondisi sosial yang melatarbelakanginya.
Sosiologi sastra mengajarkan bahwa karya sastra selalu berada dalam jejaring sosial tertentu. Ia dipengaruhi oleh situasi politik, struktur ekonomi, dan konteks sejarah zamannya. Tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, pembacaan sastra berisiko menjadi parsial dan kehilangan kedalaman makna. Kesadaran inilah yang muncul secara kuat ketika saya membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dalam banyak diskusi awal, novel ini kerap dibaca melalui lensa feminisme. Tokoh Srintil diposisikan sebagai simbol perempuan yang tereksploitasi oleh tradisi dan budaya patriarkal. Pembacaan ini sah dan relevan.
Ahmad Tohari memang menggambarkan bagaimana tubuh dan identitas perempuan dikonstruksi oleh kepentingan sosial. Srintil tidak sepenuhnya memiliki kedaulatan atas hidupnya. Tubuhnya menjadi milik komunitas, sementara masa depannya ditentukan oleh norma dan kepentingan kolektif.
Namun, pembacaan yang berhenti pada persoalan gender menyisakan keterbatasan. Ronggeng Dukuh Paruk tidak hanya berbicara tentang perempuan dan tradisi, tetapi juga tentang masyarakat desa yang hidup dalam kerentanan struktural.
Dukuh Paruk digambarkan sebagai komunitas yang terpinggirkan secara ekonomi, terputus dari akses pendidikan, serta rapuh secara politik. Dalam kerentanan inilah, mereka menjadi korban dari peristiwa sejarah yang jauh lebih besar dari kemampuan mereka untuk memahami atau menghindarinya.
Melalui pendekatan sosiologi sastra, saya menyadari bahwa di balik kisah Srintil tersimpan narasi tentang tragedi sosial tahun 1965. Ahmad Tohari tidak menuturkannya secara eksplisit sebagai catatan sejarah. Ia memilih jalur yang lebih halus dengan menampilkan dampak peristiwa tersebut melalui perubahan nasib warga Dukuh Paruk. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam kesederhanaan tiba-tiba harus berhadapan dengan stigma politik, kekerasan, dan kehancuran sosial akibat konflik ideologis yang tidak mereka pahami.
Dalam novel ini, rakyat kecil tampil sebagai korban sejarah. Mereka tidak memiliki posisi tawar dalam pusaran kekuasaan dan ideologi. Tuduhan, ketakutan, serta kekerasan hadir sebagai kekuatan yang menghancurkan tatanan hidup komunitas desa. Melalui penggambaran ini, Ahmad Tohari memperlihatkan bagaimana sejarah besar sering kali ditanggung oleh mereka yang paling tidak berdaya.
Pengalaman mendiskusikan novel ini di kelas memperlihatkan bagaimana teori sastra mampu membuka lapisan-lapisan makna yang tersembunyi. Pembacaan feminis menyoroti relasi gender dan tubuh perempuan, sementara pendekatan sosiologi sastra menyingkap relasi kuasa, kepentingan politik, dan struktur sosial yang menindas. Kedua pendekatan tersebut tidak saling meniadakan, justru saling melengkapi dalam menghadirkan pemahaman yang lebih utuh terhadap teks.
Dari titik ini, cara saya membaca sastra mengalami perubahan mendasar. Karya sastra tidak lagi saya pandang sebagai teks dengan pesan tunggal, melainkan sebagai ruang dialog yang memuat beragam suara.
Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan bahwa peristiwa 1965 tidak hanya hidup dalam arsip dan buku sejarah, tetapi juga dalam pengalaman manusia biasa yang terdampak secara langsung. Sastra, dalam hal ini, menghadirkan sejarah dengan wajah yang lebih manusiawi, jujur, dan menyentuh.
Sastra sebagai Kesadaran Sosial
Pemahaman tersebut menuntut keberanian untuk melampaui pembacaan yang populer dan nyaman. Teori sastra membantu pembaca melihat bahwa di balik kisah cinta, tradisi, dan tubuh perempuan, tersimpan realitas sosial yang kompleks dan menyakitkan. Di sinilah sastra menunjukkan fungsinya sebagai cermin zaman sekaligus pengingat kolektif atas luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh.
Setelah satu semester mempelajari teori sastra, perubahan yang saya alami tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga reflektif. Sastra tidak lagi saya pahami sebagai bacaan yang berdiri sendiri atau sekadar hiburan, melainkan sebagai medium yang menyimpan suara sosial, sejarah, dan kemanusiaan. Setiap karya memiliki konteks kelahiran yang memengaruhi maknanya. Pesan-pesan penting sering kali baru terbuka ketika teks dibaca secara kritis dan kontekstual.
Pembacaan terhadap Ronggeng Dukuh Paruk menegaskan bahwa sastra mampu merekam peristiwa sejarah dengan cara yang lebih empatik. Novel ini menunjukkan bahwa tragedi 1965 tidak hanya menjadi angka dan narasi resmi, tetapi hidup dalam pengalaman masyarakat kecil yang kerap terpinggirkan.
Pendekatan sosiologi sastra mengajak pembaca melihat bagaimana kekuasaan, ideologi, dan struktur sosial dapat membentuk, bahkan menghancurkan, kehidupan individu dan komunitas.
Dalam konteks perkembangan literasi hari ini, teori sastra justru semakin relevan. Ia mencegah pembaca terjebak dalam pembacaan yang dangkal dan serba instan.
Teori sastra mendorong sikap kritis, reflektif, dan bertanggung jawab dalam memahami teks. Dengan demikian, karya sastra berperan sebagai media pembelajaran sosial yang menumbuhkan empati, kesadaran sejarah, serta kepekaan terhadap ketidakadilan.
Pembelajaran sastra idealnya tidak berhenti di ruang kelas. Ia perlu dihidupkan dalam praktik membaca dan mengapresiasi karya sastra secara berkelanjutan. Dengan cara inilah sastra dapat menjalankan fungsinya secara utuh sebagai cermin zaman, ruang kritik sosial, dan pengingat bagi generasi masa kini agar tidak melupakan sejarah dan kemanusiaan.





