Media sosial telah menjadi ruang publik baru yang amat menentukan siapa yang tampil dan siapa yang dilupakan. Di antara wajah-wajah selebritas, influencer, hingga tokoh-tokoh inspiratif dari perkotaan, wajah petani nyaris tak pernah muncul di linimasa yang bergerak cepat.
Padahal, petani adalah pahlawan pangan yang memastikan kebutuhan pokok seperti beras, sayuran, dan buah-buahan tersedia setiap hari di meja makan kita. Mereka bekerja sejak fajar menyingsing, menantang hujan dan terik matahari, berhadapan dengan hama serta keterbatasan lahan, bahkan menghadapi fluktuasi harga pasar demi menjamin isi perut jutaan orang tidak kosong.
Namun, kerja keras yang begitu esensial ini justru jarang mendapatkan sorotan—bahkan sekadar apresiasi digital. Petani tetap berada di pinggir narasi, tersembunyi dari sorotan kamera, dan nyaris tak pernah tampil di layar gawai kita.
Ketiadaan mereka bukan karena tak penting, melainkan akibat berlapis-lapis hambatan struktural yang menenggelamkan suara mereka di antara tren, algoritma, dan estetika digital yang lebih mengutamakan gaya hidup urban.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 33 juta petani, mayoritas di pedesaan. Namun, survei Kementerian Pertanian tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya sekitar 27% dari mereka yang menggunakan internet dalam aktivitas pertaniannya.
Dari jumlah itu pun, sebagian besar hanya menjadi pengguna pasif—misalnya membaca informasi dari grup WhatsApp atau menyimak video di Facebook. Sangat sedikit petani yang secara aktif membuat konten, membagikan proses bertani, atau mempromosikan produk mereka secara digital.
Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube yang seharusnya menjadi sarana membangun citra dan komunitas, justru jarang dijamah oleh para petani. Akibatnya, dunia pertanian sering kali hanya hadir sebagai latar belakang sesekali, bukan narasi utama.
Salah satu kendala paling mendasar adalah keterbatasan infrastruktur digital di wilayah pedesaan. Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2023 menyebutkan bahwa meskipun penetrasi internet nasional mencapai 78%, di daerah pedesaan angka ini bisa di bawah 60%.
Artinya, jutaan petani masih mengalami keterbatasan sinyal, jaringan yang tidak stabil, hingga tingginya biaya paket data. Dalam kondisi ini, mustahil bagi mereka untuk bersaing di dunia digital yang sangat cepat, visual, dan menuntut kualitas teknis tinggi. Bahkan ketika sinyal tersedia, tak sedikit petani yang belum memiliki perangkat memadai seperti smartphone dengan kamera berkualitas atau laptop untuk mengedit video.
Lebih dari sekadar infrastruktur, tantangan besar lainnya adalah literasi digital. Studi yang dilakukan Universitas Gadjah Mada pada 2021 terhadap petani di Kabupaten Kulon Progo menunjukkan bahwa meski sebagian besar responden memiliki ponsel, hanya sedikit yang memahami cara memanfaatkan media sosial untuk edukasi atau pemasaran.
Banyak yang menganggap media sosial hanya sebagai sarana hiburan atau komunikasi personal. Ketidaktahuan tentang fitur seperti hashtag, algoritma, atau teknik membuat konten yang menarik dan relevan menjadikan potensi mereka untuk tampil di ruang digital semakin mengecil. Akibatnya, meskipun mereka memiliki banyak cerita penting dan berharga, cerita tersebut tetap tak terdengar, tertimbun konten-konten lain yang lebih visual dan menghibur.
Stigma terhadap profesi petani juga menjadi penghalang signifikan. Dalam narasi media arus utama, petani kerap digambarkan sebagai profesi konvensional, kotor, dan tidak modern. Citra ini berdampak pada semangat generasi muda untuk melanjutkan profesi tersebut.
Banyak anak muda desa lebih memilih menjadi Youtuber, bekerja di kota, atau merantau daripada meneruskan usaha tani keluarga. Tak heran, data BPS menunjukkan bahwa usia rata-rata petani Indonesia pada 2022 mencapai 54 tahun.
Ini adalah indikasi serius dari krisis regenerasi petani di Indonesia. Ketika profesi petani tidak dianggap keren dan tidak memiliki daya tarik visual, akan sulit bagi mereka untuk tampil percaya diri di ruang digital yang penuh penilaian estetika.
Dari sisi konten, pertanian kerap dianggap tak cukup menarik bagi algoritma media sosial. Konten viral biasanya mengandung elemen kejutan, humor, atau emosi kuat. Video yang memperlihatkan proses menanam padi atau panen sayur tentu sulit bersaing dengan konten hiburan yang lebih dramatis.
Konten edukasi pun sering kali berbentuk tulisan panjang atau penjelasan teknis yang cenderung diabaikan oleh pengguna media sosial. Alhasil, meskipun beberapa petani dan penyuluh sudah mulai membuat konten edukatif, jangkauannya masih sangat terbatas.
Namun demikian, harapan tetap menyala. Munculnya komunitas-komunitas petani muda kreatif menjadi angin segar dalam membangun narasi baru pertanian di ruang digital. Komunitas seperti Petani Muda Keren di Jawa Barat atau Kampung Marketer di Wonosobo, berhasil menghadirkan wajah baru petani yang progresif dan digital-friendly.
Mereka memproduksi konten edukatif tentang teknik pertanian organik, memasarkan produk lokal, hingga mengadakan pelatihan daring mengenai pemasaran digital. Sosok seperti Joko, petani muda dari Yogyakarta, menjadi inspirasi karena berhasil memanfaatkan TikTok untuk mempromosikan olahan jahe dan meraih ratusan ribu penonton. Kisah-kisah seperti ini membuktikan bahwa petani bisa eksis di ruang digital bila diberikan akses dan pelatihan yang tepat.
Maka dari itu, dukungan yang dibutuhkan tak hanya sekadar pelatihan teknis, melainkan juga pembangunan ekosistem digital yang inklusif. Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama membangun internet desa yang stabil, menyediakan perangkat dan paket data murah, serta mengembangkan aplikasi ramah pengguna untuk petani.
Perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil juga dapat mengambil peran penting dengan mengadakan pelatihan literasi digital berbasis komunitas. Kolaborasi dengan influencer atau konten kreator yang memiliki kepedulian sosial pun sangat potensial dalam menjembatani petani dengan audiens perkotaan. Bayangkan dampaknya bila satu akun kuliner terkenal rutin mengangkat kisah petani lokal di balik bahan makanannya—hal ini akan turut mengubah cara publik memandang profesi petani.
Media massa pun memegang peranan penting. Ketimbang hanya mengejar berita sensasional dan viral sesaat, media seharusnya lebih banyak menyoroti kisah-kisah penuh inspirasi dari ladang, sawah, dan kebun. Banyak petani yang menjalankan inovasi lokal, menjaga kearifan lingkungan, hingga menjadi pelopor pertanian berkelanjutan.
Cerita-cerita ini layak menghiasi halaman utama berita, bukan hanya menjadi sisipan atau pelengkap yang cepat terlupakan. Jika media bersedia memberi ruang yang adil, maka narasi tentang petani akan berubah dari sekadar objek belas kasihan menjadi subjek perubahan sosial dan sumber inspirasi nasional.
Yang paling fundamental adalah mengubah cara pandang kita terhadap profesi petani. Petani bukan hanya pengguna cangkul, melainkan pelaku ekonomi kreatif yang mampu bersaing di era digital. Petani yang paham media sosial bisa mengakses pasar lebih luas, membangun jaringan, dan menyuarakan kepentingannya secara lebih efektif. Jika didukung, mereka bukan hanya memberi makan bangsa, tetapi juga menjadi simbol kekuatan desa dan kemajuan masyarakat akar rumput.
Jika seluruh pihak seperti pemerintah, swasta, media, hingga pengguna media sosial biasa—bekerja sama, maka satu juta like bukan lagi sekadar angka. Ia akan menjadi kekuatan nyata yang menyentuh dan memberdayakan ladang-ladang Indonesia.
Petani tidak butuh belas kasihan; mereka butuh panggung yang adil. Ketika narasi petani mendapat tempat layak di media sosial, kita tidak hanya menyelamatkan martabat profesi mereka, tapi juga menjaga masa depan ketahanan pangan nasional.
Kita sedang membangun keadilan narasi: agar kerja keras tidak lagi kalah oleh popularitas instan. Saat petani diberi ruang dan dukungan, mereka tak hanya menanam padi, tapi juga harapan bagi seluruh bangsa.





