Di tengah derasnya arus digitalisasi, Indonesia menempati posisi sebagai salah satu negara dengan tingkat penggunaan internet tertinggi di dunia. Berdasarkan data terbaru yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 221 juta penduduk Indonesia telah terhubung ke internet pada tahun 2024.
Angka ini setara dengan 79,5% dari total populasi. Sementara itu, laporan We Are Social mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 365 juta sambungan seluler aktif—menunjukkan bahwa satu individu bisa memiliki lebih dari satu perangkat.
Yang mencolok, masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 8 jam 30 menit per hari untuk berselancar di dunia maya, dengan 3 jam 45 menit khusus digunakan untuk mengakses media sosial.
Sebagian besar aktivitas digital ini dilakukan melalui gawai, yang kini telah menjadi semacam “organ tubuh tambahan” bagi 96% pengguna internet. Fakta ini memperkuat asumsi bahwa keterhubungan digital telah menjadi gaya hidup yang melintasi usia, kelas sosial, bahkan wilayah geografis.
Namun, angka-angka tersebut tidak hanya menunjukkan kemajuan teknologi, tetapi juga memperlihatkan tingkat ketergantungan yang semakin memprihatinkan.
Kita hidup dalam era ketika layar menjadi jendela utama menuju dunia luar. Namun ironisnya, layar yang sama justru menutup sebagian besar jendela interaksi nyata yang terjadi di sekitar kita. Ini adalah paradoks zaman modern: semakin mudah terhubung, namun justru semakin sering merasa terasing.
Dunia maya yang semula diharapkan memperluas jangkauan sosial, malah menciptakan ruang isolasi emosional dan psikologis bagi banyak orang.
Tentu saja, bukan berarti teknologi harus dipandang sebagai musuh. Transformasi digital membawa dampak positif yang signifikan, mulai dari terbukanya akses terhadap pendidikan dan informasi, layanan kesehatan yang menjangkau pelosok lewat telemedicine, hingga meningkatnya transaksi ekonomi melalui platform e-commerce.
Bahkan dalam bidang industri kreatif, kolaborasi dan inovasi berkembang pesat karena adanya teknologi digital. Menurut laporan lembaga riset ECBD dari Jerman, nilai transaksi e-commerce di Indonesia diprediksi mencapai USD 100 miliar pada tahun 2025.
Namun, manfaat digital ini datang bersama “tagihan sosial” yang tidak ringan. Ketergantungan terhadap layar telah menurunkan kualitas interaksi manusia. Survei menunjukkan bahwa hampir 45% remaja Indonesia usia 14–24 tahun pernah mengalami cyberbullying, bentuk kekerasan yang lahir dari ruang digital.
Selain itu, waktu yang dihabiskan di depan layar secara berlebihan berdampak langsung pada kesehatan: gangguan tidur, stres, kelelahan mata, nyeri leher dan punggung akibat postur tubuh yang tidak ideal. Riset juga menunjukkan bahwa paparan layar terutama di malam hari berkorelasi dengan meningkatnya risiko gangguan kecemasan dan kualitas tidur yang menurun.
Selain masalah personal, kita juga menghadapi persoalan struktural: ketimpangan akses. Pulau Jawa mencatatkan penetrasi internet sebesar 83,64%, sementara wilayah seperti Sulawesi hanya mencapai 68,35%.
Kesenjangan digital ini menciptakan risiko sosial baru: mereka yang terkoneksi berkembang pesat, sementara yang belum tersambung semakin tertinggal. Jika dibiarkan, jurang ini dapat memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi secara nasional.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita membutuhkan teknologi—jawabannya jelas. Namun, bagaimana kita memastikan bahwa kehadiran teknologi tidak mengikis esensi kehidupan manusia? Keseimbangan digital harus menjadi kebiasaan yang ditanamkan: membatasi waktu layar, menghadirkan ruang komunikasi tanpa distraksi, mematikan ponsel saat makan bersama, dan membangun relasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Era digital tidak akan melambat. Namun, kita sebagai individu masih memiliki kendali untuk melambat sejenak, menoleh ke sekitar, dan memastikan bahwa dalam kecepatan koneksi digital, kita tidak kehilangan koneksi yang paling penting: koneksi antar manusia. Jadi, yang perlu kita lawan bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan pola hidup yang menjauhkan kita dari hal-hal yang nyata dan bermakna.
Sebelum hari ini kembali berlalu di balik layar, tanyakan pada diri sendiri: kapan terakhir kali kamu benar-benar hadir, sepenuhnya, tanpa distraksi?





