Sidoarjo, kota yang kini dikenal dengan julukan “kota delta,” memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri. Apa sebenarnya arti dari julukan tersebut, dan bagaimana proses pembentukan kota ini? Artikel ini akan mengupas perjalanan historis Sidoarjo dari masa ke masa.
Menurut catatan sejarah, sebagian daratan di Kota Surabaya dan sebagian besar wilayah Kabupaten Sidoarjo terbentuk melalui proses sedimentasi Sungai Brantas. Pada masa itu, Sungai Kali Mas dan Sungai Porong, yang kini menjadi bagian penting dari lanskap geografis, belum terbentuk.
Sedimentasi yang terjadi selama ribuan tahun menciptakan delta yang luas. Berdasarkan penelitian, proses sedimentasi ini berlangsung selama sekitar 13 ribu tahun, meski angka ini masih bisa berubah sesuai kajian terbaru.
Menurut Pak Seto, seorang peneliti sejarah dan narasumber dalam pembahasan ini, delta merupakan daratan baru yang terbentuk akibat akumulasi sedimen dari sungai besar. “Rata-rata setiap mulut sungai, terutama di Sidoarjo hingga Kenjeran, menghasilkan daratan baru seluas enam kilometer persegi dalam 38 tahun,” jelas Pak Seto. Pengamatannya menggunakan Google Earth menunjukkan bagaimana perkembangan geografis di sekitar Sidoarjo berlangsung secara perlahan namun signifikan.
Awal Mula Nama Sidoarjo
Pada masa kolonial Hindia Belanda, Kabupaten Sidoarjo dikenal dengan nama Sidhokarie. Nama ini berubah menjadi Kabupaten Sidho-Ardjo pada tanggal 28 Mei 1859, berdasarkan Staatsblad Hindia Belanda No. 32.
Ejaan Sidho-Ardjo digunakan hingga akhir abad ke-19, sebelum diubah menjadi Sidoardjo pada awal abad ke-20. Setelah Indonesia merdeka, ejaan modern “Sidoarjo” mulai digunakan sejak 1972 dan terus dipertahankan hingga kini.
Baca Juga: Jaminan Berbasis Aset Digital: Tantangan dan Peluang di Dunia Keuangan Modern
Kabupaten Sidoarjo menjadi daerah administratif yang terpisah dari Kabupaten Surabaya pada pertengahan abad ke-19. Pada 31 Januari 1859, Raden Ngabehi Noto Poer diangkat sebagai bupati pertama Kabupaten Sidhokarie dengan gelar kebangsawanan Raden Tumenggung Panji Cokro Adi Negoro. Ia menjabat hingga 25 Januari 1863, menjadikan Sidoarjo sebagai wilayah otonom dengan struktur pemerintahan yang baru.
Sidoarjo dan Surabaya: Satu Sejarah, Dua Kota
Pada awal pembentukannya, wilayah Surabaya dan Sidoarjo merupakan satu kesatuan. Surabaya saat itu membentang hingga wilayah Porong, namun karena luasnya wilayah tersebut, pengelolaannya menjadi sulit. Oleh sebab itu, Porong dan sekitarnya kemudian menjadi bagian dari Sidoarjo.
Pak Seto menjelaskan bahwa titik nol Delta Brantas berada di wilayah Tarik, yang dianggap sebagai daratan tertua di kawasan Sidoarjo-Surabaya. “Setelah Tarik, daerah seperti Balongbendo, Sukodono, dan Prambon mulai terbentuk melalui proses sedimentasi alami. Kawasan lain seperti Waru dan Porong baru muncul belakangan,” ujar Pak Seto.
Pada abad ke-10 hingga ke-12, catatan sejarah menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Sidoarjo-Surabaya masih berupa perairan. Berdasarkan prasasti dan kronik kuno, seperti Prasasti Kamalagyan (1037 M) dan Prasasti Sangsang (907 M), disebutkan bahwa kawasan Hujung Galuh menjadi pelabuhan utama di wilayah ini. Pak Seto memperkirakan pelabuhan Hujung Galuh berada di area Sidoarjo saat ini.
Proses Terbentuknya Delta
Definisi delta mengacu pada daratan yang terbentuk akibat sedimentasi lumpur dari sungai besar, seperti Sungai Brantas. Sedimentasi ini mengubah perairan menjadi daratan secara perlahan selama ribuan tahun. Pada tahun 1000-an, delta pertama terbentuk di wilayah utara Sidoarjo, meliputi daerah seperti Sukodono, Krian, dan Taman. Proses ini terus berlangsung hingga bagian selatan Sidoarjo terbentuk.
Pak Seto menjelaskan bahwa sedimentasi ini juga dapat dikaitkan dengan prasasti dan catatan sejarah lainnya. “Jika dianalisis berdasarkan data matematis dan sejarah, kita bisa melihat bagaimana Sungai Brantas memainkan peran penting dalam membentuk lanskap Sidoarjo,” ungkapnya.
Baca Juga: Fenomena LGBT di Pondok Pesantren: Realita, Tantangan, dan Solusi
Pada masa kerajaan, wilayah ini juga disebut dalam Prasasti Wanua Tengah III (908 M) dan berbagai catatan Tiongkok, yang menggambarkan pentingnya Hujung Galuh sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan. Pada masa Kerajaan Kahuripan dan Janggala, kawasan ini mulai berubah menjadi daratan rawa-rawa, sebelum akhirnya berkembang menjadi kota yang kita kenal sekarang.
Sejarah Sidoarjo menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara faktor alam dan perkembangan peradaban manusia. Kota ini bukan hanya sekadar wilayah administratif, melainkan juga bukti nyata dari proses geologi yang berlangsung selama ribuan tahun. Julukan “kota delta” bukanlah tanpa alasan, melainkan cerminan dari perjalanan panjang pembentukan daratan melalui sedimentasi Sungai Brantas.
Sebagai kota yang terus berkembang, Sidoarjo memiliki warisan sejarah yang kaya dan layak untuk dijaga. Bagi masyarakat Sidoarjo, memahami sejarah kotanya dapat menjadi inspirasi untuk menghargai proses panjang yang telah membentuk identitas mereka.





