Sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia sekaligus yang tertua di Jawa Timur, Masjid Sunan Ampel memiliki tempat istimewa dalam sejarah Islam di Nusantara. Masjid ini bukan sekadar lokasi ibadah, melainkan juga simbol berkembangnya Islam di tanah Jawa.
Keberadaannya yang sakral membuat masyarakat meyakini bahwa tempat ini adalah lokasi mustajab untuk berdoa. Salah satu buktinya adalah adanya sumur tua di kompleks masjid yang diyakini memiliki nilai spiritual tinggi. Tradisi minum air dari sumur tersebut pun menjadi bagian dari perjalanan religius banyak peziarah.
Masjid Sunan Ampel berdiri di Jl. Ampel Masjid, Semampir, Surabaya. Didirikan pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel atau Raden Rahmat, masjid ini memiliki arsitektur khas Jawa dengan atap joglo yang terbuat dari kayu.
Selain menjadi tempat ibadah, masjid ini kini juga menjadi destinasi wisata religi yang ramai dikunjungi. Para pengunjung tidak hanya datang untuk berziarah ke makam Sunan Ampel, tetapi juga mengeksplorasi kawasan sekitarnya yang kaya akan nilai sejarah dan spiritual.
Raden Rahmat adalah salah satu anggota Wali Songo yang berperan penting dalam menyebarkan Islam di Jawa Timur. Beliau menjadikan Masjid Sunan Ampel sebagai pusat dakwah dan pendidikan, sekaligus mendirikan pesantren di kompleks tersebut.
Pendekatan dakwah Sunan Ampel yang menggunakan budaya lokal berhasil menarik perhatian masyarakat, terutama di masa peralihan dari kepercayaan Hindu-Buddha ke Islam. Tantangan besar dihadapinya, mengingat banyak kebiasaan masyarakat saat itu yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Baca Juga: Problematika Anak di Bawah Umur dan ‘Social Smoker’
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Sunan Ampel mengajarkan prinsip “Moh Limo,” yaitu moh main (tidak berjudi), moh ngombe (tidak mabuk-mabukan), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak mengonsumsi narkotika), dan moh madon (tidak berzina). Prinsip ini memberikan pengaruh besar, bahkan terus diingat hingga kini, meski beliau wafat pada tahun 1481.
Setelah wafatnya Sunan Ampel, perjuangan dakwah dan kelestarian masjid dilanjutkan oleh para ulama penerusnya. Salah satu tokoh yang dikenal adalah Mbah Sholeh, seorang penjaga masjid yang taat dan rendah hati.
Kisah tentang Mbah Sholeh banyak tersebar melalui cerita lisan. Salah satu cerita terkenal adalah karomahnya dalam memulihkan lampu masjid yang padam dengan doa. Selain itu, beliau dikenal menggali makamnya sendiri sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.
Tokoh lainnya adalah Mbah Hasan Gipo, yang merupakan Ketua Tanfidziyah pertama Nahdlatul Ulama (NU). Lahir di Surabaya pada tahun 1869, K.H. Hasan Gipo menjadikan NU sebagai wadah dakwahnya, bekerja sama dengan K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
Baca Juga: Ruang Hijau di Tengah Beton: Pentingnya Ruang Terbuka untuk Kesehatan Mental di Perkotaan
Selain berdakwah melalui NU, beliau juga dikenal dermawan dan sering memfasilitasi pertemuan para ulama pada masanya. Beliau wafat pada tahun 1934 dan dimakamkan di kompleks yang sama dengan Sunan Ampel dan Mbah Sholeh.
Keberadaan Masjid Sunan Ampel hingga kini tetap menjadi saksi bisu perjalanan Islam di Nusantara. Tempat ini tidak hanya memberikan ketenangan spiritual bagi pengunjung, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya melestarikan tradisi dan nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu.
Melalui selayang pandang ini, semoga generasi muda terinspirasi untuk membangun masa depan tanpa melupakan akar tradisi dan kebijaksanaan masa lalu.





