Serge Atlaoui, Hukuman Mati, dan Ujian Konsistensi Kedaulatan Hukum Indonesia

Vonis mati berhenti di landasan diplomasi. (gg)
Vonis mati berhenti di landasan diplomasi. (gg)

Kasus Serge Atlaoui kembali membuka perdebatan lama tentang hukuman mati, kedaulatan hukum nasional, dan relasi diplomatik Indonesia dengan negara sahabat. Warga negara Prancis itu divonis mati dalam perkara narkotika sejak hampir dua dekade lalu, namun justru dipulangkan ke negara asalnya dan kemudian dibebaskan dari jerat hukum pidana di Indonesia.

Peristiwa ini bukan sekadar kisah seorang terpidana yang lolos dari regu tembak, melainkan cermin dari kompleksitas penegakan hukum pidana di era global, ketika tekanan diplomatik, pertimbangan kemanusiaan, dan kepentingan negara saling berkelindan.

Bacaan Lainnya

Serge Atlaoui ditangkap pada 2005 di pinggiran Jakarta, dalam penggerebekan sebuah pabrik yang memproduksi MDMA atau ekstasi. Aparat penegak hukum menuduhnya sebagai bagian penting dari jaringan produksi narkotika internasional.

Ia disebut sebagai ahli kimia yang berperan dalam pengoperasian mesin dan pengolahan bahan kimia. Tuduhan ini menjadi dasar kuat bagi jaksa untuk menuntut hukuman berat, mengingat Indonesia memandang kejahatan narkotika sebagai extraordinary crime yang mengancam generasi bangsa.

Atlaoui sejak awal menolak tuduhan tersebut. Ia menyatakan hanya bekerja sebagai tukang las yang diminta memasang dan memperbaiki mesin di sebuah bangunan yang ia kira merupakan pabrik akrilik.

Dalih ini berulang kali disampaikan sepanjang proses peradilan. Namun pengadilan tingkat pertama tidak menerima pembelaan tersebut. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sebelum Mahkamah Agung pada 2007 memperberat vonis menjadi hukuman mati dalam proses peninjauan.

Vonis tersebut menempatkan Atlaoui dalam deretan terpidana mati kasus narkotika yang menunggu eksekusi. Selama bertahun-tahun, namanya kerap muncul dalam daftar narapidana yang siap ditembak, bersanding dengan warga negara asing lain yang dijerat kasus serupa. Indonesia pada periode itu menunjukkan sikap tegas dalam perang melawan narkoba, dengan mengeksekusi sejumlah terpidana demi menunjukkan efek jera dan ketegasan negara.

Namun eksekusi Atlaoui tak pernah benar-benar terlaksana. Pada 2015, ketika regu tembak sudah bersiap dan jadwal eksekusi hampir tiba, pemerintah Indonesia menunda pelaksanaannya. Penundaan itu terjadi setelah pemerintah Prancis meningkatkan tekanan diplomatik, dengan alasan masih adanya proses hukum yang belum sepenuhnya selesai, termasuk permohonan peninjauan kembali. Delapan terpidana lain dieksekusi pada tahun yang sama, tetapi Atlaoui kembali ke selnya, menambah panjang daftar penantian hukuman mati yang tak kunjung dieksekusi.

Penangguhan tersebut menandai titik penting dalam perjalanan kasus ini. Dari sudut pandang hukum pidana, penundaan eksekusi selama bertahun-tahun kerap diperdebatkan sebagai bentuk ketidakpastian hukum dan bahkan penyiksaan psikologis.

Dari sisi politik dan diplomasi, keputusan itu menunjukkan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak pernah berdiri sepenuhnya di ruang steril hukum, melainkan selalu bersentuhan dengan relasi antarnegara.

Situasi Atlaoui semakin kompleks ketika faktor kemanusiaan masuk ke dalam pertimbangan negara. Ia didiagnosis menderita kanker dan telah menghabiskan hampir 20 tahun hidupnya di balik jeruji besi. Pada Desember lalu, ia mengajukan permohonan terakhir kepada pemerintah Indonesia agar sisa masa hukumannya dapat dijalani di Prancis. Pemerintah Prancis merespons cepat permohonan tersebut, membuka jalur negosiasi resmi dengan pemerintah Indonesia.

Hasilnya adalah penandatanganan dokumen pengaturan praktis atau practical arrangements pada 24 Januari 2025. Kesepakatan itu ditandatangani oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Kehakiman Prancis Gérald Darmanin.

Penandatanganan dilakukan di dua lokasi berbeda dan disaksikan oleh pejabat diplomatik, menegaskan bahwa keputusan ini merupakan kebijakan negara ke negara, bukan semata-mata keputusan teknis pemasyarakatan.

Melalui kesepakatan tersebut, Indonesia memutuskan untuk tidak mengeksekusi Serge Atlaoui dan memindahkannya ke Prancis. Pemerintah Prancis menyatakan menghormati putusan pengadilan Indonesia dan berkomitmen melanjutkan pelaksanaan hukuman sesuai sistem hukum mereka. Tanggung jawab Indonesia dibatasi pada proses pemindahan hingga Atlaoui masuk ke pesawat dan diserahkan kepada otoritas Prancis.

Di sinilah persoalan mendasar muncul. Dalam sistem hukum Prancis, hukuman mati telah dihapus sejak lama. Seorang terpidana mati dari negara lain otomatis tidak dapat dieksekusi. Pemerintah Prancis menyampaikan bahwa hukuman Atlaoui akan dikonversi menjadi pidana penjara maksimal 30 tahun. Bahkan, terbuka kemungkinan adanya pengurangan hukuman melalui grasi, amnesti, atau mekanisme hukum lain yang sah menurut hukum Prancis.

Secara formal, Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur apa yang terjadi setelah Atlaoui berada di bawah yurisdiksi Prancis. Namun secara substantif, publik patut bertanya apakah pemindahan ini sejalan dengan semangat penegakan hukum nasional, khususnya dalam pemberantasan narkotika.

Ketika seorang terpidana mati dipulangkan dan berpotensi dibebaskan lebih cepat, pesan apa yang hendak disampaikan negara kepada masyarakat dan kepada pelaku kejahatan lintas negara?

Perbandingan dengan kebijakan narkotika di negara lain memperlihatkan bahwa pendekatan hukum memang sangat dipengaruhi nilai dan filosofi negara masing-masing. Belanda, misalnya, menerapkan kebijakan toleransi terbatas terhadap ganja melalui prinsip gedoogbeleid.

Negara ini menempatkan isu narkotika dalam kerangka kesehatan publik, pencegahan, dan pengurangan dampak sosial. Rehabilitasi dan regulasi dipilih untuk menekan kriminalitas dan risiko kesehatan.

Amerika Serikat mengambil jalur berbeda. Selama puluhan tahun, kebijakan War on Drugs menempatkan narkotika sebagai musuh utama yang harus dilawan dengan sanksi pidana berat. Hukuman penjara panjang dan kriminalisasi luas menjadi ciri utama pendekatan ini, meskipun belakangan sejumlah negara bagian mulai melonggarkan aturan terkait ganja. Perbedaan ini menunjukkan bahwa hukum narkotika bukan semata persoalan teknis pidana, melainkan refleksi pilihan politik dan moral suatu negara.

Indonesia selama ini konsisten berada pada spektrum penegakan hukum yang keras, khususnya terhadap produsen dan pengedar narkotika. Hukuman mati dipertahankan dengan alasan perlindungan generasi muda dan kedaulatan hukum. Karena itu, pemulangan Serge Atlaoui menimbulkan kesan inkonsistensi, meskipun secara formal dapat dibenarkan melalui mekanisme kerja sama internasional.

Persoalan utamanya terletak pada absennya payung hukum yang jelas mengenai transfer narapidana. Keputusan memindahkan Atlaoui sangat bergantung pada diskresi pemerintah dan kesepakatan bilateral. Tanpa undang-undang khusus, kebijakan semacam ini rawan ditafsirkan sebagai keputusan ad hoc yang dipengaruhi tekanan politik dan diplomatik. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan wibawa hukum nasional.

Indonesia membutuhkan Undang-Undang tentang Transfer Narapidana atau Transfer of Sentenced Persons yang mengatur syarat, prosedur, batasan, serta konsekuensi hukum secara tegas. Regulasi tersebut penting untuk menjaga konsistensi kebijakan, melindungi kepentingan nasional, dan memastikan bahwa kerja sama internasional tidak menggerus prinsip keadilan dan kepastian hukum. Tanpa dasar hukum yang kuat, selalu ada risiko bahwa pelaku kejahatan serius memanfaatkan celah diplomatik untuk menghindari hukuman maksimal.

Kasus Serge Atlaoui seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar polemik sesaat. Negara perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil, termasuk atas dasar kemanusiaan, tetap berpijak pada kerangka hukum yang kokoh dan transparan. Penegakan hukum yang berdaulat tidak diukur dari keras atau lunaknya hukuman semata, melainkan dari konsistensi, keadilan, dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan sejarah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *