Sibuk Mencari WiFi, Kehilangan Jati Diri

Penulis Sibuk Mencari WiFi, Kehilangan Jati Diri - Ummi Nur Aisyah
Penulis Sibuk Mencari WiFi, Kehilangan Jati Diri - Ummi Nur Aisyah

Di banyak kampus, pemandangan yang berulang hampir menyerupai rutinitas tak tertulis. Mahasiswa berpindah dari satu sudut ke sudut lain bukan untuk berdiskusi atau bertukar gagasan, melainkan berburu jaringan WiFi.

Di koridor kelas, tangga gedung, hingga area kantin, gawai menjadi pusat perhatian. Mata tertuju pada layar, jari sibuk menggulir tanpa jeda. Dunia akademik seakan mengecil ke dalam genggaman. Ironisnya, ketika koneksi digital kian kuat, hubungan mahasiswa dengan kesadaran diri justru melemah.

Bacaan Lainnya

Fenomena ini menandai perubahan mendasar dalam cara generasi muda berinteraksi dengan pengetahuan. Informasi kini hadir lebih cepat daripada proses memahami. Satu kata kunci di mesin pencari mampu membuka ribuan jawaban, namun kelimpahan itu tidak otomatis melahirkan pemahaman.

Kemudahan akses sering kali menciptakan ilusi mengetahui, padahal yang terjadi hanyalah konsumsi informasi secara dangkal. Mahasiswa menikmati privilese besar berupa akses global ke ilmu pengetahuan, tetapi pada saat yang sama, daya ingin tahu justru terkikis karena terbiasa pada jawaban instan, bukan proses pencarian makna.

Kecenderungan ini terasa jelas dalam ruang akademik. Banyak mahasiswa piawai mengutip teori dari jurnal atau artikel daring, tetapi gagap ketika diminta menjelaskan esensinya dengan bahasa sendiri.

Makalah dapat disusun rapi dengan daftar pustaka yang panjang, namun keberanian untuk berpendapat dan berpikir mandiri kerap menghilang. Kampus yang dulu dikenal sebagai ruang dialektika kini lebih sering berfungsi seperti ruang kerja bersama yang bising tetapi dingin. Aktivitas padat, interaksi minim. Diskusi tergantikan oleh pencarian cepat, perdebatan oleh salin-tempel referensi.

Padahal, jati diri mahasiswa tidak berhenti pada status sosial sebagai “anak kuliahan”. Ia bertaut erat dengan kesadaran berpikir kritis, etika intelektual, dan tanggung jawab sosial. Kesadaran inilah yang perlahan kabur di tengah notifikasi, pembaruan status, dan arus konten algoritmik.

Banyak mahasiswa lebih sibuk membangun citra digital ketimbang memperdalam isi pikiran. Aktivitas belajar kerap dipentaskan demi dokumentasi visual, sementara proses berpikir itu sendiri terabaikan.

Refleksi ditampilkan dalam caption, tetapi belum tentu sungguh-sungguh dipahami. Jika mahasiswa adalah cermin bagi bangsanya, pantulan yang buram tentu menyulitkan masyarakat melihat arah masa depan dengan jernih.

Masalah ini tidak bisa disederhanakan sebagai kesalahan teknologi. Internet dan perangkat digital adalah capaian peradaban yang membuka peluang belajar tanpa batas. Persoalan muncul ketika teknologi tidak lagi menjadi alat, melainkan pengendali. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang mempercepat pudarnya jati diri mahasiswa.

Pertama, budaya instan yang diperkuat oleh media sosial. Segala sesuatu dituntut serba cepat: informasi, tugas, bahkan proses berpikir. Ketekunan dianggap membosankan, padahal justru dalam proses itulah karakter intelektual dibentuk.

Kedua, sistem pendidikan yang masih terlalu menekankan capaian angka dibandingkan pemahaman mendalam. Mahasiswa didorong belajar demi lulus ujian, bukan demi membekali diri menghadapi kompleksitas kehidupan. Penilaian akademik sering kali gagal mengukur kemampuan berpikir kritis, kepekaan sosial, dan integritas moral. Ketiga, hilangnya ruang untuk merenung.

Jadwal perkuliahan yang padat, organisasi yang menumpuk, serta paparan digital tanpa henti menyisakan sedikit ruang untuk berhenti dan bertanya tentang arah. Mahasiswa terus bergerak, tetapi tidak selalu tahu ke mana hendak melangkah.

Akibatnya, lahirlah generasi yang terampil secara teknis, namun rapuh dalam makna. Mereka tampak menguasai banyak hal, tetapi kesulitan mendefinisikan posisi dan tanggung jawabnya sebagai insan intelektual. Pengetahuan berubah menjadi kumpulan data, bukan panduan nilai. Intelektualitas kehilangan dimensi etisnya.

Meski demikian, jalan untuk kembali selalu terbuka. Menemukan jati diri tidak berarti menolak kemajuan zaman, melainkan menempatkan diri secara sadar di tengah perubahan. Teknologi seharusnya menjadi sarana penghubung, bukan penghalang. Internet dapat dimanfaatkan sebagai ruang belajar yang luas, asalkan disertai kemampuan mengendalikan diri. Ada saatnya berhenti menggulir layar dan mulai memberi ruang bagi refleksi.

Langkah awalnya justru sederhana. Membaca buku tanpa tergoda memeriksa notifikasi. Mendengarkan perkuliahan untuk memahami gagasan, bukan sekadar mencatat demi ujian. Menulis opini sebagai latihan berpikir, bukan hanya membuat unggahan singkat.

Berdiskusi dengan teman tanpa menjadikan mesin pencari sebagai penentu akhir setiap argumen. Praktik-praktik kecil ini melatih kedalaman berpikir yang semakin langka di tengah budaya serba cepat.

Tanggung jawab digital juga menjadi kunci. Setiap informasi perlu disaring sebelum dibagikan. Setiap pendapat perlu dipikirkan dampaknya sebelum diucapkan. Setiap perbedaan pandangan layak dihargai tanpa harus diseragamkan. Identitas intelektual tidak dibangun dari banyaknya teori yang dihafal, melainkan dari konsistensi sikap dalam bertindak dan keberanian menjaga nilai.

Belajar, dalam pengertian yang lebih luas, bukan semata soal indeks prestasi. Ia menyangkut upaya memahami kehidupan dan posisi diri di dalamnya. Nilai tertinggi bukan angka di transkrip akademik, melainkan pemahaman yang membentuk watak. Menjadi mahasiswa di era digital berarti menjaga keseimbangan antara dunia maya dan kenyataan. Teknologi boleh menjadi bagian dari keseharian, tetapi nalar dan nurani tetap harus memimpin.

Kritisisme mahasiswa tidak boleh lenyap hanya karena kenyamanan ruang virtual. Media digital memang membuka ruang ekspresi, tetapi tidak bisa sepenuhnya menggantikan dialog langsung yang jujur dan berlapis makna.

Perdebatan di media sosial sering tereduksi menjadi pertukaran emosi, sementara diskusi tatap muka memaksa argumen diuji secara lebih bertanggung jawab. Dalam konteks ini, nilai kemanusiaan seperti kejujuran, integritas, dan empati harus tetap menjadi fondasi. Tanpa nilai-nilai tersebut, intelektualitas hanya berubah menjadi atribut kosong.

Kita hidup di masa koneksi sangat cepat, tetapi kecepatan itu kehilangan arti jika manusia terputus dari jati dirinya. Jaringan WiFi mampu menghubungkan kita dengan lautan informasi, namun hanya kesadaran yang sanggup menyatukan pengetahuan dengan makna. Jati diri mahasiswa tidak dihasilkan oleh algoritma.

Ia tumbuh melalui membaca yang tekun, diskusi yang jujur, refleksi yang mendalam, dan tindakan nyata. Karena itu, sebelum terlalu sibuk mencari sinyal terkuat, mahasiswa perlu membangun koneksi yang lebih mendasar dengan diri sendiri, sesama, dan prinsip kemanusiaan. Arah hidup tidak ditentukan oleh kecepatan akses, melainkan oleh keteguhan menjaga identitas sebagai insan berpikir.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *