Dalam beberapa tahun terakhir, istilah STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) semakin sering diperbincangkan di dunia pendidikan Indonesia. Banyak kalangan menilai bahwa pendekatan ini mampu menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, terutama di tingkat sekolah dasar.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah STEM sekadar tren pendidikan global, atau benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bagi masa depan anak-anak Indonesia?
Pendidikan dasar sejatinya merupakan fondasi penting dalam membentuk pola pikir dan karakter anak. Sayangnya, sistem pembelajaran di sekolah dasar selama ini masih didominasi oleh hafalan dan penguasaan teori.
Anak-anak lebih sering diminta mengingat rumus atau definisi daripada memahami bagaimana konsep itu berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, pelajaran terasa kaku dan jauh dari pengalaman nyata yang seharusnya dapat membangkitkan rasa ingin tahu mereka.
Pendekatan STEM muncul sebagai jawaban atas persoalan tersebut. Melalui integrasi antara sains, teknologi, teknik, dan matematika, siswa diajak belajar dengan cara yang lebih kontekstual dan menyenangkan.
Mereka tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam proyek yang menuntut kemampuan berpikir kritis, kreatif, serta kerja sama tim. Misalnya, saat membuat alat penyaring air sederhana, siswa belajar memahami proses ilmiah (sains), merancang alat (engineering), menggunakan bahan dengan teknologi sederhana, sekaligus menghitung perbandingan bahan (matematika).
Dengan cara seperti ini, literasi sains tumbuh secara alami. Anak-anak terbiasa mengamati, bereksperimen, dan menarik kesimpulan berdasarkan data yang mereka temukan sendiri. Sains tidak lagi dianggap sebagai pelajaran rumit, tetapi sebagai cara berpikir untuk memahami dunia sekitar.
Begitu pula dengan literasi numerasi matematika tak lagi sekadar angka dan rumus, melainkan alat untuk memecahkan masalah nyata. Saat membuat jembatan mini dari sedotan misalnya, mereka belajar mengukur, menimbang keseimbangan, dan menghitung kekuatan struktur sambil bermain dan bereksperimen.
Namun, penerapan STEM di sekolah dasar tentu tidak tanpa hambatan. Banyak guru masih mengalami kesulitan dalam merancang pembelajaran berbasis proyek karena kurangnya pelatihan, keterbatasan fasilitas, dan waktu yang terbatas.
Kurikulum yang padat sering membuat guru lebih berfokus pada pencapaian nilai akademik daripada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Padahal, keberhasilan STEM sangat bergantung pada kesiapan guru sebagai fasilitator dan inovator dalam proses belajar.
Oleh karena itu, dukungan dari berbagai pihak menjadi sangat penting. Pemerintah perlu memperkuat pelatihan guru dan menyediakan sarana belajar yang mendukung eksperimen serta proyek kolaboratif.
Dunia pendidikan pun perlu lebih berani memberi ruang bagi siswa untuk bereksplorasi, gagal, lalu mencoba lagi. Sebab, di situlah sebenarnya esensi pembelajaran berbasis STEM — membentuk karakter pantang menyerah dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Pada akhirnya, STEM bukan sekadar tren yang datang dan pergi, melainkan kebutuhan nyata dalam menghadapi era teknologi dan informasi yang terus berkembang. Generasi masa depan harus dibekali kemampuan berpikir logis, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan.
Anak-anak yang terbiasa berpikir ilmiah sejak dini akan lebih siap menghadapi tantangan global, tidak hanya dari sisi akademik, tetapi juga dalam kemampuan menyelesaikan masalah nyata di masyarakat.
Dengan demikian, penerapan STEM di sekolah dasar bukan hanya strategi pembelajaran modern, melainkan investasi jangka panjang untuk membangun generasi yang literat, numerat, dan inovatif. Bila pendidikan mampu menumbuhkan rasa ingin tahu, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian mencoba hal baru, maka kita sedang menyiapkan anak-anak yang tak sekadar cerdas tetapi juga siap menghadapi masa depan dengan percaya diri.





