Suku Awyu dan Perjuangan Menjaga Hutan Adat dari Ancaman Sawit

Ilustrasi foto/cnn
Ilustrasi foto/cnn

Suku Awyu yang mendiami wilayah Papua memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan adat mereka. Bagi masyarakat Awyu, hutan bukan sekadar sumber daya alam, melainkan rumah, warisan leluhur, dan bagian dari identitas budaya.

Dari hutan, mereka memperoleh makanan, obat-obatan tradisional, bahan bangunan, hingga peralatan hidup sehari-hari. Lebih dari itu, hutan telah membentuk pola hidup dan sistem nilai yang diwariskan turun-temurun melalui kearifan lokal yang menjaga kelestarian alam.

Bacaan Lainnya

Dalam keseharian, masyarakat Awyu mengandalkan aktivitas berburu, meramu, serta bertani dengan cara-cara tradisional yang tidak merusak alam. Mereka juga menggantungkan hidup dari hasil hutan seperti rotan, sagu, dan damar. Pola hidup ini telah membuktikan bahwa kehidupan yang seimbang dengan alam bukanlah utopia, melainkan kenyataan yang telah dijalani selama generasi.

Namun, harmoni itu kini terancam oleh laju ekspansi industri—terutama perkebunan kelapa sawit. Masuknya perusahaan-perusahaan besar dengan konsesi yang luas mengancam tidak hanya kelestarian lingkungan, tetapi juga eksistensi budaya dan identitas masyarakat Awyu.

Hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka perlahan tergerus, tergantikan oleh kebun-kebun sawit yang seragam dan asing bagi kearifan lokal mereka.

Sejak tahun 2013, beberapa perusahaan, termasuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), memperoleh izin untuk membuka lebih dari 36.000 hektare lahan di Papua Selatan. Proses perizinan ini sering kali tidak melibatkan atau mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat sebagai pemilik tanah ulayat. Akibatnya, konflik pun tak terhindarkan.

Penolakan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan bukan tanpa alasan. Mereka khawatir kehilangan akses terhadap hutan yang menjadi tumpuan hidup. Mereka juga menyadari bahwa kerusakan hutan berarti hilangnya pengetahuan lokal, struktur sosial, serta sistem nilai yang selama ini menyatu dengan alam. Ketika sawit masuk, bukan hanya pohon yang ditebang—tetapi juga sejarah, cerita leluhur, dan masa depan anak cucu yang dipertaruhkan.

Salah satu tokoh yang vokal dalam perjuangan ini adalah Hendrikus Woro, yang menggugat izin lingkungan perusahaan ke pengadilan. Ia dan masyarakat Awyu lainnya menilai bahwa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan tidak melibatkan masyarakat terdampak dan mengabaikan keberadaan serta hak-hak mereka. Mereka merasa keputusan yang diambil tanpa suara mereka adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Sayangnya, perjuangan hukum ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung pun kandas. Pada tahun 2024, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan masyarakat Awyu. Keputusan ini menjadi pukulan berat bagi komunitas yang selama ini berjuang mempertahankan hak mereka secara konstitusional.

Namun demikian, semangat perjuangan itu belum padam. Masyarakat Awyu terus menggalang dukungan melalui advokasi publik, kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, dan kampanye penyadaran lingkungan. Mereka memahami bahwa perjuangan ini bukan hanya soal mempertahankan wilayah, tetapi juga mempertahankan identitas masyarakat adat Papua dari peminggiran struktural yang berlangsung bertahun-tahun.

Konflik ini menjadi cerminan tarik-menarik antara kepentingan ekonomi dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat di Indonesia. Di tengah ambisi pembangunan nasional yang seringkali berlandaskan pada eksploitasi sumber daya, suara-suara masyarakat adat kerap tenggelam. Padahal, mereka adalah penjaga terakhir dari sisa-sisa hutan yang masih lestari.

Secara hukum, sebenarnya ada dasar kuat yang bisa digunakan masyarakat adat untuk memperjuangkan hak mereka. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, mengakui keberadaan hutan adat sebagai hutan hak.

Penguatan juga datang dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, melainkan milik masyarakat hukum adat. Artinya, pengelolaan dan perlindungan hutan adat harus mengakui hak masyarakat adat sebagai pemilik, bukan sekadar pengguna.

Lebih lanjut, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 juga memberikan pedoman mengenai kriteria penetapan hutan adat. Peraturan ini menyebutkan bahwa hutan adat bisa ditetapkan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan negara, asalkan memenuhi fungsi konservasi, lindung, dan/atau produksi yang dikelola berdasarkan kearifan lokal.

Namun dalam praktiknya, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih menghadapi tantangan administratif dan politis. Proses pengajuan status hutan adat memerlukan pengakuan formal melalui peraturan daerah atau keputusan kepala daerah. Tanpa pengakuan ini, masyarakat adat tetap rentan terhadap klaim sepihak dari investor dan pengambil kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian dan keadilan.

Perjuangan masyarakat Awyu menjadi simbol dari banyak perjuangan masyarakat adat lainnya di berbagai penjuru nusantara. Mereka bukan anti-pembangunan, tetapi menuntut pembangunan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Mereka ingin agar hutan yang telah mereka rawat selama berabad-abad tetap menjadi warisan untuk generasi mendatang.

Kini, bola ada di tangan kita semua—pemerintah, masyarakat sipil, dan warga negara. Apakah kita akan membiarkan hutan-hutan adat musnah demi keuntungan jangka pendek, atau berdiri bersama masyarakat adat untuk memastikan bahwa pembangunan tidak melupakan akar identitas bangsa ini?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *