Warisan merupakan topik yang sering menjadi bahan perbincangan, terutama ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang perlu dibagikan kepada para ahli waris. Warisan ini bisa berupa properti, uang tunai, surat berharga, kendaraan, hingga berbagai jenis aset berharga lainnya.
Secara umum, warisan merujuk pada harta atau kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang setelah meninggal dunia. Meskipun demikian, dalam aspek perpajakan, pembagian warisan memiliki aturan tersendiri yang wajib diketahui dan dipahami oleh ahli waris agar tidak menimbulkan masalah hukum maupun administratif di kemudian hari.
Mengacu pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh atau diterima oleh wajib pajak, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut bisa digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak itu sendiri, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Namun, terdapat pengecualian penting yang perlu diperhatikan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf b UU HPP, warisan dikecualikan sebagai objek pajak. Artinya, secara umum, penerimaan harta warisan oleh ahli waris tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh).
Meskipun demikian, jika bentuk warisan tersebut berupa tanah dan/atau bangunan yang hendak dialihkan kepemilikannya kepada ahli waris, maka berlaku ketentuan tambahan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016, atas penghasilan yang diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, termasuk perjanjian pengikatan jual beli serta perubahannya, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Namun, perlu diketahui bahwa penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan dapat dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh. Hal ini diatur dalam Pasal 6 huruf d PP 34/2016 yang menyebutkan bahwa pengalihan karena warisan tidak dikenakan pajak, selama ahli waris mengurus dan mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) atas penghasilan dari pengalihan tersebut.
Siapa yang Mengajukan SKB Waris?
Berdasarkan Pasal 101 ayat (4) PER-08/PJ/2015 tentang Ketentuan Pemberian Layanan Administrasi Perpajakan Tertentu Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan, permohonan SKB Waris diajukan oleh ahli waris. Pengajuan dilakukan dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) milik ahli waris dan diproses oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat ahli waris terdaftar.
Permohonan SKB Waris dapat diajukan secara online melalui akun Coretax milik ahli waris, atau dilakukan secara manual ke KPP terdekat dengan melampirkan dokumen persyaratan dan dokumen pendukung lainnya, seperti akta kematian pewaris, bukti kepemilikan aset, dan dokumen legal lainnya.
Bagaimana Cara Mengajukan SKB Waris di Coretax?
Sejak diberlakukannya sistem Coretax pada Januari 2025, semua pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan dilakukan melalui sistem ini. Untuk mengajukan SKB Waris secara online, ahli waris harus sudah terdaftar dan terverifikasi di Coretax.
Jika ahli waris sebelumnya telah menjadi wajib pajak aktif di DJP Online, maka akses ke Coretax dapat dilakukan dengan memilih opsi “lupa password” agar dapat membuat ulang kredensial. Namun, bagi ahli waris yang belum memiliki NPWP atau belum pernah terdaftar, maka perlu melakukan registrasi terlebih dahulu melalui menu “Daftar di sini” atau aktivasi akun di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak.
Setelah berhasil mengakses Coretax, langkah pengajuan SKB Waris dilakukan melalui menu “Layanan Administrasi”, kemudian pilih sub-menu “Buat Permohonan Layanan Administrasi”. Selanjutnya, pilih jenis layanan “AS.19 SKB PPh”.
Jika seluruh persyaratan formal dan material terpenuhi, maka Kepala KPP akan memproses permohonan tersebut. SKB Waris akan diterbitkan dalam waktu paling lambat tiga hari kerja sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap dan sah.
Dengan memahami prosedur dan ketentuan ini, ahli waris dapat mengurus pembagian warisan, khususnya yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, secara legal dan bebas dari potensi permasalahan perpajakan di kemudian hari.