Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan tradisi dan budaya yang beragam. Di tengah modernisasi dan perubahan zaman, masih ada banyak tradisi yang bertahan dan tetap hidup di tengah masyarakat, salah satunya adalah tradisi Syawalan yang dirayakan di Kota Pekalongan.
Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari perayaan Idul Fitri, tetapi juga mencerminkan semangat kebersamaan dan gotong royong masyarakat setempat.
Syawalan merupakan tradisi khas masyarakat Jawa yang biasa digelar pada minggu pertama bulan Syawal, setelah perayaan Idul Fitri. Di Kota Pekalongan, perayaan ini menjadi momen penting yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Tradisi ini mengandung nilai spiritual, sosial, dan budaya yang begitu kuat, menjadikannya bukan sekadar seremoni, melainkan bagian dari identitas masyarakat.
Salah satu daya tarik utama Syawalan di Pekalongan adalah hadirnya Lopis Raksasa, makanan khas yang terbuat dari beras ketan dan dibentuk seperti silinder besar. Dalam konteks perayaan ini, lopis tidak dibuat dalam ukuran biasa, melainkan dalam skala raksasa yang beratnya bisa mencapai satu ton.
Proses pembuatannya melibatkan banyak warga yang bahu-membahu menyiapkan bahan dan memasaknya secara bersama-sama. Kegiatan ini bukan hanya soal memasak makanan tradisional, tetapi menjadi simbol kekompakan dan kerja sama warga yang luar biasa.
Selain lopis, suasana Syawalan di Pekalongan juga diramaikan dengan beragam kegiatan budaya dan hiburan. Di sepanjang jalan-jalan utama, warga menyelenggarakan bazar makanan, pertunjukan seni tradisional, hingga berbagai lomba yang melibatkan anak-anak dan orang dewasa.
Acara ini menjadi sarana hiburan yang menyenangkan dan sekaligus memperkuat interaksi sosial antarwarga. Tidak sedikit wisatawan dari luar kota yang datang untuk menyaksikan kemeriahan dan keunikan budaya ini secara langsung.
Di balik perayaannya yang meriah, Syawalan juga mengandung makna spiritual yang mendalam. Setelah menjalani bulan Ramadan dengan berbagai amalan ibadah, Syawalan menjadi momentum untuk merayakan kemenangan sekaligus menjalin kembali tali silaturahmi.
Masyarakat saling mengunjungi, bermaaf-maafan, dan mempererat hubungan yang mungkin sempat renggang. Tradisi ini menciptakan suasana hangat dan damai yang begitu khas pasca-Lebaran.
Sejarah mencatat bahwa perayaan Syawalan di Pekalongan sudah berlangsung sejak tahun 1855. Ini menunjukkan bahwa tradisi ini memiliki akar yang kuat dan telah diwariskan lintas generasi. Di tengah tantangan zaman modern dan derasnya arus globalisasi, menjaga agar generasi muda tetap mengenal dan mencintai tradisi ini bukanlah hal mudah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan untuk terus menyosialisasikan pentingnya pelestarian budaya lokal.
Melibatkan anak-anak dan remaja dalam kegiatan Syawalan dapat menjadi langkah awal yang strategis. Misalnya, melalui lomba membuat lopis mini, pertunjukan seni oleh pelajar, atau pelatihan budaya lokal di sekolah-sekolah. Dengan pendekatan yang inklusif dan kreatif, tradisi ini tidak hanya bisa dipertahankan, tetapi juga dikembangkan agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Secara keseluruhan, Syawalan di Kota Pekalongan merupakan bukti nyata bagaimana sebuah tradisi dapat menjadi perekat sosial, pemupuk semangat gotong royong, dan cerminan identitas budaya yang membanggakan.
Di tengah dunia yang kian individualistis, tradisi seperti ini menjadi pengingat akan pentingnya hidup dalam harmoni, saling menghargai, dan merawat warisan leluhur. Semoga semangat Syawalan terus hidup dan berkembang sebagai inspirasi dari sudut negeri yang patut kita jaga bersama.
Daftar Pustaka
- Taufiq, M. K. (2018). Tradisi syawalan di Pekalongan (Antara nilai solidaritas sosial dan argumentasi Agama) (Doctoral dissertation, UNUSIA).
- Imam Yuda Saputra. 2022. Lopis Raksasa, Tradisi Syawalan di Kota Pekalongan. Diakses pada 2 April 2025 dari https://regional.espos.id/lopis-raksasa-tradisi-syawalan-di-kota-pekalongan-1301382





