Lahir pada 9 Februari 1915 di Desa Pintu Padang Julu, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Syekh Ali Hasan Ahmad Ad-Dary tumbuh dalam lingkungan keluarga ulama yang sangat religius.
Ayahnya, Syekh Ahmad Zein, adalah seorang guru agama yang sangat dihormati masyarakat setempat, sementara ibunya, Siti Amas Nasution, dikenal sebagai perempuan sholehah yang menanamkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan keluarganya.
Sejak usia dini, Syekh Ali Hasan sudah dibimbing untuk mencintai Al-Qur’an. Ia mulai belajar membaca Al-Qur’an secara tradisional kepada Lobe Kasim dan pamannya, Malim Saleh. Pendidikan formalnya dimulai di Madrasah Islamiyah Padang Sidimpuan dan Volkschool di Siabu.
Namun, langkah penting dalam hidupnya terjadi saat ia melanjutkan pendidikan ke Ma’had Musthafawiyah Purba Baru pada usia sembilan tahun. Di bawah asuhan Syekh Mustafa Husain, ia mendalami berbagai disiplin ilmu seperti fikih, tafsir, hadis, dan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, serta balaghah.
Usia 13 tahun menjadi titik balik dalam perjalanan intelektualnya. Bersama keluarganya, ia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan memutuskan untuk menetap di Mekkah selama sebelas tahun guna memperdalam ilmu agama.
Di kota suci itu, ia berguru kepada sejumlah ulama besar di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum, termasuk Syaikh Ahmad Harosani, Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusy, dan Syaikh Muhammad Alawi al-Maliki.
Tidak hanya belajar, Syekh Ali Hasan juga dipercaya menjadi pengajar di Madrasah Darul Ulum pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, menandakan kematangan keilmuannya yang diakui para tokoh ulama.
Setelah menuntaskan pendidikan di Mekkah, Syekh Ali Hasan pulang ke Indonesia pada tahun 1938 dan memilih untuk fokus dalam dunia pendidikan formal Islam. Pada dekade 1960-an, ia menjadi tokoh penting dalam reorganisasi pendidikan tinggi Islam di Sumatera Utara.
Salah satu pencapaian terbesarnya adalah pendirian PERTINU, yang kelak berkembang menjadi Universitas NU Sumatera Utara (UNUSU).
Salah satu warisan intelektual terpenting dari Syekh Ali Hasan adalah kontribusinya dalam bidang kajian hadis. Di saat masyarakat masih dominan memusatkan perhatian pada fikih, ia justru memperkenalkan dan mengembangkan studi hadis secara sistematis di Sumatera Utara.
Ia menulis dan menerbitkan puluhan buku tentang hadis, termasuk karya monumental “Pokok-Pokok Musthalah Hadis” — buku pertama di bidangnya yang diterbitkan di daerah tersebut. Karya lainnya seperti “Al-Ikmal Fii Maratib Ar-Rijal” dan “Ilmu Hadis Praktis” juga mendapat tempat penting dalam khazanah keilmuan Islam.
Ciri khas dari karya-karya Syekh Ali Hasan adalah pendekatan yang inklusif. Ia menulis dalam bahasa Arab dan Indonesia, menggunakan huruf Arab dan Latin, agar mudah dipahami oleh masyarakat luas. Ia memperkenalkan konsep-konsep penting dalam ilmu hadis seperti Jarh wa Ta’dil dan Thabaqat ar-Rijal kepada para pelajar, guru, dan masyarakat umum, memperkuat posisi ilmu hadis sebagai bagian penting dalam pendidikan Islam.
Di luar aktivitas akademis, Syekh Ali Hasan juga aktif dalam berbagai organisasi keagamaan dan sosial. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Al-Washliyah cabang Mekkah, menjadi anggota komite perjuangan kemerdekaan Indonesia di Mekkah, serta mendirikan organisasi Al-Ittihadiyah Islamiah (ALI).
Di tanah air, ia terlibat dalam struktur NU dan Masyumi di tingkat daerah, termasuk sebagai Ketua MWC NU Kecamatan Siabu dan tokoh Masyumi cabang Panyabungan.
Syekh Ali Hasan dikenal sebagai pribadi yang sederhana, disiplin, tegas, dan sangat mencintai ilmu. Ia memiliki kepedulian tinggi terhadap kemajuan umat Islam serta terbuka pada perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar ajaran agama. Kepeduliannya terhadap generasi muda membuatnya aktif membina para pelajar dan santri agar memiliki wawasan luas serta kokoh dalam akidah.
Syekh Ali Hasan Ahmad Ad-Dary wafat pada 26 Februari 1998 di Medan dalam usia 83 tahun. Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya di dunia pendidikan dan pengembangan kajian hadis, namanya diabadikan sebagai nama Universitas Islam Negeri Padangsidimpuan.
Warisan pemikiran dan perjuangannya tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi penerus, khususnya dalam pengembangan keilmuan Islam yang mencerahkan.





