Di era digital yang serba cepat, notifikasi muncul tanpa henti, tren berganti setiap jam, dan kehidupan orang lain terpampang di layar kita setiap detik. Di tengah arus informasi yang tiada habisnya, banyak orang, terutama remaja dan dewasa yang merasa merasa takut tertinggal.
Ketakutan untuk tidak terlibat dalam setiap kejadian, tren, atau obrolan online inilah yang kita kenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out),sebuah fenomena psikologis yang kini mengakar kuat di era digital.
Fenomena inilah yang menjadi perhatian mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang tengah menjalani praktik akademiknya di bawah naungan Biro Psikologi Ariva Consulta.
Sebagai bagian dari kontribusi akademik dan sosial mereka, para mahasiswa menginisiasi kegiatan webinar bertema “From FOMO to JOMO (Joy of Missing Out)”, yang diselenggarakan pada 28 Oktober 2025.
Kegiatan ini menjadi ruang refleksi bagi generasi muda untuk berhenti sejenak dan merenung. Tujuannya adalah memahami betul bagaimana tekanan digital menggerus kesehatan mental, serta belajar menemukan kembali kenikmatan hidup tenang di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pernah berhenti berlari.
Fakta di Balik Fenomena FOMO
FOMO bukan hanya sekadar rasa penasaran terhadap kehidupan orang lain, melainkan bentuk kegelisahan modern yang dipicu oleh budaya membandingkan diri dalam setiap kejadian, tren, atau obrolan online di media sosial.
Menurut psikolog Andrew Przybylski (2013), fenomena FOMO muncul dari kebutuhan dasar manusia untuk terhubung dan merasa diterima. Namun, ketika media sosial terlalu mendominasi hidup, kebutuhan itu akan berubah menjadi kecemasan takut tertinggal, takut tidak tahu, dan takut tidak diakui.
Dalam webinar ini, peserta diajak menyadari bahwa tekanan digital memengaruhi banyak aspek kehidupan yakni mulai dari waktu, produktivitas, hingga keseimbangan emosional. Hasil kegiatan menunjukkan adanya peningkatan pemahaman sebesar 23,8%, dari rata-rata nilai pre-test 36,64 menjadi 45,36 setelah kegiatan berlangsung. Angka ini menunjukkan bahwa edukasi mengenai digital well-being bukan sekadar relevan, tetapi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran mental generasi muda.
Dari FOMO Menuju JOMO, Transformasi Pola Pikir
JOMO (Joy of Missing Out) adalah kebalikan dari FOMO yakni sebuah filosofi hidup yang menekankan pentingnya menikmati ketidakhadiran dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Menurut Christina Crook (2015) dalam bukunya The Joy of Missing Out: Finding Balance in a Wired World, JOMO adalah bentuk kesadaran digital di mana seseorang memilih untuk “terlepas” bukan karena apatis, tetapi karena ingin hadir secara penuh dalam kehidupannya sendiri.
Sementara itu, Dan Nixon (2019) dalam Philosophy Now Journal menjelaskan bahwa JOMO adalah praktik digital minimalism atau seni menolak distraksi agar bisa fokus pada apa yang benar-benar bermakna.
Dalam sesi webinar, Kak Faradiba Permatahati, S.Psi., M.Psi., Psikolog. selaku narasumber sekaligus psikolog di Biro Psikologi Ariva Consulta menyampaikan kutipan yang membekas di hati peserta:
“Hidup bukanlah perlombaan untuk selalu hadir di setiap momen, mengetahui segala hal, atau mengikuti setiap tren yang lewat. Justru, dalam diam dan jeda, sering kali kita menemukan makna. Dalam missing out, kita belajar bersyukur atas apa yang telah ada, tanpa terus menyesali apa yang belum kita punya.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa ketenangan sejati tidak terletak pada seberapa cepat kita mengikuti dunia, tetapi pada kemampuan untuk berhenti dan menikmati keberadaan diri sendiri.
Seni Hidup Tenang di Era Gempuran trend media sosial
Psikolog Dr. Sherry Turkle (2015) menyebutkan bahwa “kesepian di era digital bukan karena kita sendirian, tetapi karena kita terlalu banyak terhubung tanpa kedalaman yang bermakna.” Media sosial sering kali menumbuhkan ilusi kebersamaan, padahal di balik layar, banyak yang merasa lelah dan kehilangan arah.
Melatih JOMO berarti melatih mindfulness yakni kesadaran penuh terhadap momen masa kini. beberapa Langkah sederhana yang dapat dilakukan yakni seperti membatasi waktu online, melakukan digital detox, menulis jurnal rasa syukur, atau sekadar berjalan tanpa ponsel dapat membantu seseorang menemukan keseimbangan batin. Dalam konteks psikologis, praktik seperti ini terbukti menurunkan stres dan meningkatkan kepuasan hidup (Brown & Ryan, 2003).
Kegiatan webinar yang mengusung tema “From FOMO to JOMO” ini menjadi pengingat bahwa di tengah derasnya arus informasi, manusia tetap membutuhkan ruang untuk diam, jeda, dan menyadari dirinya sendiri.
Bahwa tidak semua hal harus diikuti, tidak semua kabar perlu diketahui, dan tidak setiap momen harus diabadikan. Dalam diam, justru kita sering menemukan kedalaman; dalam kehilangan, kita sering belajar tentang cukup; dan dalam missing out, kita belajar tentang hadir sepenuhnya.
Konsep JOMO bukan sekadar ajakan untuk menjauh dari dunia digital, melainkan tentang menemukan keseimbangan antara koneksi dan kesadaran diri. Ketika seseorang mampu berhenti sejenak dari arus yang menenggelamkan, ia belajar menata ulang prioritas, mengenal kebutuhan emosionalnya, dan menghargai kehidupan nyata di sekelilingnya.
“Kadang, tenang adalah cara paling berani untuk bertahan di dunia yang terlalu sibuk sibuk.”
Namun, menemukan ketenangan bukan hal yang mudah. Ada kalanya kita butuh teman bicara, ruang aman untuk memahami pikiran yang terasa sesak, atau bimbingan profesional agar bisa menata ulang langkah dengan lebih bijak.
Jika Anda membutuhkan bimbingan atau layanan profesional untuk membantu menemukan keseimbangan diri dan kesehatan mental di era digital, hubungi kami di Biro Psikologi Ariva Consulta. Kami siap mendampingi Anda melalui layanan konseling yang hangat, empatik, dan profesional.





