Fenomena pinjaman online (pinjol) ilegal kian mengkhawatirkan dalam ekosistem digital Indonesia. Ratusan aplikasi pinjol tanpa izin bermunculan dan menawarkan pinjaman instan hanya dalam hitungan menit.
Di balik kemudahannya, pinjol ilegal justru menjadi jebakan finansial dan psikologis yang menyengsarakan masyarakat. Bukan menjadi solusi atas kebutuhan keuangan, justru banyak dari korban yang harus menghadapi teror digital, pelecehan, hingga kerugian ekonomi serius.
Umumnya, pinjol ilegal tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan beroperasi tanpa pengawasan hukum. Mereka menyasar kelompok masyarakat rentan secara ekonomi seperti pelaku UMKM, buruh harian, hingga mahasiswa.
Iming-iming kemudahan ini ternyata menyembunyikan skema bunga mencekik, denda harian yang tidak masuk akal, serta metode penagihan yang sangat tidak manusiawi. Dalam kasus-kasus ekstrem, tekanan psikologis yang ditimbulkan bahkan mendorong korban untuk mengakhiri hidupnya.
Realitas kelam ini tidak bisa lagi dipandang sebagai kesalahan pribadi atau semata persoalan pinjam-meminjam. Fenomena pinjol ilegal merupakan bentuk kejahatan terorganisir yang memanfaatkan celah hukum dan rendahnya literasi digital di masyarakat.
Untuk itu, penanganannya tidak cukup hanya dengan pendekatan administratif semata. Pendekatan hukum pidana harus menjadi garda terdepan dalam melindungi konsumen dari kejahatan berbasis teknologi ini.
Namun, kenyataannya banyak laporan korban pinjol ilegal yang berakhir tanpa tindak lanjut. Banyak yang menganggap persoalan ini hanya sebatas urusan perdata antara kreditur dan debitur. Padahal, dalam banyak kasus, sudah jelas terdapat unsur pidana, seperti ancaman kekerasan, pencemaran nama baik, penyalahgunaan data pribadi, hingga pemerasan yang dilakukan oleh pelaku.
Sebenarnya, hukum positif Indonesia telah memiliki dasar untuk menjerat pelaku. Pasal 368 KUHP mengatur tentang pemerasan, Pasal 310 KUHP menyasar pencemaran nama baik, sementara Pasal 29 dan Pasal 45B Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menindak tegas tindakan pengancaman secara elektronik.
Tambahan penting lainnya adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang memberikan landasan kuat bagi penindakan penyalahgunaan data konsumen.
Sayangnya, tantangan tidak hanya ada pada aspek regulasi, tetapi juga dalam tataran implementasi. Aparat penegak hukum sering kali belum memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk menyelidiki kejahatan siber yang menggunakan identitas palsu dan server luar negeri. Hal ini membuat proses penegakan hukum menjadi lambat dan tidak efektif, sehingga menambah rasa tidak aman bagi korban.
Dalam konteks pinjol ilegal, konsumen tidak hanya menjadi korban kerugian ekonomi, tetapi juga korban pelanggaran atas hak privasi dan keamanan digital. Perlindungan terhadap konsumen harus diperluas dan menyentuh aspek hukum pidana, agar memberikan efek jera bagi pelaku dan menjamin keadilan bagi masyarakat.
Negara tidak boleh hanya sekadar memblokir aplikasi atau mengeluarkan daftar hitam. Dibutuhkan langkah yang lebih tegas dan terkoordinasi. Salah satu solusi konkret adalah pembentukan satuan tugas khusus penegakan hukum terhadap pinjol ilegal yang melibatkan Polri, OJK, Kominfo, dan Kejaksaan. Satgas ini perlu diberi mandat tidak hanya untuk penindakan hukum, tetapi juga pemulihan hak korban, pelacakan aset pelaku, dan edukasi publik.
Di sisi lain, peningkatan literasi digital dan hukum bagi masyarakat juga menjadi hal mendesak. Kampanye edukasi harus dilakukan secara masif, terutama pada komunitas akar rumput. Informasi perlu disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan berbasis kasus nyata, agar masyarakat mengetahui bahwa mereka berhak menolak intimidasi serta melaporkan pelaku ke jalur pidana.
Kejahatan pinjol ilegal merupakan bentuk eksploitasi digital yang menjebak masyarakat melalui kelemahan sistem dan ketidaktahuan. Untuk menghadapi tantangan ini, pendekatan hukum pidana bukan hanya dibutuhkan, melainkan harus menjadi garda depan dalam menciptakan perlindungan nyata. Negara tidak boleh kalah oleh algoritma dan teror digital yang menyusup ke dalam kehidupan masyarakat.
Penegakan hukum yang hidup, tegas, dan berpihak pada korban menjadi keharusan. Jika tidak, masyarakat akan terus dibiarkan menghadapi jeratan pinjol ilegal seorang diri, tanpa perlindungan yang memadai dari negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung utama.
Mata Kuliah : Sistem Hukum Indonesia
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H





