TikTok Shop dan Ketidakadilan Pasar Digital: Membaca Realitas dari Kacamata Mansur Faqih

Penulis TikTok Shop dan Ketidakadilan Pasar Digital: Membaca Realitas dari Kacamata Mansur Faqih - Otaria Cahya Anugrah
Penulis TikTok Shop dan Ketidakadilan Pasar Digital: Membaca Realitas dari Kacamata Mansur Faqih - Otaria Cahya Anugrah

Fenomena TikTok Shop dalam beberapa waktu terakhir menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Platform ini bukan sekadar ruang berbagi video hiburan, melainkan telah menjelma menjadi pasar raksasa yang mengubah pola konsumsi publik hanya dalam hitungan bulan.

Dengan menggulir layar, menekan ikon keranjang kuning, dan membayar secara instan, konsumen memperoleh kemudahan dan harga yang dianggap sulit disaingi. Namun di balik segala efisiensi itu, tersimpan persoalan yang jarang masuk dalam sorotan: pedagang kecil kehilangan pelanggan, kios pasar tradisional kian lengang, dan UMKM lokal terdesak oleh arus persaingan yang tak imbang.

Bacaan Lainnya

Bagi sebagian orang, perubahan ini dianggap wajar dalam dinamika ekonomi digital. Namun membaca fenomena ini melalui pemikiran Mansur Faqih ilmuwan sosial kritis yang banyak membedah relasi kuasa dalam neoliberalisme memberi kita perspektif yang lebih tajam.

TikTok Shop bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan cermin bagaimana pasar digital bekerja dalam logika neoliberal: efisien, kompetitif, dan modern di permukaan, namun menyisakan ketimpangan struktural di lapisan terdalamnya.

Dalam kerangka pikir Mansur Faqih, neoliberalisme selalu tampil dengan wajah yang seolah ramah. Ia menjanjikan kemudahan, percepatan distribusi, serta peluang ekonomi baru. Namun ketika mekanisme pasar dibiarkan bergerak tanpa regulasi yang memadai, kekuatan modal besar akan mendominasi.

Perusahaan raksasa dengan akses teknologi dan jaringan distribusi global menjadi pemenang tunggal, sementara pedagang kecil, perajin lokal, dan UMKM tersisih di tanahnya sendiri.

TikTok Shop memperlihatkan gejala itu dengan gamblang. Didukung algoritma yang agresif dan modal tak terbatas, platform tersebut mengendalikan aliran perhatian sekaligus aliran transaksi. Harga barang yang ditawarkan sangat murah kadang tidak realistis bukan semata karena efisiensi, melainkan strategi berbiaya besar yang hanya mampu dimainkan oleh pemain bermodal raksasa. Kemampuan untuk menjual barang dengan margin minim atau bahkan merugi adalah keistimewaan yang tidak dimiliki UMKM lokal.

UMKM berada pada posisi yang jauh lebih rapuh. Banyak dari mereka masih berjuang membenahi hal dasar seperti kemasan, branding, hingga literasi digital. Kemampuan beradaptasi menjadi penentu bertahan hidup, namun akses terhadap pengetahuan dan teknologi yang tidak merata membuat kompetisi menjadi timpang sejak awal. Di sinilah letak ketidakadilan struktural yang disoroti Mansur Faqih: ketika aturan dan ekosistem pasar secara tidak langsung dirancang menguntungkan sebagian pihak.

Perubahan digital juga belum sepenuhnya sejalan dengan kesiapan pelaku usaha kecil. Banyak pedagang tradisional tidak memahami pola promosi berbasis algoritma atau strategi penggunaan fitur penjualan online. Mereka tertinggal bukan karena kualitas produk, tetapi karena ketidaksamaan akses terhadap sumber daya baik pengetahuan maupun teknologi.

Di sisi lain, masyarakat memiliki peran yang tidak kecil. Pilihan konsumen untuk membeli produk lokal bukan hanya persoalan harga, tetapi bentuk keberpihakan pada keberlanjutan ekonomi setempat. Pertumbuhan UMKM berarti menggerakkan rantai ekonomi yang lebih luas: petani, buruh produksi, pengrajin, hingga pedagang kecil yang menopang kehidupan banyak keluarga.

Fenomena TikTok Shop adalah momentum refleksi bagi negara dan masyarakat. Transformasi digital tidak dapat dihentikan, tetapi dapat diarahkan. Negara perlu hadir melalui regulasi yang melindungi pelaku usaha kecil mulai dari pengawasan harga, tata niaga digital, hingga pemberdayaan UMKM. Tanpa intervensi yang tegas, kita berisiko hanya menjadi konsumen di negeri sendiri, sementara pelaku ekonomi lokal kian terpinggirkan.

Indonesia membutuhkan sistem ekonomi digital yang inklusif, bukan yang memperbesar kesenjangan. Teknologi seharusnya menjadi alat untuk memajukan banyak orang, bukan sekadar memperkuat dominasi pemilik modal besar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *