Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat Jawa masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu tradisi yang terus hidup dan dipraktikkan secara luas, khususnya di Kabupaten Tegal, adalah perhitungan weton dalam pernikahan.
Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari kebudayaan, tetapi juga mencerminkan cara pandang masyarakat terhadap kehidupan, jodoh, dan keharmonisan rumah tangga.
Pernikahan, bagi masyarakat Jawa, bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan juga ikatan antara dua keluarga besar yang membawa harapan dan tanggung jawab sosial. Dalam prosesnya, perhitungan weton dijadikan alat untuk menilai kecocokan pasangan berdasarkan hari lahir mereka.
Keyakinan bahwa hasil perhitungan ini bisa memengaruhi nasib pernikahan, seperti keberuntungan, keharmonisan, hingga risiko perceraian, menjadikan weton sebagai pedoman yang masih dijaga keberadaannya hingga kini.
Weton adalah kombinasi antara hari lahir dan pasaran dalam kalender Jawa: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Masing-masing hari dan pasaran memiliki nilai numerik atau neptu, yang kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan ini menentukan klasifikasi hubungan yang bisa mencerminkan kecocokan atau potensi masalah dalam pernikahan.
Sebagai contoh, seseorang yang lahir pada Rabu Pon memiliki neptu 14, sementara pasangannya yang lahir pada Jumat Legi memiliki neptu 11. Jika dijumlahkan, hasilnya adalah 25. Berdasarkan Primbon Jawa, angka ini bisa jatuh pada kategori seperti Pegat (tidak cocok dan rentan cerai), Jodoh (cocok dan langgeng), Ratu (harmonis dan disegani), Tibo Ratu (dihormati dan berbahagia), Sujanan (penuh pertengkaran), hingga Topo (banyak tantangan di awal, tetapi menjanjikan kesuksesan di akhir).
Masyarakat di Kabupaten Tegal, seperti halnya di berbagai wilayah Jawa lainnya, masih kerap menggunakan perhitungan weton sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa meski zaman telah berubah, pandangan spiritual dan budaya tetap mendapat tempat tersendiri.
Dalam sudut pandang hukum adat, perhitungan weton termasuk dalam hukum kebiasaan yang diakui dan dijalankan oleh masyarakat setempat. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum positif seperti hukum negara, adat ini mengikat secara sosial dan moral. Nilai-nilai dalam hukum adat dianggap sah karena telah melewati proses pewarisan dan diterima secara luas oleh masyarakat.
Ketika hasil weton menunjukkan kecocokan yang buruk, keputusan akhir biasanya melibatkan pertimbangan dari orang tua dan tokoh adat. Mereka bukan hanya memediasi, tetapi juga menjaga kelangsungan nilai-nilai tradisional yang dianggap mampu menghindarkan keluarga dari konflik atau kegagalan rumah tangga.
Namun, di era saat ini, nilai-nilai adat ini mulai menghadapi tantangan. Generasi muda banyak yang cenderung memilih berdasarkan cinta dan kecocokan emosional semata. Mereka lebih menekankan rasionalitas dan komunikasi dalam membangun hubungan, dan mulai mempertanyakan relevansi perhitungan weton dalam menentukan masa depan.
Perhitungan weton tidak hanya berdampak pada pasangan yang akan menikah, tetapi juga pada lingkungan sosial mereka. Di beberapa kasus, pasangan yang dianggap “tidak cocok” menurut weton bisa menghadapi tekanan atau bahkan penolakan dari keluarga.
Beberapa pasangan memilih untuk tetap menikah, menghadapi tantangan bersama meskipun ditentang. Sementara itu, tidak sedikit pula yang akhirnya mengalah demi menghormati orang tua dan adat yang berlaku.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat, bahkan dalam keputusan-keputusan personal. Tradisi ini menjadi semacam ujian antara menjunjung nilai leluhur dan mempertahankan hak untuk memilih sendiri jalan hidup.
Dalam perspektif hukum Islam, keyakinan berlebih terhadap perhitungan weton bisa dianggap mendekati perbuatan syirik. Dalam ajaran Islam, jodoh merupakan takdir Allah yang tidak dapat dihitung melalui angka. Sejumlah ulama di Tegal menyuarakan agar masyarakat tidak menjadikan weton sebagai satu-satunya penentu jodoh, melainkan tetap mengutamakan doa, ikhtiar, dan niat yang baik.
Dari sisi hukum negara, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perhitungan weton tidak diakui sebagai bagian dari syarat sah pernikahan. Negara lebih menekankan pada aspek administratif dan sahnya pernikahan menurut agama yang dianut.
Meskipun demikian, pengaruh budaya dan tradisi tetap menjadi bagian penting yang diakui dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang majemuk.
Jika hasil weton menunjukkan tanda-tanda ketidakcocokan, bukan berarti pernikahan harus dibatalkan. Dalam praktiknya, keluarga dapat melakukan upaya-upaya simbolis atau spiritual untuk menetralisasi pengaruh negatif. Misalnya dengan menggelar ruwatan atau memilih tanggal pernikahan yang dianggap membawa energi baik.
Ritual-ritual ini bukan hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap adat, tetapi juga sebagai bentuk ketenangan batin bagi keluarga besar, sekaligus menunjukkan bahwa tradisi bisa dijalankan bersamaan dengan akal sehat dan perasaan.
Perhitungan weton kini tidak lagi dianggap mutlak, tetapi lebih sebagai warisan budaya yang dihormati. Banyak pasangan muda yang mulai membuka ruang kompromi antara tradisi dan realitas hidup modern. Keputusan akhir tetap berada di tangan individu yang menjalani hubungan, dengan memperhatikan nasihat orang tua, norma adat, serta nilai-nilai agama.
Bagi sebagian keluarga, weton adalah cara menjaga warisan leluhur dan harmonisasi sosial. Bagi lainnya, keberhasilan rumah tangga lebih dipengaruhi oleh komunikasi, empati, kepercayaan, dan kesiapan untuk tumbuh bersama dalam berbagai situasi kehidupan.
Pergeseran ini memperlihatkan bahwa masyarakat Jawa, termasuk di Tegal, sedang dalam proses adaptasi antara nilai adat dan dinamika zaman. Tradisi tetap hidup, namun tidak membelenggu. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara akar budaya dan perkembangan peradaban.





