Papua, sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan budaya yang luar biasa di Indonesia, menyimpan banyak tradisi unik yang sarat akan makna spiritual dan nilai-nilai adat. Salah satu tradisi yang mencuri perhatian dunia luar adalah Iki Palek, yakni praktik pemotongan jari sebagai ekspresi duka yang dilakukan oleh suku Dani. Tradisi ini menjadi simbol kesetiaan dan kedukaan mendalam terhadap anggota keluarga yang telah meninggal dunia.
Meskipun tampak ekstrem bagi sebagian kalangan, Iki Palek tidak dapat dipahami hanya dari perspektif luar atau modern. Ia perlu dikaji dari dalam, melalui lensa hukum adat yang telah mengakar kuat di masyarakat suku Dani. Tulisan ini mengulas praktik Iki Palek dalam bingkai hukum adat, makna sosial dan spiritualnya, dampak kesehatannya, serta tantangan yang dihadapi dalam era modernisasi.
Iki Palek adalah praktik budaya yang sarat makna. Jari dalam kepercayaan suku Dani melambangkan kekeluargaan, kesatuan, dan harmoni sosial. Oleh karena itu, pemotongan jari bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga simbolis, sebagai wujud nyata rasa kehilangan atas orang tercinta. Luka di jari dianggap sebagai pantulan luka di hati akibat kepergian sosok yang dicintai.
Ritual ini umumnya dilakukan oleh perempuan, meskipun dalam kasus tertentu laki-laki juga terlibat. Prosesnya bisa menggunakan alat tajam seperti pisau, atau dengan mengikat jari hingga putus. Menariknya, potongan jari sering kali dikuburkan bersama jenazah, sebagai simbol bahwa bagian tubuh tersebut akan menemani sang almarhum.
Meski menyakitkan, praktik ini bukan tindakan tanpa makna. Sebaliknya, ia merupakan bentuk penghormatan, cinta, dan ikatan spiritual yang erat antara yang hidup dan yang telah tiada. Namun, praktik ini tidak bisa dilepaskan dari konteks hukum adat yang menaunginya.
Hukum adat merupakan sistem nilai dan norma yang berkembang secara turun-temurun dalam masyarakat lokal. Ia tidak tertulis, namun hidup dalam praktik dan kesadaran kolektif masyarakat. Dalam konteks suku Dani, hukum adat tidak hanya mengatur perilaku sosial, tetapi juga menjadi sumber makna dan identitas.
Ada beberapa pendekatan teoritik yang dapat digunakan untuk memahami posisi Iki Palek dalam hukum adat.
Pertama adalah teori kearifan lokal. Teori ini menekankan pentingnya norma-norma budaya sebagai penuntun perilaku sosial. Iki Palek, dalam pandangan ini, adalah bentuk solidaritas kolektif dan penghormatan kepada leluhur yang tidak bisa digantikan oleh norma hukum formal.
Kedua adalah teori interaksi simbolik, yang melihat jari sebagai simbol penting dalam struktur sosial suku Dani. Pemotongan jari menjadi komunikasi simbolik yang menyatakan kehilangan, kesetiaan, dan ikatan emosional.
Ketiga, melalui teori fungsi sosial hukum adat, praktik potong jari menjadi mekanisme kolektif untuk mengelola duka dalam komunitas. Ritual ini memungkinkan ekspresi emosional yang diterima dan dihormati oleh seluruh masyarakat, sehingga memperkuat kohesi sosial.
Namun, di balik nilai-nilai budaya tersebut, praktik potong jari menyimpan risiko besar bagi kesehatan. Infeksi, kehilangan fungsi tangan, serta trauma psikologis adalah konsekuensi nyata yang harus dihadapi oleh pelaku ritual.
Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah berupaya mengurangi bahkan melarang praktik ini, atas dasar perlindungan hak asasi manusia dan kesehatan. Upaya ini diperkuat oleh masuknya agama, pendidikan modern, serta media yang membuka ruang diskusi lebih luas tentang praktik-praktik adat ekstrem.
Meski begitu, sebagian masyarakat suku Dani masih tetap mempertahankan praktik Iki Palek. Bagi mereka, meninggalkan tradisi ini sama halnya dengan memutuskan ikatan spiritual dengan leluhur dan identitas budaya mereka sendiri.
Di sinilah konflik antara adat dan negara muncul: di satu sisi ada semangat pelestarian budaya, di sisi lain ada kewajiban negara untuk melindungi warganya dari bahaya.
Modernisasi adalah tantangan serius bagi eksistensi tradisi Iki Palek. Generasi muda Papua kini semakin terhubung dengan dunia luar melalui pendidikan dan teknologi. Mereka mulai mempertanyakan relevansi tradisi yang dianggap berbahaya dan bertentangan dengan nilai-nilai kesehatan dan HAM.
Program pemerintah yang menyosialisasikan dampak negatif praktik potong jari juga semakin menguat. Namun, di tengah perubahan ini, sebagian masyarakat adat tetap berupaya mempertahankan Iki Palek sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas mereka.
Pertanyaannya bukan sekadar apakah tradisi ini harus dihentikan, melainkan bagaimana kita sebagai bangsa dapat menghargai budaya lokal tanpa mengabaikan keselamatan dan hak dasar individu. Inilah pentingnya pendekatan dialogis, bukan represif. Pemerintah dan tokoh adat harus duduk bersama, membahas masa depan tradisi ini dengan saling menghargai dan mendengarkan.
Tradisi potong jari di Papua menunjukkan kepada kita bahwa budaya adalah entitas yang dinamis. Ia tidak beku dalam waktu, tetapi terus bergerak dan bernegosiasi dengan zaman. Iki Palek bukan hanya praktik simbolis, tetapi juga perwujudan nilai-nilai yang hidup dalam hukum adat dan kesadaran kolektif masyarakat suku Dani.
Namun demikian, di tengah perubahan global, praktik ini menghadapi tantangan serius. Nilai-nilai modern seperti kesehatan, hak individu, dan keselamatan kini menjadi ukuran baru dalam menilai sebuah tradisi. Ini bukan berarti budaya harus dihapus, melainkan ditransformasikan dengan cara yang bijak.
Melalui pendekatan dialog, pemahaman lintas budaya, dan kebijakan yang inklusif, masa depan Iki Palek dapat dirumuskan bersama—bukan dengan paksaan, tetapi dengan kesepakatan. Karena pada akhirnya, pelestarian budaya bukan hanya soal menjaga warisan, tetapi juga soal menempatkan manusia dan kehidupannya sebagai pusat dari setiap praktik budaya.
Dengan memahami makna sosial dan hukum adat dari tradisi Iki Palek, kita tidak hanya menjaga kearifan lokal, tetapi juga membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara identitas dan kemanusiaan.





