Tragedi PMI Non-Prosedural di Kamboja, Seruan untuk Reformasi Perlindungan Pekerja Migran

Opini Reinardus Rafiyanto
Opini Reinardus Rafiyanto

Peristiwa meninggalnya seorang warga Banyuwangi di Kamboja menjadi sorotan tajam publik. Tragedi ini tidak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan, tetapi juga membuka kembali perdebatan panjang tentang lemahnya perlindungan bagi pekerja migran Indonesia (PMI), terutama mereka yang berangkat secara non-prosedural atau ilegal.

Menanggapi kabar duka tersebut, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi langsung bertindak cepat. Dengan sigap, mereka memfasilitasi pemulangan jenazah almarhum ke Tanah Air. Respons cepat ini merupakan wujud nyata empati sekaligus bentuk tanggung jawab moral pemerintah daerah terhadap warganya, tak peduli mereka berada di dalam maupun di luar negeri. Langkah yang diambil Bupati Banyuwangi ini mencerminkan bahwa nilai kemanusiaan masih menjadi prioritas dalam setiap kebijakan, terlebih ketika menyangkut nyawa sesama anak bangsa.

Bacaan Lainnya

Namun, di balik tindakan kemanusiaan tersebut, tragedi ini menyingkap fakta yang mengkhawatirkan: masih banyak warga Indonesia yang memilih jalan pintas menjadi PMI tanpa melalui prosedur resmi. Tanpa dokumen sah, mereka rentan terhadap eksploitasi, pelecehan, bahkan kematian. Tidak adanya perlindungan hukum, pengawasan kesehatan, dan akses terhadap bantuan darurat membuat posisi mereka sangat lemah di negeri orang.

Padahal, Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi perlindungan PMI. Undang-undang ini mencakup tahapan lengkap, mulai dari pra-keberangkatan, selama bekerja, hingga proses pemulangan.

Dalam Pasal 5, disebutkan bahwa calon pekerja migran wajib memenuhi persyaratan usia minimal 18 tahun, memiliki kompetensi kerja, sehat jasmani dan rohani, serta melengkapi dokumen. Namun kenyataannya, implementasi regulasi ini masih jauh dari harapan.

Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya menjadi PMI non-prosedural. Banyak calon pekerja tergoda oleh iming-iming gaji besar yang ditawarkan oleh agen ilegal, tanpa memahami risiko besar yang menanti. Oleh karena itu, literasi migrasi perlu ditingkatkan secara masif dan terarah, khususnya di daerah-daerah dengan angka pengiriman PMI tinggi seperti Banyuwangi.

Pendampingan intensif, penyuluhan berkelanjutan, serta penegakan hukum yang tegas terhadap agen ilegal harus menjadi bagian dari strategi menyeluruh dalam melindungi pekerja migran. Semangat ini sejalan dengan sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang menempatkan martabat manusia sebagai hal yang utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tragedi ini juga menjadi alarm keras bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk membenahi sistem secara sistemik. Diperlukan sinergi antarlembaga dalam meningkatkan pengawasan, memperketat regulasi, serta membentuk mekanisme deteksi dini terhadap pengiriman tenaga kerja ilegal. Pencegahan harus diutamakan agar tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa di masa mendatang.

Tentu saja, langkah cepat yang diambil Pemkab Banyuwangi patut diapresiasi. Tapi tindakan ini seharusnya tidak berhenti pada respons reaktif saja. Perlu ada transformasi dalam pendekatan perlindungan PMI, mulai dari penegakan regulasi hingga pembangunan sistem pemberdayaan ekonomi alternatif di daerah asal. Masyarakat harus diberi opsi dan pengetahuan, agar tidak terjerumus dalam jaringan perdagangan manusia berkedok perekrutan kerja.

Kematian seorang warga negara di luar negeri semestinya tidak hanya dipandang sebagai kabar duka. Ia harus menjadi titik balik untuk memperkuat sistem perlindungan migran dan menyelamatkan lebih banyak nyawa di masa depan.

Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen pengampu : Bpk. Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *