Di tengah arus modernisasi dan tekanan terhadap warisan budaya lokal, pertanyaan besar muncul: bagaimana tradisi seperti sedekah laut mampu bertahan dan bahkan mengalami transformasi?
Tradisi sedekah laut berakar dari sinkretisme budaya lokal. Ia sarat dengan unsur mistis yang tercermin dalam gagasan, tindakan, dan benda-benda ritual yang digunakan. Kepercayaan sosio-kultural masyarakat nelayan menganggap laut sebagai ruang bersama (common property) yang dihuni oleh roh, makhluk gaib, atau dewa penjaga. Keyakinan ini melahirkan berbagai ritual dan upacara sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keselamatan.
Tradisi ini memiliki ciri khas berbeda di setiap daerah. Di Madura, sedekah laut dikenal dengan istilah rokatan, di Banyuwangi disebut Petik Laut, dan di pesisir Parangtritis, Yogyakarta dikenal sebagai Jaladri. Di Kabupaten Gunungkidul, istilah sedekah laut digunakan dalam konteks slametan laut. Sementara itu, di Jawa Timur, khususnya di Desa Karangagung, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, masyarakat menyebutnya dengan sedekah laut atau babakan.
Transformasi Tradisi Sedekah Laut di Desa Karangagung
Tradisi sedekah laut di Desa Karangagung telah mengalami transformasi makna dan nilai. Berbeda dengan praktik umum yang mempertahankan unsur Hindu seperti mantra dan sesaji kepala kerbau, Karangagung mengadopsi pendekatan Islami dalam pelaksanaannya.
Menurut teori Continuity and Change dari John Robert Voll, sejarah melibatkan unsur kesinambungan dan perubahan. Proses islamisasi dalam tradisi ini mengubahnya dari ritual animistik menjadi tasyakuran bernuansa Islam.
Pelaksanaan sedekah laut di Karangagung kini meliputi pembacaan Yasin dan Tahlil, tumpengan, kirab perahu berhias, tayuban, orkesan, santunan anak yatim, dan pengajian. Perubahan ini tidak hanya menyentuh aspek ritual, tetapi juga filosofi yang mendasarinya.
Secara historis dan geografis, Kecamatan Palang memiliki nilai penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Keberadaan makam Syekh Maulana Ibrahim As-Marqandi (ayah Sunan Ampel), Nyai Ageng Manyuro, dan Raden Gagar Manik (Sunan Sedo Krapyak) menjadi bukti sejarah Islamisasi wilayah ini. Namun demikian, perubahan dalam tradisi ini juga didorong oleh faktor modernisasi, dinamika sosial-politik, dan pengaruh kebijakan pemerintah.
Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud syukur masyarakat nelayan, tetapi juga mempererat solidaritas sosial dan komitmen terhadap pelestarian budaya. Meskipun terdapat perdebatan mengenai kesesuaian tradisi ini dengan nilai-nilai Islam, masyarakat Karangagung berhasil menjaga keseimbangan antara adat dan ajaran agama. Transformasi ini menunjukkan kolaborasi antara hukum adat dan hukum Islam yang saling melengkapi dalam menjaga keberlangsungan tradisi.
Tinjauan Hukum Adat
Menurut Prof. Hazairin, hukum adat merupakan kristalisasi nilai-nilai kesusilaan yang telah diterima secara kolektif oleh masyarakat. Meski tidak tertulis, hukum ini tetap dihormati dan dijadikan acuan dalam kehidupan sosial.
Dalam konteks sedekah laut di Karangagung, hukum adat menjadi sarana kontrol sosial dan instrumen pelestarian keseimbangan alam. Konsep Jawa memayu hayuning bawana atau memperindah dunia, menjadi landasan filosofis tradisi ini.
Teori Receptio in Contrario menjelaskan bahwa hukum adat dapat beradaptasi dengan nilai-nilai Islam. Dalam kasus ini, hukum adat di Karangagung bersinergi dengan nilai-nilai keislaman yang diperkenalkan melalui pendekatan kultural oleh para ulama. Ini menunjukkan bahwa hukum adat bukanlah sistem yang tertutup, tetapi terbuka terhadap nilai-nilai baru selama tidak menghapus akar budayanya.
Tinjauan Dimensi Ekoteologi
Teologi lingkungan atau ekoteologi menawarkan perspektif spiritual atas hubungan manusia dengan alam. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa alam adalah manifestasi ketuhanan, sehingga hubungan manusia dengan lingkungan haruslah sakral dan penuh tanggung jawab.
Masyarakat Karangagung memandang laut bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari identitas dan kehidupan spiritual. Kesadaran ini mendorong upaya pelestarian lingkungan laut dan menciptakan keseimbangan dalam pemanfaatannya.
Di era post-modern ini, degradasi lingkungan sering kali terjadi karena manusia melupakan peran spiritual dalam relasi dengan alam. Keserakahan dalam mengeksploitasi sumber daya telah mengakibatkan krisis ekologis. Padahal, dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 41, Allah memperingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi karena ulah tangan manusia sendiri.
Islam membawa pesan penting terkait pelestarian lingkungan. Sayangnya, pesan ini seringkali diabaikan oleh umat Islam modern. Ketidakseimbangan ekologis adalah cerminan rusaknya hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini, tradisi sedekah laut yang dijalankan secara sadar dapat menjadi refleksi spiritual sekaligus tindakan ekologis.
Konvergensi Hukum Adat dan Ekoteologi dalam Tradisi Sedekah Laut di Karangagung
Tradisi sedekah laut di Karangagung merepresentasikan adaptasi budaya yang dinamis. Transformasinya dari ritual Hindu ke tasyakuran Islami bukanlah bentuk penghapusan, melainkan penyesuaian nilai yang tetap menghormati akar budayanya. Tradisi ini menjadi wadah kolaboratif antara norma adat, ajaran agama, dan nilai sosial yang memperkuat kohesi masyarakat pesisir.
Dari sisi ekoteologis, tradisi ini berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya relasi sakral antara manusia dan alam. Ini bukan sekadar perayaan budaya, tetapi juga strategi pelestarian ekosistem laut melalui pendekatan nilai-nilai lokal dan spiritual.
Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, serta tokoh agama dan masyarakat harus melihat tradisi ini sebagai ruang edukasi spiritual dan ekologis. Pelestarian tradisi sedekah laut di Karangagung adalah bentuk nyata dari strategi kolektif membangun masa depan yang berkelanjutan, harmoni antara hukum adat, ajaran agama, dan kesadaran lingkungan.





