Persoalan sampah di Provinsi Banten belum menunjukkan tanda-tanda penanganan yang memadai. Tumpukan sampah di ruang publik, sungai, dan kawasan permukiman masih kerap dijumpai, mencerminkan lemahnya tata kelola sekaligus rendahnya kesadaran kolektif.
Dalam konteks inilah, kehadiran komunitas seperti Trash Ranger Banten patut dibaca bukan sekadar sebagai gerakan relawan kebersihan, melainkan sebagai gejala sosial yang lebih dalam tentang tumbuhnya inisiatif warga ketika negara belum sepenuhnya hadir.
Trash Ranger Banten muncul dari kegelisahan sederhana, tetapi relevan: ruang publik yang kotor dan budaya abai terhadap sampah. Aksi mereka membersihkan Alun-alun Kota Serang, menggelar kegiatan rutin seperti Green Ramadhan, serta mengampanyekan pemilahan sampah, menunjukkan konsistensi gerakan berbasis komunitas.
Yang menarik, kegiatan ini tidak berhenti pada kerja fisik memungut sampah, melainkan disertai upaya membangun kesadaran publik tentang tanggung jawab lingkungan. Di titik ini, Trash Ranger Banten bergerak melampaui fungsi teknis, memasuki wilayah edukasi sosial.
Fenomena ini mengingatkan pada komunitas Pandawara di Bandung yang berawal dari inisiatif anak muda membersihkan sungai di lingkungan sekitar rumah. Gerakan tersebut berkembang pesat, memperoleh perhatian luas, dan akhirnya mendapat dukungan pemerintah.
Pola serupa terlihat pada Trash Ranger Banten yang kemudian bertransformasi menjadi Clean Rangers Indonesia. Perubahan nama ini bukan sekadar simbol, melainkan penanda perluasan visi. Dari gerakan lokal, mereka menempatkan diri sebagai jejaring nasional dengan misi perubahan perilaku masyarakat terhadap sampah.
Namun, di balik apresiasi itu, terdapat persoalan struktural yang tidak boleh diabaikan. Ketika Trash Ranger Banten membersihkan sampah pasca konser di Alun-alun, sesungguhnya tindakan tersebut berada di wilayah tanggung jawab penyelenggara acara dan pemerintah daerah.
Dukungan simbolik pejabat daerah memang penting, tetapi dukungan semacam itu seharusnya diikuti oleh penegakan aturan dan sistem pengelolaan sampah yang jelas. Jika tidak, komunitas berisiko terus-menerus menjadi penyangga kegagalan tata kelola, alih-alih mitra strategis pemerintah.
Dalam perspektif sosiologi, fenomena Trash Ranger Banten dapat dibaca melalui kerangka perubahan sosial sebagaimana dirumuskan Selo Soemardjan. Perubahan sosial, menurutnya, menyangkut pergeseran pada lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi sistem nilai, sikap, dan pola perilaku.
Gerakan ini merupakan contoh perubahan yang direncanakan dan digerakkan oleh kehendak kolektif warga. Inisiatif komunitas mendorong adaptasi sosial dalam pengelolaan sampah, sementara pemerintah mulai merespons melalui penyediaan fasilitas seperti tempat sampah terpilah dan kampanye kebersihan.
Relasi ini menciptakan keseimbangan fungsional, di mana komunitas mengisi celah yang belum sepenuhnya dijalankan negara. Namun, keseimbangan tersebut bersifat rapuh jika tidak diiringi penguatan peran institusional pemerintah.
Tantangan terbesar bukan pada ketersediaan fasilitas, melainkan pada konsistensi edukasi dan internalisasi nilai tanggung jawab lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa perubahan perilaku, tempat sampah terpilah hanya akan menjadi ornamen kebijakan.
Komunitas seperti Trash Ranger Banten seharusnya diposisikan sebagai agen perubahan sosial, bukan tenaga kebersihan sukarela permanen. Peran utama mereka adalah membangun kesadaran, menggerakkan partisipasi, dan menanamkan etika lingkungan.
Agar fungsi ini optimal, dukungan pemerintah perlu diarahkan pada kebijakan yang tegas, insentif bagi pengelolaan sampah berbasis warga, serta integrasi edukasi lingkungan dalam sistem pendidikan dan kegiatan publik.
Sampah adalah persoalan bersama, tetapi tanggung jawab bersama sering kali berakhir sebagai tanggung jawab yang tidak dijalankan siapa pun. Masyarakat menjadi produsen sampah utama, namun minim pemahaman tentang dampak jangka panjang dari pengelolaan yang buruk, mulai dari masalah kesehatan, pencemaran lingkungan, hingga potensi bencana.
Edukasi menjadi kunci, dan di sinilah pendekatan komunitas memiliki keunggulan. Pesan yang disampaikan melalui sesama warga cenderung lebih mudah diterima karena dibangun di atas rasa keterlibatan dan tanggung jawab kolektif.
Dari sudut pandang teori fungsionalisme, keberadaan Trash Ranger Banten memperlihatkan bagaimana elemen masyarakat saling melengkapi untuk menjaga stabilitas sosial. Ketika negara belum optimal menjalankan fungsi edukasi dan pengelolaan sampah, komunitas hadir sebagai penyeimbang.
Sementara itu, teori konflik mengingatkan bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika relasi antara negara dan masyarakat bersifat saling memperkuat, bukan saling menggantikan. Pemerintah memiliki otoritas dan sumber daya, komunitas memiliki kedekatan sosial dan kepercayaan publik. Keduanya harus bergerak dalam satu arah.
Transformasi Trash Ranger Banten menjadi Clean Rangers Indonesia memperlihatkan potensi besar gerakan warga dalam mendorong perubahan sosial. Tantangannya adalah memastikan bahwa energi komunitas tidak habis untuk menutup kelalaian struktural, melainkan diarahkan untuk membangun budaya baru yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Jika sinergi ini terwujud, persoalan sampah tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai pintu masuk menuju masyarakat yang lebih sadar, beradab, dan berkelanjutan.
Dosen Pengampu : Angga Rosidin,S.I.P.,M.A.P.





