Pemandangan di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani dan ruas Pantura Kota Serang menghadirkan potret keteraturan kota yang retak. Trotoar dan bahu jalan, ruang yang seharusnya menjamin keselamatan pejalan kaki, justru beralih fungsi menjadi area parkir liar.
Sepeda motor dan mobil berjajar tanpa aturan, menutup akses pejalan kaki, memaksa mereka turun ke badan jalan dan berhadapan langsung dengan arus kendaraan yang melaju cepat. Kondisi ini bukan sekadar soal ketidaknyamanan, melainkan ancaman nyata terhadap keselamatan publik.
Pejalan kaki yang terdampak bukan kelompok abstrak. Mereka adalah pedagang kecil, anak-anak sekolah, pemulung, lansia, dan warga yang menggantungkan mobilitasnya pada ruang publik yang aman. Setiap hari, mereka dipaksa mengambil risiko yang seharusnya tidak perlu, hanya karena negara abai menjaga fungsi dasar infrastruktur kota. Dari titik ini, persoalan parkir liar tidak lagi dapat dibaca sebagai pelanggaran kecil, melainkan sebagai kegagalan sistemik dalam melindungi warga.
Ironi semakin terasa ketika pelanggaran tersebut terjadi bukan di kawasan terpencil atau sudut kota yang minim pengawasan. Parkir liar berlangsung di jalan utama, tak jauh dari kantor Polresta Serang Kota, Dinas Perhubungan, dan Satuan Polisi Pamong Praja.
Aparat dari tiga institusi ini melintasi ruas jalan yang sama setiap hari. Mereka menyaksikan secara langsung trotoar yang diserobot, aturan yang dilanggar terbuka, serta hak pejalan kaki yang diabaikan. Namun, kehadiran negara berhenti sebatas menjadi penonton.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara tegas melarang penggunaan trotoar dan bahu jalan sebagai lokasi parkir. Ketentuan ini tidak membuka ruang tafsir ganda. Akan tetapi, di lapangan, hukum tampak kehilangan daya ikatnya.
Ketika pelanggaran dibiarkan berlangsung di depan kantor penegak hukum, wajar jika publik mempertanyakan keseriusan negara. Apakah ini cerminan lemahnya kemauan politik pemerintah daerah, ataukah ada praktik pembiaran yang disengaja demi kepentingan tertentu.
Alasan klasik yang kerap dikemukakan adalah keterbatasan lahan parkir di sekitar perkantoran dan ruko. Dalih ini terdengar rasional di permukaan, tetapi rapuh secara etika dan hukum. Kewajiban menyediakan fasilitas parkir melekat pada pemilik usaha dan pengelola gedung, bukan pada pejalan kaki yang haknya dilindungi undang-undang.
Trotoar dibangun dari uang publik dan diperuntukkan bagi kepentingan publik. Mengalihfungsikannya demi kenyamanan segelintir pengguna kendaraan bermotor sama artinya dengan merampas hak kelompok paling rentan dalam sistem transportasi perkotaan.
Dalam konteks ini, parkir liar mencerminkan ketimpangan relasi kuasa di ruang kota. Pengguna kendaraan bermotor, terutama mereka yang memiliki akses ekonomi dan sosial lebih besar, merasa berhak mengambil ruang publik tanpa konsekuensi.
Sementara pejalan kaki, yang sering kali berasal dari kelompok menengah ke bawah, tidak memiliki pilihan selain menyingkir. Ketimpangan ini dipelihara oleh absennya penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
Fenomena tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan struktural dalam tata kelola kota. Parkir liar di Kota Serang bukan sekadar akibat kurangnya lahan parkir, melainkan gejala dari sistem perencanaan dan pengawasan yang timpang.
Pertumbuhan kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan kebijakan pengendalian yang serius. Negara membiarkan logika kenyamanan individual mengalahkan kepentingan keselamatan kolektif. Dalam situasi seperti ini, hukum kehilangan fungsinya sebagai alat koreksi sosial.
Ketika pelanggaran berlangsung di hadapan institusi penegak hukum tanpa tindakan berarti, yang muncul bukan hanya ketidakpatuhan, tetapi juga krisis legitimasi. Masyarakat menyaksikan hukum diterapkan secara selektif.
Ada pelanggaran yang ditindak cepat, ada pula yang dibiarkan bertahun-tahun. Persepsi publik terhadap keadilan pun terkikis. Kepercayaan terhadap pemerintah daerah, kepolisian, dan aparat penertiban melemah karena negara tampak enggan menegakkan aturannya sendiri.
Pertanyaan kritis pun muncul. Apakah pembiaran ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi tertentu. Apakah terdapat praktik pungutan ilegal yang membuat parkir liar menjadi sumber keuntungan bagi oknum.
Ataukah aparat memang tidak merasakan langsung dampaknya karena tidak pernah berjalan kaki di kota yang mereka kelola. Apa pun jawabannya, semua mengarah pada satu kesimpulan bahwa ada kegagalan moral dalam menjalankan mandat publik.
Ketidakseriusan ini berbahaya. Jika pelanggaran terang-terangan seperti parkir liar saja tidak mampu ditangani, sulit berharap negara mampu menyelesaikan persoalan perkotaan yang lebih kompleks.
Hukum yang tidak ditegakkan secara konsisten akan melahirkan budaya permisif, di mana pelanggaran dianggap wajar selama tidak ada sanksi. Dalam jangka panjang, kondisi ini merusak sendi-sendi ketertiban dan rasa keadilan sosial.
Padahal, solusi atas persoalan ini tidak memerlukan teknologi rumit atau anggaran besar. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan konsistensi. Pemerintah kota dapat memulai dengan menjadikan ketersediaan lahan parkir sebagai syarat mutlak dalam penerbitan dan perpanjangan izin usaha.
Penertiban harus dilakukan secara rutin dan terbuka, dengan sanksi yang diterapkan tanpa pandang bulu. Kendaraan milik pejabat, pengusaha, maupun aparat harus diperlakukan sama di hadapan hukum.
Jika persoalan lahan menjadi kendala, pemerintah dapat mengembangkan fasilitas parkir bertingkat atau memanfaatkan skema kerja sama dengan pihak swasta. Trotoar perlu dilengkapi pembatas fisik yang efektif agar tidak mudah diserobot kendaraan. Lebih jauh, transparansi harus menjadi prinsip utama. Data penindakan dan denda perlu dipublikasikan secara berkala agar publik dapat menilai keseriusan penegakan hukum.
Namun, pembenahan teknis saja tidak cukup. Yang lebih mendasar adalah perubahan paradigma dalam perencanaan kota. Selama ini, kebijakan transportasi di banyak daerah cenderung memprioritaskan kendaraan bermotor pribadi.
Pejalan kaki diposisikan sebagai pengguna jalan kelas dua, padahal mereka adalah aktor utama mobilitas perkotaan yang paling ramah lingkungan dan paling minim dampak sosial. Kota yang beradab diukur dari sejauh mana ia melindungi pejalan kaki, bukan dari seberapa lancar kendaraan melaju.
Kota Serang membutuhkan keberpihakan yang jelas. Trotoar harus dikembalikan pada fungsinya sebagai ruang aman, bukan ruang kompromi. Ketertiban tidak boleh bergantung pada viralitas atau tekanan sesaat, melainkan pada komitmen institusional yang berkelanjutan. Menunggu jatuhnya korban jiwa sebelum bertindak adalah bentuk kelalaian yang tidak dapat dibenarkan.
Warga memiliki hak untuk menuntut akuntabilitas. Ketika negara abai, suara publik menjadi instrumen koreksi yang sah. Melalui media, forum warga, dan mekanisme demokratis lainnya, masyarakat dapat dan harus mengingatkan pemerintah akan kewajibannya. Ruang kota adalah milik bersama, dan keadilan di jalan raya merupakan bagian tak terpisahkan dari hak atas rasa aman.
Selama trotoar masih diperlakukan sebagai area parkir tanpa konsekuensi, selama aparat memilih diam di hadapan pelanggaran, selama hukum kehilangan wibawanya di ruang publik, persoalan ini akan terus berulang. Kota Serang berhak atas tata kelola yang lebih adil, tertib, dan manusiawi. Menegakkan fungsi trotoar bukan sekadar urusan teknis, melainkan ujian integritas negara di hadapan warganya.
Dosen Pengampu: Angga Rosidin, S.I.P., M.A.P.





