Tugas Beres, Nalar Tergerus: Bahaya GPT bagi Daya Pikir Mahasiswa

Opini Deri Oktora
Opini Deri Oktora

Di tengah padatnya jadwal perkuliahan, tumpukan tugas, dan tekanan hidup akademik yang semakin kompleks, muncul satu “penyelamat” yang belakangan menjadi sahabat mahasiswa: GPT (Generative Pre-trained Transformer).

Teknologi ini, khususnya dalam bentuk seperti ChatGPT, mampu menjawab pertanyaan, menulis esai, hingga merancang makalah hanya dalam hitungan detik. Bagi sebagian mahasiswa, ini ibarat oase di tengah padang gurun. Namun, apakah kita benar-benar menyadari bahwa di balik kemudahan ini, ada harga intelektual yang tengah kita bayar?

Bacaan Lainnya

Sebagai mahasiswa, kita tentu tidak asing dengan rasa panik menjelang tenggat waktu. Dahulu, rasa panik itu biasanya disusul dengan semangat belajar dadakan—membaca buku, berdiskusi dengan teman, atau membuka kembali catatan kuliah yang mulai berdebu.

Kini, yang dibuka bukan lagi buku, melainkan sebuah tab baru di peramban yang langsung mengetikkan perintah: “Tolong buatkan makalah tentang dampak perubahan iklim, 1500 kata.” Dan dalam hitungan detik, tugas pun selesai. Tapi pertanyaannya, apakah otak kita ikut bekerja?

Inilah persoalan besar yang perlahan tapi pasti mulai terasa: kita menyelesaikan tugas, tetapi tidak benar-benar belajar. Kita menyerahkan proses berpikir kepada mesin dan menganggapnya sebagai bentuk efisiensi belajar. Padahal, inti dari proses intelektual justru terletak pada tahapan berpikir, menggali informasi, dan menemukan makna—bukan sekadar menghasilkan produk akhir.

Tidak ada yang salah dengan teknologi. GPT adalah alat bantu—layaknya kalkulator bagi mahasiswa matematika atau Google Scholar bagi para peneliti. Masalahnya timbul saat alat ini justru menjadi jalan pintas yang menghapus seluruh proses pembelajaran.

Ketika mahasiswa mulai menjadikan GPT sebagai pengganti berpikir, bukan sebagai pelengkap, maka perlahan daya nalar kita terkikis. Bahaya ini tidak hanya mengancam kemampuan analitis kita, tetapi juga potensi kita sebagai manusia berpikir.

Yang lebih mengkhawatirkan, muncul kecenderungan baru: kita menjadi pasif secara intelektual. Karena menyadari ada AI yang bisa menyelesaikan hampir segalanya, kita menjadi malas bertanya, enggan berdiskusi, dan bahkan lupa bagaimana cara menyusun argumen yang logis.

Ini bukan sekadar soal kemalasan individual, melainkan krisis intelektual yang lebih dalam. Kita berubah menjadi generasi instan yang tahu hasil, tapi tidak tahu prosesnya.

Padahal, perguruan tinggi bukan sekadar tempat untuk meraih gelar. Kampus adalah ruang untuk mengasah cara berpikir, melatih nalar kritis, dan memperdalam pemahaman. Mahasiswa semestinya didorong untuk menjadi individu yang reflektif dan analitis. Namun bagaimana mungkin hal itu tercapai jika setiap tugas hanya diserahkan pada mesin?

Tentu kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa sepenuhnya. Di era digital, penggunaan teknologi memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah adaptasi sistem pendidikan.

Kampus harus mulai menyusun ulang metode pengajaran dan sistem penilaiannya. Jangan hanya memberikan tugas berbasis teks yang bisa dengan mudah dihasilkan AI. Mulailah dengan memberikan bentuk penilaian yang mendorong proses berpikir seperti diskusi terbuka, presentasi, debat, atau refleksi personal yang tidak bisa dihasilkan secara instan oleh mesin.

Peran dosen pun harus diperkuat. Tidak cukup hanya menilai produk akhir, dosen perlu membimbing mahasiswa dalam proses berpikir mereka. Pembelajaran harus kembali pada esensinya: membentuk manusia yang berpikir, bukan sekadar manusia yang mengerjakan. Di sisi lain, mahasiswa juga harus sadar dan bertanggung jawab. GPT memang memudahkan, tetapi jangan sampai menjadikan kita malas berpikir.

Gunakan GPT sebagaimana mestinya—sebagai alat bantu, bukan pengganti otak. Jika ingin menjadi sarjana yang benar-benar memiliki kapasitas intelektual, maka belajar harus dijalani dengan sungguh-sungguh.

Tanyakan pada diri sendiri: Apakah aku benar-benar memahami apa yang kutulis? Apakah aku bisa menjelaskan ulang isi makalahku jika ditanya? Jika jawabannya “tidak,” berarti kita sedang terjebak dalam kenyamanan semu yang menumpulkan pikiran.

Mari kita lawan kenyamanan semu ini. Mari kita kembalikan proses belajar ke jalur yang seharusnya. Gunakan teknologi secara cerdas, bukan secara malas. Karena di masa depan, yang akan bertahan bukanlah mereka yang paling cepat menyelesaikan tugas, tetapi mereka yang paling kuat daya pikirnya.

GPT memang pintar, tetapi jangan sampai membuat kita kehilangan kepintaran kita sendiri. Tugas boleh selesai dalam hitungan detik, namun jangan biarkan nalar kita ikut mati perlahan. Kampus memerlukan mahasiswa yang berpikir, bukan hanya yang mengumpulkan. Dan mahasiswa sejati adalah mereka yang tidak menyerahkan proses berpikir pada mesin, tetapi tetap berjuang untuk belajar, bertanya, dan memahami dengan sepenuh hati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *