UNCAC Harus Adil dalam Penindakan Korupsi Internasional

Paspor berganti, kejahatan tetap sama. (gg)
Paspor berganti, kejahatan tetap sama. (gg)

Korupsi tidak lagi dapat dipahami sebagai kejahatan yang berdiri sendiri dalam batas teritorial suatu negara. Perkembangan sistem keuangan global, kemudahan mobilitas lintas negara, serta kompleksitas jaringan bisnis internasional telah menjadikan korupsi sebagai kejahatan transnasional yang terorganisasi.

Dalam konteks inilah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) memegang peran strategis sebagai instrumen hukum internasional yang dirancang untuk menjembatani kerja sama antarnegara dalam pemberantasan korupsi.

Bacaan Lainnya

UNCAC bukan sekadar dokumen normatif, melainkan kerangka hukum yang bertujuan memastikan bahwa pelaku korupsi tidak dapat berlindung di balik perbedaan yurisdiksi. Konvensi ini menegaskan prinsip bahwa tidak boleh ada tempat aman bagi koruptor, baik melalui mekanisme ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, maupun pemulihan aset hasil kejahatan. Namun, efektivitas UNCAC sangat bergantung pada komitmen politik dan konsistensi penerapan oleh negara-negara pihak.

Salah satu pilar utama UNCAC adalah penguatan kerja sama ekstradisi. Ekstradisi menjadi instrumen krusial ketika pelaku korupsi melarikan diri ke negara lain untuk menghindari proses hukum. UNCAC mendorong negara pihak agar menjadikan korupsi sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisi, sekaligus meminimalkan hambatan administratif maupun politis dalam proses penyerahan tersangka atau terpidana.

Indonesia, melalui ratifikasi UNCAC dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, secara hukum terikat untuk mengoptimalkan mekanisme tersebut. Ratifikasi ini menegaskan kewajiban negara untuk tetap mengejar pertanggungjawaban hukum pelaku korupsi yang melarikan diri ke luar negeri, serta memastikan bahwa pelarian lintas batas tidak menghapus kewenangan penegakan hukum nasional. Prinsip ini menjadi fondasi penting dalam penanganan perkara korupsi berskala besar yang melibatkan kerugian negara dan kepentingan publik.

Di luar ekstradisi, UNCAC juga menempatkan kerja sama bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance sebagai elemen pendukung yang tidak terpisahkan. Melalui mekanisme ini, negara dapat saling bertukar informasi, membantu pengumpulan alat bukti, memfasilitasi pemanggilan saksi, serta melacak dan membekukan aset hasil tindak pidana di yurisdiksi lain. Standar internasional yang diatur UNCAC bertujuan memperkecil dampak perbedaan sistem hukum agar proses penegakan hukum berjalan lebih efektif dan setara.

Sebagai konvensi global, UNCAC dirancang untuk menciptakan kesamaan panduan dalam penanganan korupsi lintas negara. Ketentuan mengenai pertukaran informasi intelijen keuangan, harmonisasi standar pembuktian, serta penguatan kapasitas institusi penegak hukum menunjukkan bahwa UNCAC tidak hanya berfokus pada aspek represif, tetapi juga pada pencegahan dan koordinasi.

Bagi Indonesia, keberadaan UNCAC memperluas ruang gerak penegakan hukum agar tidak terkungkung oleh batas geografis. Ketika pelaku memindahkan aset atau membangun jaringan bisnis di luar negeri, UNCAC menyediakan dasar hukum untuk tetap melakukan penelusuran dan penindakan. Tanpa instrumen ini, penegakan hukum akan berhenti pada batas teritorial, sementara kejahatan korupsi terus beroperasi dalam skala global.

UNCAC menempatkan pemulihan aset sebagai inti dari upaya pemberantasan korupsi internasional. Bab V UNCAC secara khusus mengatur kewajiban negara pihak untuk membantu proses pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan pengembalian aset hasil korupsi kepada negara asal.

Pendekatan ini menegaskan bahwa tujuan penegakan hukum tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan kerugian negara dan kepentingan publik.

Dalam konteks Indonesia, ketentuan ini menjadi sangat relevan mengingat besarnya kerugian negara akibat korupsi, termasuk dalam kasus-kasus keuangan berskala besar seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

UNCAC memberikan dasar hukum untuk menembus kerahasiaan keuangan lintas negara, mengakui putusan pengadilan asing, serta memfasilitasi kerja sama antarotoritas keuangan. Dengan demikian, konvensi ini berfungsi sebagai jembatan hukum yang memungkinkan pemulihan aset meskipun dana telah dipindahkan dan disamarkan di luar yurisdiksi nasional.

Kasus Hendra Rahardja menjadi ilustrasi konkret kompleksitas penegakan hukum korupsi internasional. Pelarian Hendra ke Australia memperlihatkan bagaimana pelaku memanfaatkan perbedaan sistem hukum dan prosedur antarnegara untuk menghindari pertanggungjawaban. Upaya Indonesia untuk mengekstradisinya sangat bergantung pada mekanisme kerja sama internasional yang sejalan dengan prinsip UNCAC.

Proses yang berlangsung lama, dipengaruhi pertimbangan hukum dan politik di negara tujuan, menunjukkan bahwa keberadaan konvensi internasional tidak otomatis menjamin keberhasilan penegakan hukum.

Meskipun Hendra meninggal dunia sebelum proses ekstradisi tuntas, upaya pembekuan dan penelusuran aset tetap mencerminkan penerapan prinsip UNCAC. Kasus ini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi kapasitas institusi domestik dan efektivitas kerja sama internasional dalam menghadapi korupsi lintas negara.

Kendati UNCAC telah menyediakan kerangka yang komprehensif, implementasinya di lapangan menghadapi berbagai kendala. Perbedaan sistem hukum, birokrasi yang berlapis, serta kepentingan politik bilateral sering memperlambat proses ekstradisi dan bantuan hukum.

Penyembunyian aset melalui perusahaan cangkang, penggunaan rekening pihak ketiga, serta rezim kerahasiaan bank di sejumlah negara semakin memperumit upaya penelusuran aset.

Tidak semua negara memiliki tingkat komitmen yang sama dalam pemberantasan korupsi. Dalam praktiknya, kerja sama sering kali bergantung pada kemauan politik negara tempat pelaku atau aset berada.

Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan dalam penindakan korupsi internasional masih menghadapi ketimpangan, terutama ketika kepentingan ekonomi dan politik lebih dominan daripada prinsip supremasi hukum.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa keberhasilan UNCAC tidak hanya ditentukan oleh norma internasional, tetapi juga oleh kesiapan institusi nasional dan konsistensi kebijakan luar negeri. Tanpa kapasitas penegak hukum yang kuat, kerja sama internasional akan berjalan lamban dan tidak optimal. Oleh karena itu, UNCAC harus dipahami sebagai kerangka kerja yang menuntut keseriusan implementasi, bukan sekadar komitmen simbolik.

Kasus Hendra Rahardja memberikan pelajaran penting bahwa ketidakadilan dalam penindakan korupsi internasional dapat terjadi ketika mekanisme hukum tunduk pada kepentingan politik. UNCAC seharusnya menjadi instrumen untuk menutup celah tersebut, bukan sekadar legitimasi formal kerja sama antarnegara.

Untuk memperkuat penerapan UNCAC, Indonesia perlu meningkatkan intensitas diplomasi hukum dengan negara-negara yang kerap menjadi tujuan pelarian pelaku korupsi. Pembaruan dan perluasan perjanjian ekstradisi harus menjadi prioritas, disertai penyederhanaan prosedur bantuan hukum timbal balik. Di tingkat domestik, kapasitas lembaga penegak hukum dalam penelusuran aset, analisis keuangan, dan investigasi lintas yurisdiksi perlu diperkuat secara berkelanjutan.

Pemerintah juga perlu membangun sistem data keuangan yang terintegrasi dan responsif agar pertukaran informasi internasional tidak terhambat oleh birokrasi internal. Lebih dari itu, penerapan UNCAC harus ditopang oleh komitmen politik yang konsisten dan bebas dari kepentingan kekuasaan jangka pendek. Tanpa fondasi tersebut, pelaku korupsi akan terus memanfaatkan celah hukum dan perbedaan yurisdiksi untuk menghindari keadilan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *