Universitas berbasis agama sering dianggap sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya fokus pada pencapaian akademik tetapi juga pembentukan moral dan karakter mahasiswa. Harapan ini muncul dari keyakinan bahwa kampus dengan nilai-nilai agama mampu menciptakan lingkungan yang disiplin, beradab, dan sesuai dengan ajaran agama, termasuk dalam hal etika berpakaian. Namun, apakah label “berbasis agama” otomatis menjamin mahasiswa mematuhi norma-norma kesantunan dalam berpakaian?
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peraturan yang berlaku di universitas berbasis agama tidak selalu diikuti oleh para mahasiswa. Contoh nyata dapat dilihat pada mahasiswi di Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Nurul Huda.
Berdasarkan observasi, masih banyak mahasiswi yang mengenakan pakaian yang tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ada yang memakai pakaian tipis, warna mencolok, hijab yang diikat hanya di leher (“hijab sakaratul maut”), hingga celana yang meskipun tidak ketat tetap dianggap kurang pantas.
Fenomena ini bukan hal yang jarang ditemui. Bahkan, mahasiswa dari fakultas agama dan non-agama sering terlihat mengenakan pakaian dengan gaya yang serupa.
Ketika ditanya alasan di balik pilihan pakaian tersebut, jawaban yang sering muncul adalah pengaruh mode atau rasa kurang percaya diri jika mengenakan pakaian syar’i yang dianggap kurang modis. Lalu, apa sebenarnya faktor-faktor yang menyebabkan turunnya adab berpakaian di lingkungan kampus berbasis agama?
Pertama, pemahaman agama yang dangkal menjadi salah satu penyebab utama. Meskipun mereka berada di lingkungan berbasis agama, pemahaman tentang aturan berpakaian sering kali hanya sebatas formalitas. Mahasiswa mungkin mengetahui bahwa berpakaian syar’i adalah kewajiban, tetapi tidak memahami nilai moral dan spiritual di balik aturan tersebut.
Kedua, pengaruh media sosial dan tren fashion modern sangat signifikan. Mahasiswa cenderung meniru gaya berpakaian yang sedang populer meskipun sering bertentangan dengan ajaran agama. Media sosial, yang penuh dengan standar kecantikan kontemporer, semakin menambah tekanan untuk mengikuti tren tersebut, seperti pakaian ketat, transparan, atau hijab yang tidak sesuai syariat.
Ketiga, tekanan sosial dari lingkungan pergaulan juga memengaruhi cara berpakaian mahasiswa. Mereka yang berada dalam kelompok pertemanan dengan nilai-nilai Islam yang lemah cenderung menyesuaikan diri demi diterima di lingkungan sosial tersebut. Jika teman-temannya berpakaian lebih modis, mereka mungkin merasa malu atau kurang percaya diri untuk mengenakan pakaian syar’i.
Keempat, kurangnya keteladanan dari lingkungan kampus menjadi faktor lain. Universitas Islam seharusnya menjadi panutan dalam menjalankan nilai-nilai agama, termasuk dalam hal berpakaian. Namun, jika dosen, staf, atau mahasiswa senior tidak mencontohkan cara berpakaian yang baik, mahasiswa baru akan menganggap aturan berpakaian hanyalah formalitas yang tidak perlu diikuti secara serius.
Kelima, minimnya pendidikan karakter dan pengawasan di lingkungan kampus turut berkontribusi. Fokus yang terlalu besar pada akademik sering kali mengabaikan pembentukan karakter mahasiswa. Selain itu, aturan berpakaian yang ada sering kali tidak ditegakkan dengan konsisten, sehingga mahasiswa merasa tidak ada konsekuensi nyata jika melanggar.
Baca Juga: Tapsiun: Simbol Degradasi Moral di Kota Pendidikan
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat mendorong penerapan nilai-nilai kesantunan berpakaian di lingkungan kampus berbasis agama.
Pertama, meningkatkan pemahaman agama dan moral mahasiswa. Kampus dapat menyelenggarakan seminar, diskusi, atau pelatihan tentang pentingnya adab berpakaian dalam Islam. Pemahaman yang lebih mendalam akan membantu mahasiswa memahami alasan di balik aturan berpakaian, sehingga mereka tidak hanya mengikuti aturan, tetapi juga menghayatinya.
Kedua, kampus harus memiliki aturan berpakaian yang jelas, adil, dan konsisten. Pengawasan yang ketat perlu dilakukan, disertai sanksi yang sesuai bagi pelanggar. Namun, penegakan aturan ini harus dilakukan secara bijak agar mahasiswa memahami pentingnya aturan tersebut, bukan hanya merasa dipaksa untuk patuh.
Ketiga, menciptakan lingkungan kampus yang mendukung penguatan karakter. Kampus dapat mengadakan program-program yang menanamkan nilai saling menghormati dan menghargai perbedaan, termasuk dalam hal berpakaian. Diskusi tentang tantangan berpakaian syar’i di era modern juga dapat membuka wawasan mahasiswa bahwa kesantunan berpakaian tidak harus bertentangan dengan gaya atau tren.
Keempat, memberikan contoh nyata dari para dosen, staf, dan mahasiswa senior. Keteladanan dari tokoh-tokoh di lingkungan kampus akan memberikan pengaruh positif yang besar terhadap mahasiswa. Mereka akan lebih termotivasi untuk mengikuti aturan jika melihat orang-orang yang mereka hormati juga melakukannya.
Kelima, pendekatan kreatif dan inklusif dalam mempromosikan pakaian syar’i perlu diterapkan. Misalnya, kampus dapat mengadakan kompetisi busana Islami atau workshop tentang tren fashion Islami. Langkah ini akan membantu mengubah persepsi bahwa pakaian syar’i kuno atau tidak menarik.
Baca Juga: Akhlaqul Karimah: Benteng Utama dan Garda Terdepan bagi Santri
Membangun budaya berpakaian yang sesuai dengan nilai-nilai agama di kampus berbasis agama memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Perubahan tidak dapat dilakukan secara instan, tetapi membutuhkan komitmen dari seluruh elemen kampus, mulai dari mahasiswa hingga pihak pengelola.
Dengan meningkatkan pemahaman agama, menegakkan aturan dengan bijak, dan menciptakan lingkungan yang mendukung, kampus dapat membantu mahasiswa memahami bahwa kesantunan berpakaian adalah bagian penting dari identitas mereka sebagai individu yang berakhlak mulia.
Langkah-langkah ini, jika diterapkan secara konsisten, dapat menciptakan lingkungan kampus yang tidak hanya menghasilkan lulusan yang unggul secara akademik, tetapi juga memiliki kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Dengan demikian, universitas berbasis agama dapat benar-benar menjadi teladan dalam membangun generasi yang santun dan berkarakter.





