Latar belakang
Belakangan ini, media sosial tengah diramaikan oleh film yang berjudul Pengepungan di Bukit Duri. Film yang baru di rilis ini disutradarai oleh Joko Anwar, salah satu sutradara kenamaan Indonesia. Cerita film ini berpusat pada seorang pria bernama Edward yang sedang mencari anak dari kakaknya. Kisahnya berlatar Indonesia di masa depan, saat negara sedang dilanda kekacauan.
Salah satu bentuk kekacauan yang paling banyak di sorot di film ini adalah diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa. Sontak film ini memicu banyak reaksi dan ulasan dari para penonton, terutama mengenai isu diskriminasi yang ada di ada film.
Meskipun film ini hanya cerita fiksi, namun secara tidak langsung, cerita ini mengungkap realitas diskriminasi etnis tionghoa yang telah mengakar di Indonesia. Salah satu contoh paling tragis dari diskriminasi ini adalah periatiwa kerusuhan 1998, di mana diperkirakan lebih dari seribu orang tewas dan. Sedikitnya 168 kasus pemerkosaan dilaporkan, dan kerusakan material bernilai lebih dari Rp3,1 triliun (US$260 juta).
Sayangnya, hingga tahun 2010, proses hukum atas peristiwa tersebut belum juga tuntas. Dan tentu saja, kerusuhan 1998 bukan satu-satunya kejadian. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sudah terjadi bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pada tahun 1740, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa oleh pemerintah kolonial di Batavia. Di bawah perintah Gubernur Batavia, Adrian Velkenir, ribuan orang tionghoa yang berada di dalam benteng Batavia di bantai secara brutal. Tragedi ini kemudian diikuti oleh penerapan kebijakan diskriminatif dan upaya pengendalian terhadap komunitas Tionghoa. Sebagai bentuk perlawanan, orang-orang Tionghoa yang selamat membentuk lasar laskar dan menjalin aliansi dengan masyarakat jawa untuk melawan dominasi VOC. Perlawanan ini kemudian bernama Perang Geger Pacinan.
Namun, seabad setelahnya, aliansi yang pernah terbangun itu tidak lagi bertahan lama. Muncul kecemburuan sosial di kalangan masyarakat Jawa terhadap komunitas Tionghoa, yang dianggap sebagai perpanjangan VOC yang mengekploitasi pribumi. Puncak ketegangan ini terlihat dari aksi kekerasan yang dilakukan oleh Raden Ayu Yudakusuma, putri dari Hamengkubowono I, yang membumihanguskan pemukiman warga Tionghoa di Ngawi.
Ketegangan ini dilatarbelakangi oleh dominasi komunitas Tionghoa di sektor ekonomi serta Keistimewaan yang sering mereka terima dari pemerintah lokal maupun kolonial eropa. Di sisi lain, peristiwa ini menjadi bukti bahwa penguasa lokal juga turut memperburuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Kecemburuan sosial ini tidak berhenti di masa kolonial, tetapi terus berlanjut hingga masa pembentukan negara Indonesia. Pada era Orde Lama, kebijakan terkait usaha dan kewarganegaraan semakin memperkuat marginalisasi terhadap etnis Tionghoa. Ketika Orde Baru berkuasa, diskriminasi tersebut dilembagakan melalui Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67, serta pembentukan Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan adanya upaya asimilasi paksa terhadap etnis Tionghoa.
Meskipun rezim Orde Baru telah berakhir, stereotipe negatif terhadap etnis Tionghoa belum sepenuhnya hilang. Sentimen anti-Tionghoa masih muncul dalam berbagai bentuk di masyarakat. Melalui tulisan ini, saya berupaya mencari akar permasalahan dan menawarkan solusi untuk menghapus stigma serta kebencian yang telah lama mengakar terhadap etnis Tionghoa, dengan harapan terciptanya masyarakat yang lebih inklusif dan tentram.
Peristiwa Di tahun 1740 Dan Kebijakan Diskriminatif VOC
Etnis Tionghoa mulai bermigrasi dari luar daerahnya sejak abad ke-3 Masehi, yaitu pada masa dinasti Han, ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. dan berlangsung hingga pada abad ke-18 (Wu, 1991). Banyak dari mereka berdagang lalu menetap dan membuat pemukiman sekitar wilayah wilayah pelabuhan-pelabuhan seperti Jawa dan Sumatra, serta menikah dengan penduduk lokal, membentuk komunitas Sino-Nusantara (Gernet, Jacques, 1996).
Sebelum kedatangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), atau perusahaan dagang Belanda, pertikaian antara masyarakat pribumi dan komunitas tionghoa bisa di katakan nyaris tidak ada. Hal ini dijelaskan dalam buku Geger Pacinan karya Raden Mas Daradjadi. Namun, setelah armada-armada belanda sampai ke nusantara, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menguasai dan memonopoli wilayah-wilaayah perdagangan. Salah satu wilayah yang dijadikan pusat administrasi (VOC) adalah daerah Sunda Kelapa, yang kemudian namanya diubah menjadi Batavia.
Pada Oktober 1740, salah satu peristiwa pembantaian etnis tionghoa terbesar terjadi di Batavia. Saat itu, pemerintahan kolonial di bawah perintah Gubernur Adriaan Velkenir melakukan pembantaian terhadap komunitas Tionghoa. di Batavia. Tindakan ini merupakan reaksi atas penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Tionghoa dari luar benteng Batavia (Onlanden) terhadap pos-pos milik VOC. Penyerangan tersebut dipicu oleh kebijakan yang semakin represif terhadap komunitas Tionghoa.
Di sisi lain, jumlah imigran Tionghoa yang datang ke Batavia terus meningkat, sementara banyak pabrik gula tempat mereka bekerja mengalami kebangkrutan. Akibatnya, ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, Alhasil banyak penganguran, dan sebagian diantaranya terlibat dalam berbagai tindak kriminalitas. Sayangnya, tindakan balasan dari pihak kolonial tidak hanya menyasar para penyerang, tetapi juga komunitas Tionghoa yang tinggal di dalam benteng Batavia, meskipun mereka tidak terlibat dalam penyerangan tersebut (Suratminto, 2004). Banyak dari mereka dieksekusi secara brutal, dan jenazahnya dibuang dibuang ke kanal-kanal di Batavia.
Diperkirakan lebih dari 10.000 orang Tionghoa tewas dalam rangkaian kerusuhan yang berlangsung antara tahun 1740 hingga 1743. Selain menelan korban jiwa, kerusuhan ini juga menyebabkan kerugian besar secara materiil, termasuk hancurnya sejumlah pabrik gula di wilayah Ommelanden (Suratminto, 2004).
Sebelumnya pada tanggal 25 Juli 1740 Pemerintah Kolonial mengeluarkan resolusi yang berlaku bagi semua orang Tionghoa di Batavia. Dalam resolusi itu dicantumkan bahwa semua yang dicurigai sebagai Tionghoa gelandangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai permissiebriefie (surat izin tinggal), harus ditangkap, dikapalkan, dan selajutnya di kirim paksa ke Ceylon untuk dipekerjakan di perkebunan di sana (Garnett, Jacques, 1996). Selanjutnya Pemerintah Batavia melakukan razia pada orang-orang tionghoa kemudian yang tidak memiliki izin tinggal, banyak dari mereka dideportasi atau di kirim ke Ceylon.
Namun, beredar isu bahwa orang-orang yang di tangkap razia akan di kirim menggunakan kapal, lalu mereka di tenggelamkan di tengah laut. Isu inilah yang kemudian memicu kemarahan orang-orang Tionghoa di wilayah Onlanden, sehingga mereka marah dan melakukan penyerangan pada pemerintahan di Batavia (MenolakLupa).
Adapun sumber lain mengatakan bahwa para pekerja mulai berkumpul di pabrik gula Gandaria dan di pimpin oleh seorang tokoh bernama Sepanjang. Peristiwa ini menjadi awal mula pecahnya peperangan antara Tionghoa melawan Kompeni, yang dimulai dengan penyerangan terhadap pos-pos Kompeni yang terletak di Tangerang, Meester Cornelis (Jatinegara) dan De Qual.
Pada 9 Oktober, pemberontak yang berusaha menyerang Batavia berhasil dipukul mundur. Penangkapan besar besaran terhadap warga Tionghoa pun dilakukan. kemudian muncul desas-desus bahwa mereka akan di buang ketengah laut. Menimbulkan kepanikan di kalangan warga Tionghoa yang berada dalam benteng Batavia. Ketakutan ini mendorong mereka mencoba sehingga melarikan diri dari kota Batavia. Namun upaya tersebut digagalkan oleh kompeni aksi penembakan yang menewaskan banyak warga Tionghoa (Sari et al., 2024).
Sebagai buntut dari peristiwa pembantaian tersebut, pemerintah VOC memberlakukan serangkain kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Salah satunya adalah kebijakan passenstelsel, yang mewajibkan orang Tionghoa memiliki surat jalan untuk bepergian, serta wijkenstelsel, yang memaksa mereka tinggal di kawasan khusus (pecinan). Kebijakan kebijakan ini bertujuan untuk mengontrol dan membatasi interaksi sosial-ekonomi mereka dengan masyarakat pribumi (Firdausi, 2020). Guna mencegah terbentuknya koalisi yang dianggap dapat mengancam kekuasaan kolonial.
Sejak peristiwa tersebut, diskriminasi demi diskriminasi dialami oleh keturunan Tionghoa di tanah air baik yang dilakukan oleh pemerintah lokal maupun asing. Akar dari diskriminasi ini adalah stereotipe negatif yang telah tertanam sejak lama terhadap etnis Tionghoa, dan terus berlanjut dalam membentuk paradigma sosial yang mengakar di masyarakat Indonesia hingga kini.
Munculnya Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa
Pada September 1825, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Raden Ayu Yudakusuma—putri Sultan Hamengku Buwono I—menyerbu Ngawi, sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terletak di tepi Bengawan Solo. Dalam serangan tersebut, warga Tionghoa menjadi korban tanpa pandang usia maupun jenis kelamin; anak-anak dan perempuan turut dibunuh. Tubuh-tubuh mereka yang terpotong dibiarkan berserakan di jalan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak hanya dilakukan oleh satu pihak, tetapi juga terjadi dengan sepengetahuan, bahkan mungkin dukungan, dari penguasa setempat (Alhaditsatur Rofiqoh, 2022)
Kebencian terhadap etnis Tionghoa di Indonesia merupakan konstruksi sosial yang dibentuk oleh penguasa kolonial Belanda dan elite lokal Jawa. Dalam jurnal Interaksi (Universitas Diponegoro), Hendri F. Isnaeni, dalam artikel Duka Warga Tionghoa di majalah Historia, Menyebutkan bahwa etnis Tionghoa kerap menjadi sasaran amuk massa sejak peristiwa Chinezenmoord 1740 hingga kerusuhan Mei 1998. (Husodo, H.F., & Dwiningtyas, H., 2019).
Pada masa Perang Jawa, muncul kebencian masyarakat Jawa terhadap etnis Tionghoa karena mereka diberi peran sebagai pemungut pajak oleh para sultan. Mereka bertugas menarik pajak di berbagai titik penting seperti jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan sungai, dan pasar. Karena sistem ini dianggap berhasil, pemerintahan kolonial Belanda dan Inggris pun mengadopsinya di wilayah kekuasaan mereka.
Tragedi pembantaian yang terjadi selama Perang Jawa semakin memperuncing ketegangan antara etnis Jawa dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa merasa terancam oleh orang Jawa, sementara sebagian orang Jawa mulai menilai komunitas Tionghoa sebagai kelompok yang tamak dan suka menindas secara ekonomi.
Penjelasan lain mengenai akar sentiment anti-Cina di Indonesia dapat ditemukan dalam artikel berjudul Mengapa Sentimen Anti-Cina Mengakar Kuat di Indonesia yang di terbitkan oleh theconvertion.com. Dalam Artikel tersebut dijelaskan bahwa Konflik komunal antara warga non-Cina dan Cina pada dasarnya dipicu oleh kepentingan ekonomi. Ketengangan muncul karena organisasi dagang penduduk lokal yang berupaya melindungi diri dari dominasi ekonomi yang mulai dikuasai oleh komunitas Cina.
Berdasarkan konteks tersebut, H. Samanhudi mendirikan organisasi bernama Rekso Roemekso di Solo sebagai bentuk perlawanan terhadap Kong Sing, yaitu perkumpulan jasa pengamanan milik orang-orang Cina. Menariknya, Samanhudi sendiri pernah menjadi anggota Kong Sing sebelum kemudian mendirikan organisasi tandingan tersebut.
Kompetisi antara kedua oranisasi ini sering kali memicu perkelahian jalanan. Ketegangan yang terus berlangsung membuat pihak kepolisian mempertanyakan status hukum Rekso Roemekso. Hal ini mendorong organisasi tersebut bertransformasi dari sekadar organisasi yang sifatnya membantu anggotanya, menjadi organisasi yang berbadan hukum bernama Sarekat Islam (SI).
Pada awal 1912, Pembentukan Sarekat Islam (SI) sangat dipengaruhi oleh situasi ekonomi, khususnya dalam bidang perdagangan batik. Samanhudi dan rekan-rekannya harus menghadapi dominasi pedagang Cina dalam distribusi kapas, lilin, pewarna, dan bahan impor lainnya. Persaingan dagang ini memicu ketegangan dan kebencian antara para pengusaha batik Jawa dan Cina. Boikot serta berbegai bentuk protes lainnya menandai tahun-tahun awal pendirian SI. Insiden-insiden kecil pun terjadi antara pengusaha Cina dan anggota SI non-Cina, terutama di wilayah Batavia, Cirebon, Lasem, Surabaya ke Pasuruan, dan juga Solo.
Komunitas peranakan Cina mengenang masa ini sebagai titik balik dalam hubungan komunitas Cina dengan orang lokal yang semula baik-baik saja menjadi bermusuhan. Sentimen anti-Cina yang terbentuk saat itu kemudian mengakar kuat dalam ingatan kolektif masyarakat dan semakin diperparah kebijakan-kebijakan diskriminatif pada masa Orde lama maupun Orde Baru.
Kebijakan-kebijakan Diskriminatif pada Masa Orde Lama
Pada masa Orde lama, sejumlah kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis tionghoa diberlakukan. Salah satunya adalah pengaturan tentang status kewarganegaraan yang bersumber dari asas ius soli atau “sistem pasif.” Menurut Tan (1981:22), sebelum tahun 1950 pemerintah Soekarno menyatakan bahwa warga negara Indonesia adalah mereka yang merupakan penduduk asli dan telah tinggal di Indonesia sejak tahun 1945.
Namun, pada tahun 1950, pemerintahan mulai memberlakukan asas ius soli dua generasi yang menggantikan sistem sebelumnya. Sistem ini mesnyarakatkan warga keturunan Tionghoa untuk menunjukan bukti bahwa orang tua mereka telah tinggal di Indonesia selama sepuluh tahun dan menyatakan penolakan atas kewarganegaraan Cina secara tidak resmi. Jika tidak dapat memenuhi syarat tersebut, mereka dapat kehilangan status kewarganegaraan Indonesia. (Kumparan.com)
Sementara itu, di sisi lain, Presiden Soekarno yang melihat kelompok pribumi semakin tersisih dalam bidang ekonomi akibat dominasi etnis Tionghoa, akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959. Peraturan ini melarang warga keturunan Tionghoa melakukan kegiatan perdagangan di daerah pedesaan. Tujuannya adalah untuk memberikan ruang bagi pedagang dan petani lokal agar bisa berkembang tanpa kehadiran cukong yang membeli hasil pertanian mereka (Mima Kharimah, 2022). Akibat kebijakan ini, tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia karena merasa menderita tinggal di negara ini (noice.id).
Diskriminasi Terstruksur, Upaya Asimilasi dan Poltik Pecah Belah di Masa Orde Baru
Pada tahun 1965, Soekarno digantikan oleh Jendral Soeharto menyusul berbagai krisis seperti hyperinflasi, kebijakan Demokrasi Terpimpin, peristiwa Gerakan 30 September, serta pergolakan politik, lainnya. Namun, meski kepemimpin telah berganti, perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa tetap berlanjut. Bahkan, pada masa Orde Baru, diskriminatif terhadap etnis Tionghoa semakin sistematis dan terang-terangan.
Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Salah satu kebijakan tersebut adalah Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967, yang melarang pelaksanaan tradisi, ritual, atau adat-istiadat Tionghoa tanpa seizin pemerintah. Kebijakan ini juga mendorong asimilasi warga etnis Tionghoa ke dalam budaya Indonesia, yang berdampak pada pembatasan kebebasan beragama dan budaya mereka (Mima Kharimah, 2022).
Pada masa Orde Baru, pemerintah Indonesia menerbitkan Surat Edaran No. 06/Preskab/6/67 yang menganjurkan warga keturunan Tionghoa untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama yang terdengar lebih “Indonesia.” Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi asimilasi budaya yang dimaksudkan untuk mengurangi identitas etnis Tionghoa di ruang publik dan memperkuat integrasi mereka ke dalam masyarakat Indonesia secara paksa (Ria Anjani, 2022). Pemerintah bahkan membentuk Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawa Badan Koordinasi Intelijen (Bakin), untuk mengawasi gerak-gerik warga keturunan Tionghoa (Dewi, N. 2015)
Pada tahun 1967, pemerintahan Presiden Soeharto menerapkan kebijakan asimilasi bagi warga keturunan Tionghoa. Meskipun pemerintah tetap menjamin hak atas keamanan, usaha, dan kepemilikan mereka, warga Tionghoa didorong untuk mengganti nama mereka dengan nama yang berunsur Indonesia guna menghindari sikap eksklusif. Pemerintah juga melarang penerbitan dalam bahasa dan aksara Tionghoa, membatasi perayaan budaya Tionghoa agar hanya berlangsung secara tertutup, menutup sekolah-sekolah Tionghoa, dan mewajibkan anak-anak keturunan Tionghoa untuk bersekolah di sekolah umum.
Namun, langkah asimilasi ini tidak membuahkan hasil sebagaimana harapan pemerintah. Menurut penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat, kebijakan tersebut justru merupakan bentuk politik pecah belah. Pemerintah meminta warga keturunan Tionghoa untuk berasimilasi, namun di saat yang sama, mereka tetap dikategorikan sebagai “nonpribumi” (noice.id).
Menurut artikel “Eksistensi Etnis Cina di Bawah Pemerintahan Orde Baru, 1966–1998” yang diterbitkan dalam Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, pemerintah Orde Baru memberlakukan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, termasuk pembatasan dalam bidang budaya dan sosial. Namun, di sisi lain, etnis Tionghoa tetap berperan penting dalam sektor ekonomi, menunjukkan adanya ambiguitas dalam kebijakan pemerintah terhadap mereka (Sibawati, I., 2024). Walaupun masa pemerintahan Orde Baru telah usai, warga keturunan Tionghoa di Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari diskriminasi, dan hak-hak politik mereka sebagai warga negara masih belum sepenuhnya dijamin.
Reformasi dan Penghapusan Kebijakan Diskriminatif
Pada masa reformasi, terjadi perubahan positif dalam perlakuan terhadap etnis Tionghoa. Salah satu langkah penting adalah pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang selama era Orde Baru digunakan untuk membatasi ekspresi budaya Tionghoa. Kebijakan ini digantikan oleh Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid menandai komitmen negara untuk menghormati dan melindungi hak-hak budaya masyarakat Tionghoa secara lebih inklusif (Mustajab, 2015).
Stigma “pribumi” dan “non-pribumi” yang menyesatkan pun dihapus seiring terbitnya Inpres No. 26 Tahun 1998. Instruksi tersebut memerintahkan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang setara kepada setiap warga negara, serta meninjau kembali dan menyelesaian seluruh produk hukum kebijakan diskriminatif di berbagai bidang, seperti perizinan usaha, layanan kesehatan, pendidikan, kependudukan, perbankan, hingga ketenagakerjaan.
Selain itu, Presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) serta membuka kembali izin pembelajaran bahasa Mandarin. Kebijakan ini merupakan lagkah penting dalam membangun masyarakat yang lebih setara dan inklusif (Nianti, 2022).
Diskriminasi Sosial yang Masih Mmbekas Pasca Reformasi
Meski secara hukum berbagai bentuk diskriminasi telah dihapuskan, sayangnya, pola pikir diskriminatif yang merupakan konstruksi lama dari para penguasa sebelumnya masih tertanam kuat di dalam benak sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari berbagai insiden yang terjadi di era reformasi. Misalnya, kasus Andrew Budikusuma pada 2015, di mana ia dipukuli dan diteriaki dengan kata-kata yang bernada rasis saat pulang dari tempat kerja (Detik.News)
Menjelang Pilkada Jakarta 2017, muncul pula kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap menistakan agama (Hukumonline). Kasus ini dengan cepat dimanfaatkan menjadi isu politik yang menyulut sentimen anti-Cina. Beberapa tahun kemudian, publik kembali diramaikan oleh isu masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Tiongkok secara berlebihan, yang kemudian dibantah oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (Bisnis.com). Isu terbaru bahkan menyasar mantan Presiden Joko Widodo, yang dituduh sebagai keturunan Tionghoa, klaim yang kemudian terbukti tidak benar, namun tetap memantik perdebatan dan prasangka etnis (Tempo.com).
Mencari Solusi atas Diskriminasi Yang Mengakar
Dari kasus-kasus tersebut, kita bisa melihat bahwa pola pikir diskriminatif terhadap etnis Tionghoa masih tertanam kuat dalam masyarakat hingga hari ini. Akibatnya, cita-cita persatuan dan keadilan sosial yang dijunjung dalam Pancasila dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” masih belum sepenuhnya tercapai dalam praktik kehidupan berbangsa.
Tentu saja, menyelesaikan masalah dikriminasi ini bukanlah tanggung jawab warga keturunan tionghoa semata. Ini adalah tanggung jawab warga negara Indonesia. Kita semua, apapun latar belakang etnis kita, harus bersama-sama berperan dalam membongkar stigma dan menghapus prasangka yang telah diwariskan secara turun-temurun. Namun, jika dilakukan bersama oleh seluruh elemen masyarakat, maka Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan bersatu bukanlah sekadar impian.
Untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat, kita semua sebagai warga negara harus mencerminkan prinsip-prinsip Multikultularisme dalam memandang perbedaan dan persoalan yang ada dalam kehidupan, tak terkecuali diskriminasi terhadap etnis tionghoa itu sendiri. Multikulturalisme didefinisikan sebagai pengakuan dan dorongan terhadap pluralisme budaya; multi-budaya menjunjung tinggi dan berupaya untuk melindungi keanekaragaman budaya (mis. bahasa-bahasa minoritas), dan pada saat yang bersamaan memfokuskan diri pada hubungan budaya minoritas dengan budaya mayoritas yang seringkali tidak seimbang (Jary & Jary, 1999). Ketidakseimbangan itu sendiri sudah dibentuk sejak zaman colonial, yaitu membuat semacam kasta pembeda yang sangat rasial.
Pada tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda secara resmi dibagi menjadi tiga golongan ras utama: orang Eropa (terutama Belanda), pendatang asing dari Timur seperti Tionghoa dan Arab, serta golongan pribumi. Pengelompokan ini menciptakan hierarki sosial yang sangat ketat dan mengakibatkan segregasi rasial yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, perumahan, pekerjaan, serta akses terhadap sumber daya ekonomi. Sistem ini tidak hanya membatasi mobilitas sosial, tetapi juga memperkuat kekuasaan kolonial dengan memanfaatkan perbedaan ras sebagai alat kontrol yang efektif.
Konstruksi rasial dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda menunjukkan ketimpangan kekuasaan yang mencolok. Orang Eropa menempati posisi tertinggi dalam struktur sosial, dengan kendali penuh atas aspek politik, ekonomi, dan sosial. Di bawahnya terdapat kelompok Timur Asing seperti Tionghoa, Arab, dan India yang berperan besar dalam sektor perdagangan, namun tetap mengalami diskriminasi dan tidak memiliki hak politik yang setara. Sementara itu, kelompok pribumi, meski merupakan mayoritas penduduk, justru ditempatkan pada posisi paling bawah dan dieksploitasi sebagai tenaga kerja murah (Asrul et al., 2024).
Konstruksi kolonial inilah yang secara perlahan membentuk paradigma dalam masyarakat Indonesia, yakni kecenderungan untuk membedakan dan mengelompokkan etnis Tionghoa. Seiring waktu, konstruksi ini berkembang menjadi pengetahuan kolektif yang diwariskan lintas generasi, melahirkan stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa yang kemudian dianggap wajar dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari.
Meskipun secara struktural praktik diskriminatif telah dihapuskan, cara pandang yang bias dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu masih bertahan hingga kini. Pola pikir semacam ini terus membekas dalam kesadaran kolektif masyarakat dan menjadi tantangan besar yang harus kita hadapi bersama. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai bangsa Indonesia untuk menerapkan prinsip-prinsip multikulturalisme sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan menjadikan multikulturalisme sebagai pola pikir dan mewujudkannya dalam tindakan nyata, upaya menciptakan kehidupan sosial yang damai dan harmonis bukanlah sekadar impian utopis, melainkan sebuah tujuan yang dapat dicapai secara kolektif. Adapun secara struktural hal ini sudah direalisasikan dalam Undang-undang dasar tahun 1945.
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Pasal ini menegaskan bahwa negara secara konstutional menjamin dan melindungi hak setiap warga negara dari segala bentuk perlakuan diskrminatif.
Hak atas kebebasan dari diskriminasi merupakan prinsip nondiskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang memastikan bahwa tidak seorang pun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya (KomnasPerempuan). Oleh karena itu, segala bentuk diskriminasi maupun stigma negatif terhadap etnis Tionghoa tidak dapat dibenarkan. Negara, melalui konstitusinya, memberikan perlindungan kepada siapapun yang mengalami perlakuan diskriminatif.
Perlakuan diskriminatif yang dilandasi pola pikir bahwa etnis Tionghoa adalah “berbeda” dan harus dipisahkan dari masyarakat umum, harus segera dihapuskan. Praktik-praktik semacam ini melanggengkan stereotip serta memperkuat pemisahan sosial yang merusak prinsip kesetaraan warga negara.
Menurut Standar Norma dan Pengaturan Nomor 1 dari Komnas HAM, segregasi berdasarkan ras dan/atau etnis haruslah dicegah, dilarang dan dihapuskan. Pemisahan berdasarkan ras dan/atau etnis dalam sejarah diskriminasi ras atau etnis di dunia maupun di Indonesia terjadi disekolah, pasar, pemakaman, dan pemukiman. Kadang segregasi ini dilatari kehendak baik atau ketidakmampuan mengendalikan situasi, misalnya bertujuan mengurangi konflik.
Lebih jauh, Diskriminasi ras dan etnis dilarang karena seringkali berkembang menjadi hate crime yaitu kejahatan yang dilakukan berdasarkan sentimen/kebencian tertentu. Tindak kejahatan dalam hate crime berdasarkan ras dan etnis berupa tindak kejahatan yang ada dalam KUHP seperti pencurian, perampokan, perkosaan ataupun pembunuhan. Yang membedakan adalah tindakan-tindakan tersebut dilakukan karena kebencian atau sengaja menyasar ras dan etnis tertentu. Contoh, perkosaan terhadap perempuan etnis X atau razia dan pemukulan terhadap ras tertentu.
Namun, berbagai kebijakan ini masih menunjukkan ambiguitas dalam penerapannya di sejumlah daerah, salah satunya di Yogyakarta. Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 berisi larangan kepemilikan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) non pribumi atau WNI keturunan. Instruksi tersebut pada dasarnya membatasi hak kepemilikan atas tanah bagi masyarakat keturunan, seperti Tionghoa, India, Turki,dan lain sebagainya.
Ketentuan ini menegaskan bahwa WNI non pribumi yang memiliki tanah dengan status Hak Milik, baik untuk lahan pertanian maupun non pertanian, diwajibkan untuk melepaskan hak tersebut. Tanah tersebut kemudian akan berstatus sebagai tanah negara yang langsung dikuasai oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Abdurrahman, 2019).
Tentu saja, jika dikaitkan dengan semangat demokrasi, kebijakan ini patut dipertanyakan. Seperti yang dikemukakan Muntaqo, menjadi pantas dipertanyakan, relevansi kebijakan ini menjadi problematik bila disandingkan dengan nilai-nilai luhur demokrasi yang diusung secara nasional. Esensi utama demokrasi adalah “keadilan yang seadil-adilnya” (Benedict, 2021).
Kebijakan ini memberikan dampak yang signifikan, khususnya bagi etnis Tionghoa yang ingin memiliki tanah di Yogyakarta namun terhambat oleh aturan tersebut. Lebih lanjut, menurut Lestarini, dalam konteks historis, kebijakan pembatasan Hak milik di DIY dapat dipandang sebagai produk dari masa warisan penjajahan. Padahal, dalam hukum Internasional, hal ini sudah diatur secara tegas dalam International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) atau Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Konvensi ini menegaskan bahwa setiap bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, garis keturunan, atau asal kebangsaan maupun etnis harus dilarang dan dihapuskan. Negara-negara pihak memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan positif guna menghapus diskriminasi dan memastikan perlindungan hukum yang setara bagi semua orang tanpa membedakan latar belakang rasial atau etnis mereka.
Indonesia meratifikasi ICERD pada tahun 1999 melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Dengan demikian, Indonesia secara hukum internasional wajib melindungi warga negaranya dari diskriminasi rasial dalam bentuk apa pun.
Sebagai masyarakat Indonesia yang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan tentram, saya tentu berharap dapat membentuk masyarakat yang lebih terbuka dan mampu menerima perbedaan. Kita seharusnya tidak mencela, apalagi mendiskrimnasi orang lain hanya karena perberbeda ras, agama atau budaya. Upaya ini dapat dimulai dari ruang sosial terkecil, yaitu keluarga. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pola pikir terbentuk dan diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, pola pikir anak perlu dibentuk dan diarahkan sejak dini, sebelum mereka terjun ke dalam kehidupan sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat. Dalam hal ini, peran orang tua menjadi sangat krusial, tidak hanya bagi perkembangan anak, tetapi juga bagi terwujudnya masyarakat yang inklusif dan berkeadilan sosial.
Referensi :
Wakindiyah, N. Y. (2023). Migrasi etnis Tionghoa ke Indonesia: Analisis peran dan kontribusi komunitas Tionghoa dalam pembentukan identitas nasional Indonesia. Ranah Sejarah: Journal of Historical Science and Education, 1(2).
Gernet, Jacques (1996). A History of Chinese Civilization. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-49781-7.
https://youtu.be/s5hMVPMOn3c?si=5s3gmWwOhdtNRDWQ. Melawan lupa – Geger Pacinan
Lilie Suratminto, Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740 Dampak Konflik Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740 Dampak Konflik Golongan “Prinsgezinden” dan “Staatsgezinden” di Belanda?, Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, Volume 6 Number 1 Jejak Masa Lampau Indonesia, 4-30-2004.
Fadrik Aziz Firdausi, Wijkenstelsel & Passenstelsel: Mula Stigma Eksklusif Orang Tionghoa, tirto.id, 2020.
Sari, K., Nur’aisyah, S. S., Rangkuti, I. R., Alawiyah, I., Sari, A. F., & Azhari, I. (2024). Sejarah Kelam: Konflik Warga Tionghoa Di Indonesia Dengan VOC (Geger Pacinan Oktober 1740). Innovative: Journal of Social Science Research, 4(3), 7264–7272.
Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka.
Alhaditsatur Rofiqoh, PEREMPUAN DALAM PERANG: RADEN AYU YUDOKUSUMO DALAM PEMBANTAIAN DI BENGAWAN SOLO TAHUN 1825. FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA, UIN SUNAN AMPEL SURABAYA, 2022.
Husodo, H. F., & Dwiningtyas, H. (2018). Pemaknaan Khalayak Etnis Tionghoa terhadap Stereotip dalam Film Cek Toko Sebelah. Jurnal Interaksi, 8(2), 137–147.
theconversation.com , Irawan Santoso Suryo Basuki – Mengapa sentimen negatif terhadap etnis Cina mengakar kuat di Indonesia, 2020.
Kumparan.com, Potongan Nostalgia – Diskriminasi Etnis Tionghoa: Dari Orde Lama Sampai Orde Baru, 2017.
Mima Kharimah Aryani, INPRES NO 14 TAHUN 1967: BENTUK DISKRIMINASI PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP ETNIS TIONGHOA, Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP Universitas Jambi Vol. 2 No. 2, Desember (2022) 01-12
Ria Anjani, MENGANALISIS PERAN GUS DUR DALAM PERJUANGAN HAK UMAT BERAGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA, Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP Universitas Jambi Vol. 1 No. 1, April (2022) 85-93
Dewi, Nurmaya. Romantika Tiga Zaman Kehidupan Masyarakat Keturunan Etnis Tionghoa di Kota Bandung pada Tahun 1960–2000. Universitas Pendidikan Indonesia, 2015. UPI Repository
noice.id – Melacak Sejarah Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia, 2023.
Sibawati, I. (2024) . Eksistensi Etnis Cina di Bawah Pemerintahan Orde Baru, 1966–1998. Tamaddun: Jurnal Ilmu Sosial, Seni, dan Humaniora, 2(2), 81–94.
Mustajab, A. (2015). Kebijakan politik Gus Dur terhadap China Tionghoa di Indonesia. In Right: Jurnal Agama dan Hak Azasi Manusia, 5(1), 1–15.
Nianti, Y. (2022). Kebijakan Pemerintah Era Reformasi terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia (Studi Kasus pada Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999) [Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]. Repository UIN Jakarta.
Detik.news, Danu Damarjati – Dirut trasJ janji ikut telusuri kasus Andrew yang mengaku di keroyok dalam bus, 2016.
Hukumonline.com, Norman Edwin Elnizar – putusan penahanan ahok dan masa transisi, 2017.
Bisnis.com, Rika Anggraeni,– Luhut buka-bukaan soal isu masuknya jutaan TKA dari china ke RI, 2021.
Tempo.com – Keliru, Klaim Prabowo Subianto dan Joko Widodo Keturunan Etnis Cina Hongkong serta Ganjar Keturunan Belanda, 2024.
Jary, D., & Jary, J. (1999). Unwin Hyman Dictionary of Sociology (Edisi ke-2). Leicester: Bookmart Ltd
Asrul, A. A., Sianturi, D. F., Tarigan, A. E., Sihotang, M., & Sinaga, R. (2024). Konstruksi rasial masyarakat Indonesia pada masa kolonial. JAHE: Jurnal Akuntansi Hukum dan Edukasi, 1(2), 730–734.
Komnas Perempuan. (n.d.). Pokok-pokok Pikiran Penyelenggaraan Koordinasi dan Pemantauan terhadap Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Komnas HAM. (2020). Standar Norma dan Pengaturan No. 1: Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Abdurrahman, A. (2019). Konsistensi UUPA Terkait Hak Milik Atas Tanah Bagi WNI Non Pribumi di Yogyakarta. Notarius, 12(1), 500–511.
Benedict, J. C. (2021). Pembatasan Hak Masyarakat Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta: Bias Kelas Demokrasi Agraria? Jurnal Pemikiran Sosiologi, 8(2), 185–208.
United Nations. (1966). International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. United Nations Treaty Series, 660, 195.





