Riba merupakan salah satu isu krusial dalam hukum ekonomi Islam. Istilah ini merujuk pada tambahan yang diperoleh dalam transaksi utang piutang atau jual beli tanpa adanya imbalan yang sepadan. Dalam Islam, riba dipandang sebagai bentuk ketidakadilan dan eksploitasi yang nyata, dan oleh karenanya, diharamkan secara tegas.
Secara etimologis, riba berasal dari kata Arab ziyadah yang berarti “tambahan”. Maka, setiap bentuk pertambahan yang tidak dibenarkan dalam akad dianggap sebagai riba.
Konsep riba sudah dikenal sejak zaman dahulu dan bukan hanya menjadi perhatian Islam, tetapi juga agama lain seperti Yahudi dan Nasrani. Bahkan, para filsuf pun menolak praktik riba karena dinilai merusak tatanan sosial.
Dalam konteks Islam, penolakan terhadap riba ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satunya sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Muslim, Rasulullah SAW mengutuk pemakan riba, penulisnya, saksinya, dan pihak-pihak yang terlibat lainnya. Beliau menegaskan bahwa mereka semua sama-sama berdosa.
Dalam pandangan fiqih muamalah, pembahasan tentang riba tidak cukup hanya memahami substansinya, melainkan harus disertai analisis mendalam terhadap bentuk-bentuk praktik ekonomi modern.
Penting bagi umat Islam untuk memahami apakah transaksi yang dilakukan baik secara personal maupun institusional termasuk dalam kategori riba yang diharamkan atau tidak. Hal ini menjadi bagian dari prinsip ihtiyat (kehati-hatian) dalam ajaran Islam agar umat tidak terjerumus pada praktik yang dilarang.
Di era modern, riba telah mengalami pelembagaan. Jika dulu riba dilakukan oleh individu secara langsung, kini praktik tersebut banyak terjadi melalui lembaga keuangan, terutama bank konvensional.
Dalam sistem tersebut, bunga yang dikenakan dalam pinjaman uang adalah bentuk riba yang nyata. Tambahan dari jumlah pokok pinjaman dengan persentase tertentu yang harus dikembalikan oleh peminjam adalah esensi dari riba.
Quraish Shihab, dalam analisisnya terhadap ayat-ayat riba, menjelaskan bahwa kata kunci seperti adh’afan mudha’afah (berlipat ganda), maa baqiya min al-riba (sisa riba yang masih ada), dan fa lakum ru’usu amwalikum (milikmu hanya pokok hartamu) menekankan larangan keras terhadap bentuk tambahan yang tidak sah. Al-Qur’an dengan jelas menyatakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 275, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Perbedaan antara jual beli yang sah dan praktik riba terletak pada keberadaan unsur tambahan yang tidak adil dalam suatu transaksi. Dalam jual beli, keuntungan diperoleh melalui aktivitas nyata, misalnya jual beli barang atau jasa. Sementara dalam riba, keuntungan hanya berasal dari waktu, bukan dari aktivitas ekonomi produktif.
Islam mengenal beberapa jenis riba. Riba fadhl terjadi dalam pertukaran barang sejenis yang tidak setara, seperti menukar 1 kg emas lama dengan 1,1 kg emas baru. Riba nasi’ah muncul karena adanya penundaan waktu pembayaran dengan tambahan tertentu. Sedangkan riba qardh merupakan tambahan dalam transaksi pinjaman, yang seringkali terjadi secara tidak disadari oleh masyarakat.
Dampak riba sangatlah merusak. Ia membebani peminjam, menciptakan ketimpangan sosial, dan menghilangkan keberkahan dalam harta. Lebih jauh, riba menanamkan kedengkian dalam hati orang miskin terhadap orang kaya, memperbesar jurang sosial, dan merusak nilai-nilai tolong-menolong dalam masyarakat. Praktik ini dapat menjadikan manusia hamba dari harta dan menjauhkan mereka dari empati sosial.
Rasulullah SAW menyebutkan bahwa harta yang bercampur dengan riba tidak akan membawa keberkahan. Dalam konteks ini, riba bukan hanya soal hukum, tetapi juga terkait dengan moralitas dan etika ekonomi Islam.
Islam mempromosikan sistem keuangan yang adil, mendorong keberpihakan terhadap yang lemah, dan menghindari segala bentuk ketidakadilan yang timbul dari praktik ekonomi yang eksploitatif.
Lalu, bagaimana cara umat Islam menghindari praktik riba dalam kehidupan sehari-hari?
Pertama, dengan memilih lembaga keuangan berbasis syariah. Bank dan koperasi syariah menggunakan akad-akad seperti murabahah, ijarah, mudharabah, dan musyarakah yang bebas dari unsur riba.
Kedua, setiap transaksi harus dipahami akadnya. Jangan sampai niat awal untuk membantu justru berubah menjadi riba karena adanya tambahan yang tidak sah. Ketiga, hindari meminjam dana dari lembaga yang memberikan bunga. Jika memungkinkan, carilah alternatif pinjaman dari keluarga atau lembaga zakat.
Keempat, penting bagi umat Islam untuk terus belajar fiqih muamalah. Pemahaman yang baik akan hukum transaksi syariah akan membuat kita lebih berhati-hati dan selektif. Terakhir, jangan ragu untuk bertanya kepada ustaz atau ahli fiqih muamalah jika merasa ragu terhadap sebuah transaksi.
Perlu disadari bahwa tantangan dalam menghindari riba tidaklah ringan, apalagi di tengah dominasi sistem ekonomi global yang sarat dengan praktik-praktik riba modern. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran kolektif dari umat Islam, bukan hanya dalam hal menghindari riba secara pribadi, tetapi juga dalam mendukung sistem ekonomi yang berlandaskan syariah.
Kita harus mengupayakan solusi jangka panjang untuk membangun sistem ekonomi yang berkeadilan dan berkeberkahan. Salah satu langkah penting adalah memperluas edukasi kepada masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya menghindari riba dan mengamalkan prinsip-prinsip muamalah yang benar. Selain itu, negara dan lembaga keuangan juga perlu berperan aktif dalam menyediakan alternatif produk dan jasa keuangan yang sesuai syariah agar masyarakat memiliki pilihan yang aman.
Riba bukan sekadar larangan fiqih, tetapi juga panggilan moral untuk menciptakan tatanan ekonomi yang menjunjung tinggi keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan. Masyarakat muslim harus mampu membentengi diri dari jeratan riba yang telah merasuk dalam banyak aspek kehidupan ekonomi.
Dengan kesadaran, ilmu, dan komitmen yang kuat, umat Islam dapat mengambil peran penting dalam membangun sistem ekonomi yang lebih adil, transparan, dan bermartabat di tengah arus kapitalisme global yang kian menantang.





