Sudah tiga tahun berlalu sejak Rusia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina. Darah terus tertumpah, kota-kota runtuh, dan jutaan warga kehilangan rumah serta masa depan. Tidak ada yang menginginkan perang ini berlarut-larut.
Bahkan Winston Churchill pernah menegaskan, “Berunding selalu lebih baik daripada berperang.” Namun ia juga mengingatkan: perundingan demi perdamaian bukan berarti tunduk pada tekanan agresor.
Presiden Donald Trump pernah dengan percaya diri mengklaim mampu menghentikan perang Rusia–Ukraina hanya dalam 24 jam. Setelah berbulan-bulan pertemuan bilateral, termasuk pertemuan Trump–Putin di Alaska pada Agustus lalu, menjadi jelas bahwa konflik ini tidak bisa diakhiri dengan retorika kampanye. Realitas geopolitik selalu lebih rumit daripada janji politik.
Kini Amerika Serikat mengajukan proposal perdamaian baru, dikenal sebagai “Rencana Damai 28 Poin”, yang disebut-sebut terinspirasi dari formula gencatan senjata Israel–Hamas. Namun banyak analis menilai rencana tersebut justru condong menguntungkan Moskow. Dua poin yang paling kontroversial menunjukkan dengan gamblang arah keberpihakannya:
- Kekuatan militer Ukraina dibatasi hanya 600.000 personel, jauh di bawah hampir satu juta personel yang saat ini dimobilisasi.
- Crimea, Donetsk, dan Luhansk diakui secara de facto sebagai wilayah Rusia, termasuk oleh Amerika Serikat.
Dua ketentuan tersebut saja sudah memperlihatkan bagaimana pelaku agresi justru memperoleh keuntungan politik dan teritorial. Perdamaian seperti ini bukan hanya timpang, tetapi juga berbahaya bagi tatanan internasional.
Semua pihak menginginkan perang berakhir. Namun perdamaian tidak boleh dicapai dengan mengorbankan kedaulatan pihak yang diserang. Tidak ada logika moral maupun hukum internasional yang membenarkan negara korban agresi dipaksa melepas wilayahnya demi menghentikan invasi.
Trump terus menekan Ukraina agar segera menandatangani rencana tersebut. Tekanannya disertai ancaman penghentian penuh bantuan militer dan ekonomi jika Ukraina menolak. Ironisnya, hampir tidak ada tekanan serupa diarahkan kepada Rusia. Sebaliknya, Trump berkali-kali menyalahkan Ukraina dan Eropa sebagai pihak yang “memperpanjang” perang suatu narasi yang sejalan dengan propaganda Kremlin.
Jika pendekatan seperti ini terus diambil, dunia seharusnya tak terkejut apabila Tiongkok merasa leluasa menginvasi Taiwan. Sejarah telah memperlihatkan bahwa kelemahan respons internasional terhadap agresi justru memicu invasi lanjutan. Perang Dunia II menjadi contoh paling gamblang: kebijakan lunak Sekutu terhadap ekspansi Nazi Jerman melahirkan tragedi global yang jauh lebih besar.
Appeasement—kebijakan memuaskan tuntutan agresor demi menghindari perang—tidak pernah berhasil menciptakan perdamaian jangka panjang. Sebaliknya, ia memperlebar ruang bagi tirani untuk berkembang. Dunia tampaknya terus mengulangi kesalahan yang sama.
Apabila rencana 28 poin itu pada akhirnya ditandatangani, dan Ukraina dipaksa menerimanya karena ketergantungan pada bantuan Amerika, maka kekalahan moral dan strategis blok demokrasi hanya tinggal menunggu waktu. Pesan yang terkirim ke para pemimpin otoriter di seluruh dunia jelas: invasi bisa dibenarkan, dan agresor dapat memperoleh hadiah berupa wilayah baru.
Dampaknya akan merembet. Iran dapat merasa semakin bebas memperluas pengaruh militernya dan mengacaukan stabilitas Timur Tengah. Korea Utara bisa merasa lebih leluasa mengancam Korea Selatan. Tiongkok dapat melihat peluang emas menguasai Taiwan dan memperkuat klaimnya atas Laut Cina Selatan.
Jika logika yang kini diterapkan Trump terhadap Ukraina dijadikan preseden global, skenario berikut bukan mustahil terjadi:
- Iran diberi lampu hijau mengembangkan senjata nuklir sementara negara-negara Teluk dipaksa “tenang” dengan jaminan keamanan semu dari Amerika.
- Korea Selatan diharuskan menahan diri terhadap provokasi Pyongyang dan dipaksa mereduksi kekuatan militernya.
- Taiwan diminta menyerahkan sebagian wilayahnya kepada Beijing sebagai “kompromi damai”, sembari ditekan mengurangi jumlah personel militer seperti tuntutan terhadap Ukraina.
Sejarah Perjanjian Munich 1938 sudah cukup mengajarkan bahwa menuruti keinginan diktator bukanlah jalan menuju perdamaian. Ketika agresor dibiarkan tanpa konsekuensi, ia akan merasa kebal dan semakin berani melanggar hukum internasional.
Amerika dan Eropa perlu kembali pada prinsip dasar demokrasi: setiap pelanggaran kedaulatan harus ditanggapi tegas. Tidak ada legitimasi bagi aneksasi wilayah yang dilakukan melalui kekuatan militer.
Perdamaian yang adil hanya bisa dicapai melalui kekuatan dan konsistensi, bukan konsesi sepihak. Ukraina membutuhkan dukungan militer, politik, dan ekonomi yang memadai agar Rusia menyadari bahwa invasinya semakin mahal dan berisiko gagal total. Sanksi ekonomi harus dipertahankan hingga mesin perang Kremlin melemah secara signifikan.
Keputusan berada di tangan pemimpin dunia demokratis khususnya Amerika Serikat. Jika Trump tetap memaksakan doktrin “America First” di atas keamanan sekutu dan prinsip demokrasi, maka ancaman Perang Dunia III bukan lagi wacana fiksi. Dunia berada pada persimpangan sejarah, dan waktu tidak berpihak pada mereka yang ragu.
Pilihan ada di tangan kita. Waktu terus berjalan.





