Di Kabupaten Malang, khususnya di Desa Srimulyo, Kecamatan Dampit, terdapat tradisi penggunaan weton sebagai syarat dalam pernikahan. Adat Weton merupakan salah satu aspek dalam budaya Jawa yang sering dijadikan pertimbangan dalam pernikahan.
Weton adalah kombinasi dari hari lahir dan pasaran dalam sistem penanggalan Jawa yang diyakini memiliki pengaruh terhadap kecocokan pasangan. Dalam masyarakat Jawa, perhitungan weton sering digunakan untuk menentukan apakah sepasang calon pengantin memiliki kecocokan atau tidak.
Tradisi ini masih kuat dipegang oleh masyarakat setempat dan sering menjadi pertimbangan utama sebelum melangsungkan pernikahan. Di sisi lain, Islam memiliki aturan dan ketentuan tersendiri dalam hal pernikahan. Dalam artikel ini membahas perspektif Islam mengenai penggunaan weton sebagai syarat dalam pernikahan serta sejauh mana ajaran Islam dapat menerima atau menolak praktik ini.
Pernikahan merupakan salah satu institusi penting dalam kehidupan manusia. Setiap budaya memiliki tradisi yang berbeda dalam menentukan pasangan hidup, salah satunya adalah tradisi weton dalam budaya Jawa.
Namun, dalam Islam, pernikahan memiliki rukun dan syarat yang telah ditentukan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Maka, pertanyaan yang muncul adalah apakah weton dapat dijadikan sebagai syarat pernikahan dalam Islam?
Pengertian Weton dan Kepercayaannya dalam Masyarakat Jawa
Weton adalah sistem perhitungan yang digunakan dalam budaya Jawa untuk menentukan karakter seseorang berdasarkan hari lahirnya. Sistem ini berasal dari kombinasi antara tujuh hari dalam seminggu (Senin hingga Minggu) dengan lima pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon). Berdasarkan kombinasi tersebut, setiap individu memiliki weton tertentu yang dipercaya dapat mempengaruhi nasib dan kecocokan mereka dengan pasangan.
Dalam pernikahan, masyarakat Jawa sering kali menggunakan perhitungan weton untuk menentukan keserasian pasangan. Jika weton pasangan dianggap tidak cocok, sering kali mereka menghadapi hambatan dari keluarga dan masyarakat. Ada keyakinan bahwa ketidaksesuaian weton dapat menyebabkan kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis atau bahkan membawa kesialan.
Perspektif Islam terhadap Weton dalam Pernikahan
Dalam Islam, pernikahan memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar sah di mata syariat. Rukun nikah terdiri dari lima hal utama, yaitu calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab kabul. Kelima rukun ini menjadi fondasi utama dalam akad pernikahan yang harus dilaksanakan dengan benar sesuai tuntunan agama.
Selain rukun, terdapat pula syarat sah pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan diakui secara syariat. Syarat tersebut meliputi calon pengantin yang beragama Islam, tidak memiliki hubungan mahram, adanya persetujuan dari wali, serta kewajiban memberikan mahar atau maskawin.
Selain itu, bagi perempuan yang pernah menikah sebelumnya, ia tidak boleh dalam masa iddah saat menikah lagi. Ijab kabul juga harus dilakukan dengan jelas agar tidak ada keraguan dalam akad yang dijalankan.
Dalam perspektif Islam, aturan ini bertujuan untuk menjaga keberkahan dan ketertiban dalam pernikahan. Islam tidak mengenal konsep weton seperti dalam tradisi Jawa yang digunakan untuk menentukan kecocokan pasangan.
Selama rukun dan syarat nikah telah terpenuhi, maka pernikahan dianggap sah, tanpa perlu mempertimbangkan weton atau ramalan lainnya. Dari rukun dan syarat di atas, tidak ditemukan adanya ketentuan mengenai weton sebagai syarat sah atau tidaknya pernikahan dalam Islam.
Islam menekankan aspek keimanan, akhlak, dan tanggung jawab dalam memilih pasangan hidup, bukan berdasarkan ramalan atau kepercayaan pada hal yang tidak memiliki dasar dalam syariat dan bisa memesongkan keimanan seseorang. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 221, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَـٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌۭ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌۭ مِّن مُّشْرِكَةٍۢ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌۭ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌۭ مِّن مُّشْرِكٍۢ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَـٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَـٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam memilih pasangan, Islam lebih mementingkan aspek keimanan daripada pertimbangan lain seperti weton atau ramalan.
Hukum Percaya Weton dalam Islam
Dalam ajaran Islam, percaya pada ramalan atau sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam syariat bisa termasuk dalam kategori tahayul dan khurafat. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa mendatangi dukun atau peramal, lalu membenarkan perkataannya, maka dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa mempercayai sesuatu yang tidak memiliki dasar syariat, seperti weton dalam pernikahan, bisa bertentangan dengan ajaran Islam. Kepercayaan bahwa weton dapat menentukan nasib rumah tangga tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Hadis, sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan syirik kecil.
Hadis ini menunjukkan larangan keras terhadap kepercayaan kepada ramalan atau hal-hal ghaib yang tidak bersumber dari wahyu Allah. Islam mengajarkan umatnya untuk tidak bergantung pada sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Hadis, karena hal tersebut dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kemusyrikan.
Weton sering kali dipercaya dapat menentukan kecocokan pasangan dan nasib rumah tangga, padahal dalam Islam, jodoh dan kehidupan seseorang sepenuhnya berada di tangan Allah. Kepercayaan semacam ini berpotensi mengurangi keimanan seseorang karena meyakini bahwa nasib seseorang bergantung pada perhitungan tertentu, bukan kepada ketentuan Allah.
Dalam Islam, jodoh seseorang telah ditentukan oleh Allah berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمِن كُلِّ شَىْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ٤٩
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 49).
Pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak ditentukan oleh hitungan weton atau ramalan, melainkan oleh usaha kedua pasangan dalam membangun rumah tangga yang didasarkan pada iman, akhlak, dan ketakwaan kepada Allah.
Mempercayai weton sebagai penentu nasib rumah tangga bisa dikategorikan sebagai perbuatan syirik kecil. Islam mengajarkan umatnya untuk bertawakal kepada Allah dalam segala urusan, termasuk pernikahan. Rasulullah SAW menekankan pentingnya memilih pasangan berdasarkan agama dan akhlak, sebagaimana dalam sabdanya:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai umat Islam, hendaknya kita menjauhi segala bentuk kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Daripada percaya pada weton atau ramalan, lebih baik berdoa dan berusaha memperbaiki diri agar mendapatkan pasangan yang baik menurut Allah.
Dengan berpegang teguh pada ajaran Islam dan berserah diri kepada-Nya, insyaAllah rumah tangga yang dibangun akan mendapat keberkahan dan pertolongan dari Allah.
Dalam kasus kepercayaan terhadap weton dalam pernikahan, terdapat beberapa teori hukum adat yang dapat dikaitkan seperti:
Teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh C. van Vollenhoven menyatakan bahwa hukum adat yang berlaku dalam suatu masyarakat sepenuhnya mengikuti hukum agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Dalam konteks kepercayaan terhadap weton, apabila suatu masyarakat mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam seharusnya menjadi landasan utama dalam mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan.
Oleh karena itu, kepercayaan terhadap weton yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang berlaku di masyarakat Muslim.
Teori Living Law atau hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang sebenarnya berlaku adalah hukum yang dijalankan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat, bukan sekadar hukum yang tertulis dalam perundang-undangan.
Dalam konteks ini, kepercayaan terhadap weton dapat dianggap sebagai bagian dari living law karena masih dipegang teguh dan dijalankan oleh sebagian masyarakat, terutama di wilayah Jawa.
Namun demikian, meskipun kepercayaan tersebut hidup dalam praktik sosial, keberadaannya tetap perlu dievaluasi berdasarkan nilai-nilai agama dan hukum nasional untuk memastikan kesesuaiannya dengan norma yang lebih tinggi.
Teori Receptie yang dikembangkan oleh B. Ter Haar menyatakan bahwa hukum adat tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum negara atau hukum yang lebih tinggi. Dalam konteks masyarakat Muslim, hukum Islam dianggap sebagai hukum yang lebih tinggi dibandingkan hukum adat.
Oleh karena itu, meskipun kepercayaan terhadap weton masih dijalankan dalam masyarakat tertentu, keberlakuannya dapat dipertanyakan apabila bertentangan dengan nilai-nilai hukum Islam. Praktik weton dalam pernikahan, misalnya, bisa dianggap sebagai bagian dari adat yang tidak sejalan dengan ajaran Islam dan karenanya tidak harus diikuti.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam sebaiknya mempertimbangkan pernikahan berdasarkan ajaran Islam yang jelas dan menjauhi hal-hal yang bersifat mistis atau tidak memiliki dasar dalam syariat. Memilih pasangan yang baik berdasarkan iman dan akhlak akan lebih menjamin kebahagiaan rumah tangga daripada sekadar mempertimbangkan weton.