Reformasi 1998 menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Saat itu, mahasiswa berada di garda terdepan, turun ke jalan, menyuarakan perubahan dari rezim otoriter menuju sistem pemerintahan yang lebih demokratis. Aksi mereka tidak hanya mengguncang kekuasaan, tetapi juga menjadi simbol keberanian dan kepedulian terhadap masa depan bangsa.
Namun setelah lebih dari dua dekade berlalu, muncul pertanyaan: apakah semangat reformasi itu masih menyala di hati anak muda masa kini? Ataukah semangat itu telah memudar, digantikan oleh ketidakpedulian dan sikap masa bodoh?
Di era digital dan media sosial yang berkembang pesat, gaya keterlibatan generasi muda terhadap isu sosial dan politik memang mengalami pergeseran. Mereka tidak lagi identik dengan aksi massa di jalanan, melainkan lebih memilih menyalurkan aspirasi melalui ruang digital yang lebih fleksibel dan luas jangkauannya. Platform seperti Instagram, TikTok, hingga Twitter/X kini menjadi alat utama untuk menyampaikan pendapat dan membahas isu-isu nasional.
Salah satu contoh terbaru adalah tren #KaburAjaDulu yang viral di awal 2025. Tagar ini mencerminkan keresahan generasi muda terhadap situasi dalam negeri, mulai dari tingginya biaya pendidikan hingga minimnya peluang kerja.
Meskipun disampaikan melalui media sosial dan tampak seperti bentuk kelakar atau candaan, sebenarnya tagar ini menyimpan pesan kritis terhadap kondisi bangsa. Ini menunjukkan bahwa bentuk ekspresi mereka mungkin berbeda dari generasi sebelumnya, namun semangat kritis dan kepedulian tetap ada.
Sayangnya, tidak sedikit orang yang masih melabeli anak muda sebagai apatis. Padahal anggapan itu kurang tepat. Banyak dari mereka yang justru memiliki perhatian besar terhadap berbagai isu, namun memilih mengekspresikannya melalui cara yang lebih relevan dengan zaman.
Jika dulu orasi dilakukan di mimbar kampus atau jalanan, kini orasi diwujudkan dalam bentuk video pendek, konten edukasi, atau bahkan meme politik yang mengundang diskusi.
Data dari survei CSIS tahun 2022 memperkuat hal tersebut. Survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak muda Indonesia masih mengikuti perkembangan politik. Meski tidak banyak yang bergabung dalam partai atau organisasi politik formal, mereka tetap menunjukkan ketertarikan dan kepedulian terhadap masa depan bangsa.
Peran media sosial sangat besar dalam membentuk opini dan memperluas cakrawala berpikir generasi muda. Dari isu lingkungan, pendidikan, hingga ketimpangan sosial, semua dapat ditemukan dan dibahas secara terbuka di berbagai platform digital.
Di sisi lain, keterbukaan ini juga membawa tantangan tersendiri. Muncul istilah seperti “slacktivism”, yaitu aktivisme yang hanya sebatas klik—seperti menyukai, membagikan, atau menandatangani petisi, tanpa langkah nyata selanjutnya. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa semangat aktivisme digital hanya bersifat simbolik dan minim dampak.
Selain itu, tren “FOMO” atau fear of missing out juga turut memengaruhi sikap anak muda. Tak jarang mereka ikut-ikutan menyuarakan isu yang sedang viral hanya demi eksistensi, bukan karena benar-benar memahami konteks permasalahannya. Ditambah lagi, algoritma media sosial yang lebih mengedepankan konten sesuai preferensi pribadi membuat informasi penting kerap tertutupi oleh hiburan atau tren yang bersifat dangkal.
Namun demikian, penting untuk diingat bahwa generasi muda masa kini tidak bisa digeneralisasi. Ada yang pasif, ada yang aktif bersuara, dan ada pula yang memilih jalannya sendiri dalam menunjukkan kepedulian. Mereka tidak bisa diukur hanya dari partisipasi fisik semata, tetapi juga dari kreativitas dan daya pikir kritis dalam membaca serta merespons realitas sosial.
Yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana mengarahkan energi mereka ke arah yang lebih konstruktif. Pendidikan politik yang menyenangkan dan mudah diakses, ruang diskusi yang inklusif, serta penyediaan informasi yang kredibel dan netral akan menjadi kunci penting. Jika hal ini bisa diwujudkan, maka semangat reformasi tidak hanya akan bertahan, tetapi terus berevolusi seiring perkembangan zaman.
Akhirnya, masa depan reformasi berada di tangan generasi muda. Tugas kita bersama adalah mengelola potensi mereka dengan bijak—menyemai semangat yang tinggi dengan strategi yang cerdas dan berkelanjutan. Karena perubahan besar tidak harus dimulai dari jalanan; kadang ia lahir dari ruang-ruang kecil yang dikelola dengan konsisten, kritis, dan penuh harapan.





