Banjir bandang yang melanda Sukabumi pada akhir tahun 2024 menjadi peringatan keras tentang bahaya degradasi lingkungan yang tidak boleh lagi diabaikan. Bencana yang terjadi pada 4 Desember 2024 ini disebabkan oleh kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia.
Curah hujan yang mencapai lebih dari 150 milimeter dalam waktu singkat, dipicu oleh bibit siklon tropis 95W di Laut Natuna Utara dan sirkulasi siklonik di Samudera Hindia, menjadi salah satu pemicu utama bencana ini.
Ribuan warga terdampak, rumah-rumah terendam, dan harta benda tak terselamatkan. Kejadian ini menuntut refleksi mendalam dari semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga dunia usaha, untuk bersama-sama mencari solusi jangka panjang.
Banjir bandang di Sukabumi tidak terjadi secara tiba-tiba. Beberapa faktor utama menjadi penyebab utama bencana ini. Pertama, deforestasi yang masif selama bertahun-tahun. Penebangan liar, pembukaan lahan untuk pertanian, dan pembangunan permukiman tanpa memperhatikan tata ruang telah merusak daya serap tanah terhadap air hujan. Akibatnya, air langsung mengalir ke permukaan, menciptakan aliran banjir yang menghancurkan.
Kedua, perubahan iklim global turut memperburuk situasi. Pola cuaca ekstrem menjadi lebih sering terjadi, termasuk hujan deras dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat. Data BMKG menunjukkan bahwa curah hujan pada hari kejadian jauh melebihi ambang batas normal, mencatat lebih dari 150 mm per hari.
Ketiga, infrastruktur drainase yang tidak memadai menambah parah kondisi tersebut. Banyak saluran air yang tersumbat oleh sampah, sehingga air meluap dan menggenangi permukiman. Sungai Cikaso, salah satu sungai utama di daerah tersebut, tidak mampu menampung debit air yang melimpah, menyebabkan banjir besar di sekitarnya.
Dampak banjir bandang ini sangat luas, baik secara fisik maupun sosial. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menunjukkan bahwa tujuh kecamatan terdampak, termasuk Ciemas dan Palabuhanratu.
Ketinggian air mencapai lebih dari satu meter di beberapa lokasi, menghanyutkan kendaraan, dan merusak infrastruktur. Ribuan rumah rusak, ratusan hektare sawah terendam, dan mata pencaharian warga hilang. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
Tidak hanya itu, bencana ini juga menyebabkan 10 orang meninggal dunia, dua orang masih hilang, dan ribuan warga mengungsi. Infrastruktur yang rusak, seperti jalan dan jembatan, menghambat distribusi bantuan logistik.
Pasokan air bersih dan listrik terputus, memperparah kondisi masyarakat yang terdampak. Di sisi lain, trauma psikologis juga melanda para korban, terutama anak-anak, yang harus menghadapi kehilangan besar dan ketidakpastian masa depan.
Baca Juga: Kembalinya UN Sedang Dipertimbangkan, Apakah Standarisasi Kelulusan Dibutuhkan Kembali?
Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha memiliki tanggung jawab yang besar dalam menangani bencana ini. Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah bergerak cepat dalam mengevakuasi korban dan mendistribusikan bantuan. Namun, keterbatasan logistik dan personel menjadi tantangan yang harus diatasi.
Langkah selanjutnya adalah pemulihan infrastruktur yang rusak dan pemberian bantuan yang tepat sasaran kepada korban bencana. Tata ruang wilayah juga perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Kebijakan tegas harus diterapkan terhadap aktivitas penebangan liar dan pembangunan di daerah rawan banjir. Penanaman kembali hutan di daerah hulu harus menjadi prioritas utama sebagai solusi jangka panjang.
Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan harus ditingkatkan. Pendidikan tentang mitigasi bencana harus dimulai sejak dini, termasuk pemahaman tentang tanda-tanda alam yang mengindikasikan kemungkinan banjir bandang.
Masyarakat juga harus memiliki rencana evakuasi yang jelas dan ikut aktif dalam kegiatan penghijauan serta pelestarian lingkungan.
Baca Juga: Paradoks Sampah Plastik: Antara Regulasi yang Lemah dan Kreativitas Komunitas
Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan, terutama ke saluran air. Ketika pemerintah menjalankan program mitigasi seperti pembangunan tanggul atau normalisasi sungai, masyarakat harus mendukung dan terlibat aktif. Kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah akan menghasilkan solusi yang lebih efektif.
Mengatasi banjir bandang membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Reboisasi di daerah hulu harus segera dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Organisasi non-pemerintah dan perusahaan juga dapat berkontribusi dalam program ini melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Selain itu, sistem drainase perlu diperbaiki dan diperluas untuk mengantisipasi debit air yang besar. Pembangunan tanggul, waduk, dan embung juga dapat membantu mengurangi risiko banjir. Pendidikan tentang mitigasi bencana harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah, disertai pelatihan tanggap darurat untuk masyarakat secara rutin.
Teknologi modern juga dapat dimanfaatkan untuk memantau curah hujan, mengidentifikasi daerah rawan banjir, dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Dengan adanya sistem peringatan dini yang andal, jumlah korban jiwa dan kerugian materiil dapat diminimalkan.
Baca Juga: Kasus Bunuh Diri Mahasiswa dan Kesehatan Mental: Seruan untuk Kesadaran dan Tindakan di Indonesia
Banjir bandang di Sukabumi adalah pengingat bahwa kerusakan lingkungan dan perubahan iklim memiliki dampak serius terhadap kehidupan manusia. Semua pihak harus bersinergi dalam memperbaiki tata kelola lingkungan dan infrastruktur, khususnya hutan di daerah hulu.
Bencana ini harus menjadi titik balik untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam mencegah tragedi serupa di masa depan.
Kesadaran masyarakat tentang mitigasi bencana harus terus ditingkatkan melalui edukasi dan pelibatan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan. Dengan langkah nyata, kolaborasi, dan komitmen yang berkelanjutan, kita dapat memastikan keselamatan generasi mendatang dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Inilah saatnya bertindak demi keselamatan bersama dan kelestarian lingkungan.





