Pernah gak sih kamu lagi scroll TikTok, terus tiba-tiba muncul video seseorang yang bilang kalau crypto itu “investasi masa depan” yang bisa bikin kamu financial freedom dalam waktu singkat? Fenomena seperti ini udah gak asing lagi di dunia maya.
Crypto seolah jadi simbol keren baru: siapa yang punya, dia yang dianggap melek finansial. Tapi di balik euforia itu, ada satu pertanyaan sederhana yang jarang kita tanyakan: “Sebenernya gue beli crypto karena paham, atau cuma ikut-ikutan biar gak dibilang ketinggalan zaman?”
Beberapa tahun terakhir, dunia crypto memang lagi panas-panasnya. Semua orang ngomongin, semua pengin cuan. Mulai dari Bitcoin, Ethereum, sampai koin baru yang muncul tiap bulan, semuanya ramai dibahas.
Crypto sendiri adalah mata uang digital yang bisa dipakai buat transaksi antar pengguna tanpa harus lewat pihak ketiga kayak bank. Teknologi di baliknya, yaitu blockchain, menjamin keamanan dan transparansi setiap transaksi (Allianz, 2021).
Simpelnya, crypto itu instrumen investasi digital. Kamu bisa “naruh uang” dalam bentuk aset kripto dan berharap nilainya naik. Tapi ya, sama kayak investasi lain, nilainya juga bisa turun sewaktu-waktu. Masalahnya, banyak yang masuk tanpa tahu risiko dan cuma tertarik sama janji “cuan instan”.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto dari OJK pernah bilang, nilai transaksi crypto tahun lalu mencapai Rp650,6 triliun, naik 335,9% dibanding tahun sebelumnya (Bloomberg Technoz, 2025).
Data dari Bappebti juga menyebut ada 12,4 juta investor crypto pada Februari 2022, dan 40% di antaranya Gen Z. Sementara Tokocrypto mencatat 67% investor crypto di Indonesia berasal dari rentang usia 18–34 tahun (Kompas, 2022).
Angka-angka ini menunjukkan satu hal: anak muda Indonesia benar-benar terjun ke dunia crypto, tapi sayangnya, gak semuanya dengan bekal pengetahuan yang cukup.
Kita gak bisa menutup mata: media sosial dan influencer punya peran besar dalam membentuk tren ini. Banyak influencer yang tampil dengan narasi “keluar dari rantai kemiskinan lewat crypto”, lengkap dengan testimoni hasil profit besar-besaran.
Anak muda, tentu saja, jadi tergoda. Siapa sih yang gak mau cepat kaya? Apalagi kalau yang ngomong kelihatan sukses di media sosial.
Tapi di sinilah masalahnya. Banyak dari kita yang akhirnya beli crypto cuma karena FOMO — Fear of Missing Out — alias takut ketinggalan.
Kita gak tahu fundamental koin yang dibeli, gak paham cara kerja blockchain, dan bahkan gak tahu risiko yang mengintai. Yang penting beli dulu, biar gak dibilang “gaptek investasi”.
Padahal, kalau kita lihat dari kacamata sosiologi, fenomena ini udah dijelaskan sejak lama. Mark Granovetter (1985) lewat teori embeddedness-nya bilang, setiap tindakan ekonomi manusia itu gak pernah berdiri sendiri, tapi selalu dipengaruhi faktor sosial di sekitarnya. Artinya, keputusan investasi kita pun dipengaruhi lingkungan, teman tongkrongan, dan tren media sosial.
Lihat aja di tongkrongan: kalau satu orang cerita berhasil profit besar dari crypto, pasti yang lain langsung penasaran dan pengin ikut. Belum lagi influencer yang suka pamer portofolio, bilang udah profit jutaan rupiah, bikin yang nonton makin semangat beli. Sayangnya, gak sedikit dari mereka yang akhirnya kena “jebakan influencer” beli di harga tinggi, lalu harga anjlok saat influencer itu justru jualan diam-diam.
Tren crypto sebenarnya bukan hal buruk. Teknologi blockchain membawa inovasi besar, dan aset digital memang punya potensi masa depan. Tapi masalahnya, edukasi soal risiko masih minim banget, apalagi di kalangan anak muda.
Pemerintah lewat OJK dan Bappebti seharusnya gak cuma fokus pada regulasi transaksi, tapi juga aktif bikin program literasi keuangan digital. Misalnya lewat kampus atau sekolah, biar anak muda ngerti bedanya antara investasi dan spekulasi.
Platform media sosial pun punya tanggung jawab moral. Mereka bisa kerja sama dengan lembaga keuangan untuk nyebarin konten edukatif yang gak cuma jual mimpi, tapi juga kasih pemahaman soal risiko dan analisis fundamental crypto.
Di sisi lain, influencer juga punya peran besar. Kalau mereka bisa ngajak ribuan orang beli crypto, mereka juga bisa ngajak orang buat belajar dulu sebelum investasi.
Transparansi itu penting. Gak usah cuma pamer profit, tapi juga tunjukin sisi lain rugi, risiko, dan cara manajemen aset yang benar.
Sebagai anak muda, kita memang pengin jadi generasi yang financially literate dan mandiri secara ekonomi. Tapi jadi “melek investasi” bukan berarti ikut semua tren yang viral.
Kita perlu sadar bahwa setiap investasi, apapun bentuknya, punya risiko. Dan kalau gak ngerti apa yang kita beli, ya sama aja kayak main judi digital.
Mungkin terdengar klise, tapi kunci dari investasi yang sehat itu literasi dan logika, bukan emosi dan euforia.
Kalau temanmu lagi cuan besar, jangan langsung ikut. Pelajari dulu: apa itu koinnya, siapa pengembangnya, gimana pergerakan pasar, dan apakah sesuai dengan profil risikomu.
Karena pada akhirnya, nilai sejati dari berinvestasi bukan di seberapa besar keuntungan yang kita dapat, tapi seberapa bijak kita membuat keputusan finansial.
Crypto bisa jadi peluang, tapi juga bisa jadi jebakan. Semua tergantung dari seberapa siap kita menanggung risiko di baliknya.
Jadi, sebelum beli crypto karena FOMO, tanya dulu ke diri sendiri:
“Gue beneran ngerti, atau cuma pengen dianggap keren?”





