Menjelang Hari Raya Idulfitri, masyarakat Indonesia memiliki beragam tradisi yang kaya akan makna, salah satunya adalah budaya pasar kembang. Tradisi ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan simbol penghormatan, cinta, dan doa kepada mereka yang telah tiada.
Di banyak daerah, pasar kembang menjadi salah satu destinasi yang tidak pernah sepi, terutama satu hari sebelum lebaran. Sejak pagi buta, saat langit masih remang, para pedagang sudah mulai menata dagangannya.
Bunga-bunga seperti mawar merah, melati putih, dan kenanga menjadi primadona di pasar ini. Bunga-bunga tersebut biasanya sudah dipisahkan dari tangkainya dan dijual dalam bentuk tabur. Namun, tak sedikit pula yang menjualnya dalam bentuk buket, dengan rangkaian yang menarik dan warna yang mencolok.
Meski sebagian besar pembeli menggunakan bunga untuk ziarah makam, ada juga yang membelinya untuk menghias rumah sebagai bagian dari menyambut hari kemenangan.
Kehadiran pasar kembang menjelang lebaran bukan hanya penting dari sisi budaya, tapi juga dari aspek ekonomi. Tradisi ini menjadi peluang emas bagi banyak pedagang musiman untuk mencari rezeki tambahan.
Tidak hanya ibu-ibu rumah tangga, banyak anak muda dan lansia yang turut menjual bunga, baik hasil petikan sendiri dari kebun maupun dari pemasok besar. Aktivitas ini menciptakan semacam ruang ekonomi inklusif, di mana siapa pun bisa berkontribusi dan mengambil bagian.
Lonjakan permintaan bunga juga berdampak pada harga jual. Jika biasanya bunga tabur dijual sekitar Rp65.000 per kilogram, menjelang lebaran harganya bisa melonjak hingga Rp100.000. Namun, kenaikan harga tidak menyurutkan minat pembeli.
Mereka tetap datang dengan semangat, karena nilai emosional dan spiritual dari tradisi ini jauh lebih penting daripada sekadar harga. Menabur bunga di makam menjadi cara untuk ‘berbicara’ dengan orang yang telah pergi, menyampaikan doa dan kasih sayang yang tak lekang oleh waktu.
Lebih dari itu, suasana pasar kembang menjelang lebaran menghadirkan gambaran yang indah tentang kebersamaan masyarakat. Warna-warni bunga yang tersusun rapi, aroma harum yang menyegarkan, serta interaksi hangat antara pedagang dan pembeli menciptakan atmosfer yang penuh keakraban.
Aktivitas ini menjadi semacam ruang sosial yang mempererat hubungan antarwarga, sekaligus tempat bertemunya nilai-nilai religius, budaya, dan ekonomi secara bersamaan.
Tidak hanya itu, pasar kembang juga menjadi representasi dari kesadaran kolektif untuk menjaga nilai-nilai luhur dalam kehidupan modern. Di tengah arus perubahan zaman yang cepat, tradisi ini tetap lestari karena ada komitmen bersama untuk terus merawatnya.
Lebaran tidak hanya soal pakaian baru atau makanan khas, tetapi juga tentang membersihkan hati, mengenang yang telah pergi, dan memperkuat jalinan sosial di antara sesama.
Melalui pasar kembang, kita belajar bahwa hal-hal sederhana seperti menabur bunga bisa menjadi simbol kekuatan cinta, penghormatan, dan rasa syukur. Tradisi ini bukan hanya menjadi ritual tahunan, melainkan juga menjadi pengingat bahwa akar budaya kita sangat kaya dan layak dijaga. Jika terus dipelihara, budaya ini akan tetap hidup dan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.
Budaya pasar kembang menjelang lebaran adalah contoh nyata bahwa tradisi lokal bisa tetap relevan dan bermakna di tengah modernitas. Ia bukan hanya sekadar tempat transaksi, tapi ruang batin untuk menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam.
Semangat gotong royong, toleransi, dan saling menghormati yang hadir di dalamnya menunjukkan bahwa Indonesia tetap kaya akan tradisi yang membumi, menyentuh, dan membentuk karakter bangsa.