Bullying bukan sekadar tindakan iseng atau candaan yang kelewat batas. Ia merupakan perilaku menyakiti baik fisik, verbal, maupun psikologis yang dilakukan secara sadar, berulang, dan bertujuan melemahkan pihak lain.
Bentuknya beragam: ejekan, intimidasi, kekerasan fisik, pengucilan, hingga penyebaran fitnah dan kebencian melalui media sosial. Dalam banyak kasus, bullying tumbuh dari ketimpangan relasi kekuasaan: seseorang merasa lebih kuat, lebih dominan, atau lebih layak mendikte orang lain.
Karena itu, bullying bukan persoalan kecil; ia adalah bentuk kekerasan yang merusak martabat manusia serta menggerogoti sendi hubungan sosial.
Dampak bullying sering kali tidak tampak secara kasatmata, tetapi meninggalkan luka mendalam. Korban kerap merasa sendirian, kehilangan rasa aman, dan tidak memiliki tempat untuk bersandar. Rasa cemas, stres berkepanjangan, serta depresi menjadi bayang-bayang yang menghantui keseharian mereka.
Dalam kondisi ekstrem, korban dapat kehilangan makna hidup hingga memilih jalan tragis: mengakhiri hidupnya sendiri. Kasus-kasus demikian menegaskan bahwa bullying bukan sekadar gangguan perilaku remaja, melainkan ancaman yang mengusik keselamatan jiwa bila tidak segera dicegah oleh lingkungan sekitar.
Lebih jauh, bullying merusak tatanan sosial yang seharusnya dibangun di atas saling menghargai. Lingkungan yang membiarkannya tumbuh perlahan berubah menjadi ruang yang penuh ketakutan. Kepercayaan antarsesama melemah, keterhubungan sosial retak, dan solidaritas menguap.
Di ruang semacam itu, warga tidak lagi merasa aman atau diterima. Padahal, kohesi sosial adalah modal penting bagi masyarakat yang ingin tumbuh sehat: masyarakat yang memberi ruang bagi setiap orang untuk dihargai, dihormati, dan berkembang tanpa takut dilukai.
Dari perspektif kewarganegaraan, bullying jelas bertentangan dengan prinsip dasar menjadi warga negara yang baik. Warga negara yang bertanggung jawab seharusnya menjunjung hak orang lain, menjaga harmoni sosial, dan melindungi kelompok yang lemah.
Bullying justru melakukan hal sebaliknya: ia merendahkan martabat sesama dan meniadakan rasa aman. Pelaku bullying, pada titik tertentu, bukan hanya melukai korban, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab moral dan sosialnya sebagai bagian dari komunitas politik bernama bangsa.
Bullying juga mencederai semangat “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan itu bukan sekadar slogan, melainkan panduan moral bagi bangsa majemuk seperti Indonesia. Kita hidup di tengah keberagaman suku, agama, budaya, penampilan, dan latar belakang.
Keberagaman adalah kekuatan, bukan alasan untuk merendahkan atau mempertentangkan satu sama lain. Namun bullying sering lahir dari sikap merasa lebih unggul dan menertawakan perbedaan. Sikap seperti ini, bila dibiarkan, perlahan meruntuhkan semangat persatuan yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa.
Nilai-nilai kewarganegaraan toleransi, empati, gotong royong, dan persatuan akan rapuh ketika bullying dibiarkan berulang. Toleransi menuntut kita menerima perbedaan, bukan menjadikannya bahan olok-olok.
Empati mengajak kita memahami perasaan orang lain, bukan menambah lukanya. Gotong royong dibangun atas kerja sama, bukan saling menjatuhkan. Persatuan mengingatkan bahwa menyakiti sesama pada dasarnya merusak keharmonisan kolektif. Nilai-nilai ini hanya menjadi slogan kosong bila tidak diwujudkan dalam tindakan sehari-hari.
Sebagai warga negara, kita memiliki kewajiban moral untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi semua. Mencintai Indonesia tidak berhenti pada simbol, tetapi tercermin dari bagaimana kita memperlakukan sesama.
Sikap saling menghormati dalam interaksi sehari-hari adalah bukti nyata bahwa nilai kewarganegaraan hidup dalam diri kita. Tindakan kecil seperti membela teman yang diejek atau menegur perilaku yang merendahkan orang lain dapat memperkuat budaya saling mengayomi.
Menghentikan bullying adalah tanggung jawab kolektif. Kita perlu peka terhadap tanda-tanda penderitaan orang lain, berani menghentikan perilaku yang menyakiti, dan ikut membangun budaya menghargai martabat manusia.
Upaya ini bukan hanya melindungi korban, tetapi juga memperkuat jati diri bangsa sebagai negara yang menjunjung keberagaman. Semakin dini kita menanamkan budaya anti-bullying, semakin besar peluang menciptakan ruang hidup yang aman dan adil bagi semua.
Pada akhirnya, bullying dan nilai kewarganegaraan tidak mungkin berjalan seiring. Bullying melahirkan ketakutan, luka batin, dan bahkan kehilangan nyawa. Sebaliknya, nilai-nilai kewarganegaraan mengarah pada kehidupan yang damai, setara, dan harmonis dalam keberagaman.
Bila kita ingin membangun Indonesia yang kokoh, pekerjaan itu harus dimulai dari hal yang paling mendasar: menghentikan bullying dan menghidupkan kembali makna “Bhinneka Tunggal Ika” dalam setiap tindakan. Di situlah letak kemajuan bangsa pada kemampuan kita menghargai sesama sebagai sesama manusia.





