Seruan “Aku cinta Indonesia” selalu menggema saat hari-hari besar nasional tiba. Namun gema itu terdengar timpang ketika keseharian kita justru dipenuhi praktik perundungan yang kian mengakar.
Sulit menyebut diri mencintai NKRI jika pada saat bersamaan kita membiarkan sesama warga terutama anak dan remaja dihina, dikucilkan, atau disakiti. Pada titik ini, layak ditegaskan bahwa membiarkan bullying tumbuh berarti membiarkan nilai Pancasila terkikis perlahan.
Bullying: Bukan Insiden Sepele, tetapi Krisis Sosial
Data terbaru menunjukkan situasi yang jauh dari terkendali. Sepanjang 2025, Kementerian Kesehatan mencatat 2.621 laporan bullying. Komnas Perlindungan Anak melaporkan kenaikan 34 persen kasus kekerasan terhadap anak hanya dalam dua bulan pertama tahun yang sama. Mayoritas korban dalam basis data SIMFONI-PPA adalah perempuan, sementara 48 persen anak Indonesia mengaku pernah mengalami cyberbullying.
Lebih memprihatinkan, sekolah dan kampus ruang yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru menjadi lokasi paling rawan. Kasus di Muratara, Konawe, dan Grobogan pada 2025 memperlihatkan bahwa perundungan terjadi pada semua jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Survei 2022 bahkan menunjukkan satu dari lima mahasiswa pernah menjadi korban bullying. Ditambah fakta bahwa hampir 40 persen kasus bunuh diri dipicu perundungan, kita tidak bisa lagi menganggap fenomena ini sebagai “dosa kecil” atau sekadar dinamika pertumbuhan remaja.
Pertanyaannya menjadi sederhana namun fundamental: apa arti bangga pada Indonesia jika generasi mudanya tumbuh dalam budaya saling melukai?
Dalam bentuk apa pun verbal, fisik, relasional, maupun digital bullying merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Bagaimana sila kedua dapat diwujudkan ketika penghinaan terhadap logat daerah, bentuk tubuh, atau warna kulit dianggap “candaan”?
Sila ketiga mengenai persatuan Indonesia pun tercabik ketika masyarakat tanpa sadar membagi dirinya menjadi “yang kuat” dan “yang layak dipermalukan”. Keberagaman sering dipuji sebagai kekuatan bangsa, namun keberagaman tidak akan pernah menjadi kekuatan jika tidak aman untuk dirayakan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa pelaku perundungan di sekolah sepanjang 2024–2025 tidak hanya berasal dari antar-murid, tetapi juga melibatkan guru. Bila institusi pendidikan penjaga moral masa depan bangsa mengalami erosi nilai seperti ini, maka persoalannya bukan semata lemahnya disiplin, melainkan runtuhnya fondasi etika.
Regulasi formal, seperti Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 tentang satuan tugas pencegahan kekerasan, merupakan langkah penting. Namun kebijakan tanpa perubahan budaya tak lebih dari berkas administratif. Pencegahan bullying memerlukan tiga lapis komitmen yang saling melengkapi.
Pertama, institusi pendidikan harus tegas dan konsisten dengan kebijakan zero tolerance, menyediakan mekanisme pelaporan yang aman, serta pendampingan psikologis yang memadai. Kedua, orang tua dan masyarakat perlu melek empati, bukan justru menormalisasi kekerasan sebagai “pembentukan mental” atau “bumbu kehidupan sosial.” Ketiga, negara perlu menggerakkan kampanye lintas sektor: tokoh agama, media massa, influencer, hingga figur publik, agar budaya anti-bullying menjadi arus utama.
Pada akhirnya, ada peran individu yang tak dapat diabaikan. Diam ketika melihat perundungan adalah bentuk persetujuan pasif. Dan persetujuan pasif terhadap kekerasan merupakan pengingkaran terhadap prinsip NKRI yang dibangun untuk menjaga martabat setiap warganya.
Cinta NKRI tidak diukur dari seberapa sering kita mengibarkan bendera atau mengunggah slogan keberagaman. Cinta itu diukur dari seberapa aman setiap anak Indonesia tumbuh menjadi dirinya sendiri, tanpa rasa takut atau rasa malu yang ditanamkan oleh lingkungannya.
Bullying bukan budaya Indonesia. Ia adalah penyakit sosial yang merusak nilai kemanusiaan, kebersamaan, dan persatuan. Jika kita ingin seruan “Aku cinta Indonesia” benar-benar jujur, maka perjuangan pertama adalah memastikan tidak ada satu anak pun yang harus memikul luka akibat perundungan. Di situlah cinta NKRI diuji dan dibuktikan.





