Dampak Psikologis Perubahan Iklim: Antara Kecemasan dan Ketidakpastian

Ilustrasi menggambarkan kecemasan generasi muda terhadap masa depan bumi yang semakin tak pasti akibat krisis iklim global. (GG)
Ilustrasi menggambarkan kecemasan generasi muda terhadap masa depan bumi yang semakin tak pasti akibat krisis iklim global. (GG)

Perubahan iklim merupakan persoalan global yang semakin nyata dirasakan dampaknya oleh umat manusia. Krisis ini tak lagi menjadi sekadar isu lingkungan semata, melainkan telah menyentuh berbagai dimensi kehidupan, termasuk aspek psikologis yang sering kali luput dari perhatian.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini semakin memengaruhi kehidupan sehari-hari manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bacaan Lainnya

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021, suhu rata-rata bumi diperkirakan akan meningkat sebesar 1,5 derajat Celsius, bahkan lebih, pada dekade ini. Peningkatan suhu tersebut menjadi indikator nyata bahwa perubahan iklim telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Dampak yang paling sering dibahas adalah kerusakan fisik dan lingkungan, seperti naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrem, serta kerusakan ekosistem. Namun, di balik itu, ada dampak psikologis perubahan iklim yang tidak kalah serius dan mulai dirasakan oleh banyak orang.

Fenomena seperti eco-anxiety (kecemasan terhadap lingkungan), climate grief (duka karena kerusakan alam), dan perasaan tidak berdaya dalam menghadapi masa depan, kini banyak dialami terutama oleh generasi muda.

Ketidakpastian terhadap nasib bumi, kekhawatiran akan bencana yang tidak bisa diprediksi, serta rasa kehilangan atas lingkungan yang rusak telah menjadi beban psikologis tersendiri. Dalam konteks ini, perubahan iklim tidak hanya merusak alam dan sumber daya, tetapi juga mengganggu kesehatan mental individu maupun komunitas.

Contoh nyata bisa dilihat di Indonesia, seperti di Sulawesi Tengah. Berdasarkan laporan BMKG tahun 2025, curah hujan rata-rata tahunan di wilayah ini mengalami peningkatan sebesar 15% dalam dua dekade terakhir.

Dampak terparah terjadi pada tahun 2020 dan 2022, ketika banjir besar melanda Kota Palu dan sekitarnya. Peristiwa ini tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik seperti hutan dan infrastruktur, tetapi juga meninggalkan trauma yang mendalam bagi masyarakat setempat.

Contoh lainnya terjadi di Bali, tepatnya di wilayah Tabanan. Cuaca yang tidak menentu dan curah hujan tinggi menyebabkan kerusakan jalan utama. Hal ini mengakibatkan biaya operasional transportasi meningkat hingga 25% dan menimbulkan kelelahan luar biasa bagi para sopir, yang harus menempuh rute lebih jauh dengan kondisi jalan yang tidak dapat diprediksi (Tribun, 2025). Situasi-situasi semacam ini secara tidak langsung menciptakan tekanan psikologis akibat ketidakpastian yang terus menerus.

Di negara-negara lain yang juga rentan terhadap bencana iklim seperti banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan, masyarakat menunjukkan gejala stres berkepanjangan, trauma, bahkan depresi.

Sayangnya, isu kesehatan mental dalam krisis iklim ini masih belum banyak mendapat perhatian dalam kebijakan publik, padahal sejatinya kesehatan mental adalah bagian penting dari ketahanan masyarakat dalam menghadapi krisis lingkungan.

Nevid et al. (2003) menyatakan bahwa kecemasan adalah respons normal terhadap ancaman. Namun, kecemasan bisa menjadi abnormal bila intensitasnya tidak sebanding dengan ancaman yang nyata, atau muncul tanpa pemicu yang jelas.

Karena itu, diperlukan intervensi profesional untuk menangani kecemasan akibat perubahan iklim. Menurut Gunasari (2022), kecemasan terkait perubahan iklim bisa menyebabkan gangguan tidur, stres berlebihan, hingga depresi. Untuk mengatasi hal ini, penting bagi individu untuk terlebih dahulu mengenal dirinya.

Salah satu metode yang disarankan adalah dengan menulis jurnal reflektif secara rutin. Contohnya: Apa yang kamu pikirkan hari ini? Perasaan dominan apa yang kamu rasakan dan kenapa? Situasi apa yang membuatmu nyaman atau tidak nyaman? Apa yang kamu pelajari tentang dirimu hari ini? Dengan rutin menulis jurnal, seseorang dapat melacak perubahan emosional dan mengidentifikasi pertumbuhan pribadi, sehingga dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan.

Menyadari dampak psikologis perubahan iklim menjadi penting agar masyarakat dan para pembuat kebijakan dapat membangun pendekatan yang lebih menyeluruh. Krisis iklim bukan hanya persoalan teknis atau ekonomi, melainkan juga persoalan emosional dan kesejahteraan jangka panjang.

Diperlukan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa kesehatan mental tidak diabaikan dalam setiap respons terhadap perubahan iklim yang kian kompleks.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *