Kasus perceraian pasangan selebritas Ria Ricis dan Teuku Ryan mencuat di awal tahun 2024 dan menjadi konsumsi publik yang sangat luas. Ria Ricis resmi mengajukan gugatan cerai pada 30 Januari 2024 setelah menikah sejak November 2021 dan dikaruniai seorang anak.
Pernikahan yang selama ini tampak harmonis akhirnya menemui titik akhir, terutama setelah berbagai dokumen persidangan tersebar di media sosial. Pada sidang putusan tanggal 2 Mei 2024, gugatan cerai dikabulkan, dan hak asuh anak diberikan kepada Ria Ricis, dengan catatan bahwa Teuku Ryan tetap dapat menemui dan menunjukkan kasih sayangnya kepada sang anak.
Dalam dokumen persidangan, terungkap bahwa Ria Ricis mengalami berbagai ketidaknyamanan dalam rumah tangganya. Ia merasa tidak dihargai secara emosional, salah satunya ketika ibunda Teuku Ryan menegurnya karena memberikan minuman dingin kepada suaminya saat berbuka puasa, padahal saat itu Ria sedang hamil muda dan membutuhkan ketenangan.
Ketegangan tersebut berlanjut ketika Ria mencoba menyampaikan perasaannya, namun Teuku Ryan lebih membela ibunya alih-alih mendukung istrinya. Perasaan tersisih, sedih, dan kurang diperhatikan pun terus membayangi Ria.
Puncak konflik terjadi ketika Ria Ricis merasa diabaikan oleh suami selama seminggu penuh karena urusan keuangan. Komunikasi kembali terjalin setelah Ria mentransfer uang sebesar Rp500 juta, sebuah langkah yang ia lakukan atas inisiatif sendiri demi memulihkan relasi.
Namun respons Teuku Ryan justru mengabaikan niat baik tersebut, menyatakan bahwa uang itu adalah hasil kerja kerasnya, bukan pemberian dari istrinya. Ungkapan tersebut menjadi titik balik bagi Ria, yang merasa bahwa segala bentuk pengorbanan, baik emosional maupun material, tidak dianggap sebagai bentuk cinta dan dukungan, melainkan transaksi yang tidak dihargai.
Apa yang dialami oleh Ria Ricis mencerminkan adanya ketimpangan dalam relasi suami-istri, terutama ketika dilihat dari sudut pandang teori pertukaran sosial. Teori ini menyatakan bahwa hubungan interpersonal terjadi karena adanya pertimbangan untung dan rugi (reward and cost).
Ketika seseorang merasa telah berkorban banyak tanpa menerima imbalan yang sepadan, hubungan tersebut akan dianggap tidak bermakna.
Dalam hal ini, Ria Ricis telah menginvestasikan banyak hal emosi, waktu, energi, bahkan uang namun merasa tidak mendapatkan dukungan yang seharusnya dari pasangan. Dalam perspektif teori pertukaran sosial, kondisi ini mengarah pada outcome negatif, yaitu ketika pengorbanan lebih besar daripada penghargaan yang diterima.
Ketika outcome tersebut jauh dari ekspektasi (comparison level/CL), maka seseorang cenderung merasa tidak puas. Lebih jauh, ketika seseorang melihat bahwa ada pilihan lain yang lebih baik dari hubungan saat ini (comparison level for alternatives/CLalt), maka ia cenderung memilih untuk meninggalkan hubungan tersebut.
Pengalaman Ria Ricis menggambarkan bahwa harapan akan kasih sayang, dukungan emosional, dan rasa aman sebagai seorang istri tidak terpenuhi. Ia tidak hanya merasa diabaikan secara emosional, tetapi juga mengalami pengabaian fisik dan finansial.
Ia berharap bahwa dengan memberikan perhatian dan bantuan, suaminya akan bersikap lebih baik, tetapi harapan itu tidak terwujud. Dalam konteks pertukaran sosial, harapan (CL) yang tidak terpenuhi dan adanya alternatif yang lebih menjanjikan (CLalt) menjadi alasan rasional bagi Ria untuk mengakhiri hubungan.
Lebih jauh, prinsip timbal balik (reciprocity) menjadi aspek penting dalam relasi ini. Dalam hubungan yang sehat, setiap pihak memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan timbal balik atas kasih sayang dan dukungan yang diberikan. Namun, dalam kasus ini, tampak bahwa Ria Ricis telah memberi lebih banyak dibandingkan yang ia terima.
Bahkan ketika ia berusaha menyelamatkan hubungan melalui bantuan finansial, respons suami justru bersifat menolak dan memanipulasi makna pengorbanannya. Ketidakseimbangan ini memperlihatkan bahwa relasi mereka tidak berada dalam jalur timbal balik yang setara.
Dengan menggunakan teori pertukaran sosial dari Thibaut dan Kelley, kita bisa memahami bagaimana kalkulasi sosial bekerja dalam relasi pernikahan. Ketika outcome (hasil imbalan dikurangi biaya) bernilai negatif, dan berada di bawah standar harapan serta kemungkinan alternatif, maka keputusan untuk mundur dari hubungan menjadi masuk akal. Itulah yang terjadi pada Ria Ricis.
Secara sosial, kasus ini menyoroti bagaimana ekspektasi terhadap pernikahan dalam masyarakat kini tidak hanya berdasar pada cinta semata, namun juga melibatkan faktor ekonomi emosional dan rasionalitas relasional.
Hubungan suami-istri tidak lagi dilihat sebagai institusi sakral semata, melainkan sebagai interaksi dua individu yang membutuhkan penghargaan, pengakuan, dan timbal balik yang adil. Publikasi kasus-kasus artis di media sosial memperlihatkan betapa besarnya perhatian masyarakat terhadap keadilan dalam hubungan. Banyak orang menjadi lebih sadar bahwa relasi yang sehat ditandai dengan keseimbangan antara apa yang diberikan dan diterima.
Dalam tataran konseptual, teori pertukaran sosial memberikan landasan kuat untuk menganalisis mengapa banyak hubungan gagal bertahan. Ia mengajak kita untuk melihat relasi sebagai kontrak sosial yang memerlukan kejelasan dalam hak dan kewajiban, serta kesediaan kedua belah pihak untuk terus menyesuaikan diri terhadap kebutuhan satu sama lain.
Kegagalan dalam menjaga keseimbangan ini, sebagaimana terjadi pada Ria Ricis dan Teuku Ryan, menunjukkan bahwa cinta tanpa keadilan dan pengorbanan yang tidak mendapat penghargaan akan menjadi relasi yang rapuh.
Kita dapat mengambil pelajaran bahwa dalam relasi apapun, terutama dalam pernikahan, penting untuk selalu mengukur kembali apakah hubungan tersebut masih saling menguntungkan atau justru hanya memberatkan satu pihak. Teori pertukaran sosial tidak hanya menjadi alat untuk memahami hubungan personal, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat dalam menilai pentingnya rasa adil dan setara dalam membangun sebuah keluarga.