Dilema Anak-Anak Indonesia: Pilih Sekolah atau Bekerja?

Ilustrasi foto/vecteezy
Ilustrasi foto/vecteezy

Masalah anak-anak putus sekolah di Indonesia masih menjadi tantangan besar yang membutuhkan perhatian serius. Tekanan ekonomi sering kali menjadi alasan utama anak-anak memilih bekerja daripada belajar.

Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkat putus sekolah mencapai 1,34% di tingkat SD, 4,12% di SMP, dan melonjak hingga 5,67% di SMA. Angka ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar risiko anak meninggalkan bangku sekolah.

Bacaan Lainnya

Salah satu penyebab utamanya adalah kondisi ekonomi keluarga. Di daerah pedesaan, banyak anak harus membantu orang tua dengan bekerja sebagai buruh tani, pedagang kecil, atau pekerjaan serupa.

Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Indonesia Pintar (PIP), kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tantangan masih besar.

Laporan Puslapdik Kemendikbud menyatakan bahwa meskipun PIP berhasil menurunkan angka putus sekolah di beberapa wilayah, masih banyak anak di kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang belum terjangkau program ini.

Selain itu, seperti dilaporkan oleh GoodStats, peningkatan anggaran pendidikan belum sepenuhnya efektif. Ketidakmerataan distribusi anggaran dan tekanan ekonomi keluarga menjadi penghalang utama. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah sering kali lebih memilih bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, meskipun usia mereka masih masuk dalam kewajiban belajar.

Pandemi COVID-19 memperburuk situasi ini. Pembatasan aktivitas ekonomi selama pandemi menyebabkan banyak keluarga kehilangan mata pencaharian, memaksa anak-anak untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak dapat diakses secara merata, terutama di daerah terpencil yang minim infrastruktur dan jaringan internet. Hal ini menciptakan kesenjangan pendidikan yang semakin besar, di mana hanya anak-anak dengan akses memadai yang mampu melanjutkan pendidikan secara optimal.

Baca Juga: Efek Samping Media Sosial di Era Sekarang

Dampaknya, pandemi tidak hanya memengaruhi kesehatan, tetapi juga memicu krisis sosial dan pendidikan yang kompleks.

Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan solusi yang lebih inovatif dan terintegrasi. Salah satu konsep yang bisa dikembangkan adalah Program Sekolah Berkelanjutan Nusantara. Program ini mengombinasikan teknologi, pemberdayaan komunitas, dan pelibatan masyarakat lokal secara menyeluruh.

Misalnya, perpustakaan keliling yang sebelumnya ada bisa ditingkatkan menjadi kendaraan belajar keliling yang dilengkapi fasilitas komputer, perpustakaan mini, dan alat peraga pendidikan. Kendaraan ini juga dapat membawa relawan untuk membimbing anak-anak belajar.

Baca Juga: Literasi Digital: Kunci Melawan Hoaks dan Disinformasi

Selain itu, pembelajaran berbasis perangkat digital tanpa koneksi internet juga dapat diimplementasikan. Materi pelajaran disimpan dalam aplikasi, sehingga anak-anak di daerah tanpa jaringan tetap bisa mengakses pendidikan. Pendekatan ini memberikan solusi bagi mereka yang kesulitan dengan akses teknologi.

Penting pula melibatkan orang tua dan masyarakat. Orang tua dapat dilatih untuk membantu anak belajar di rumah, sementara komunitas atau relawan dapat menjadi mentor. Pendekatan ini memastikan pendidikan tidak hanya bergantung pada sekolah formal, tetapi juga didukung lingkungan sekitar. Dengan demikian, anak-anak Indonesia dapat memiliki akses pendidikan yang lebih merata, tanpa harus mengorbankan masa depan mereka demi tekanan ekonomi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *