Dua Wajah di Satu Tubuh Seorang Content Creator, Ketika Kamera dan Kenyataan Bertabrakan

Ilustrasi tentang peran ganda seorang content creator yang hidup di dua dunia, panggung kamera dan panggung kehidupan nyata. (GG)
Ilustrasi tentang peran ganda seorang content creator yang hidup di dua dunia, panggung kamera dan panggung kehidupan nyata. (GG)

Sebagai seorang content creator, saya terbiasa tampil di depan kamera. Dunia digital telah menjadi panggung utama dalam keseharian saya, di mana saya berperan sebagai sosok yang menghibur, menyenangkan, dan senantiasa terlihat percaya diri.

Namun, kehidupan yang saya jalani tidak sesederhana apa yang terlihat di layar. Ada kehidupan lain yang tidak terekam kamera lebih sunyi, lebih jujur, dan penuh sisi personal yang jarang terlihat. Inilah ruang di mana saya menjadi diri sendiri, tanpa topeng, tanpa sorotan, dan tanpa naskah.

Bacaan Lainnya

Konsep ini sangat erat kaitannya dengan teori dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman. Teori tersebut menjelaskan bahwa kehidupan sosial manusia mirip dengan panggung sandiwara. Setiap individu memainkan peran berbeda-beda dalam berbagai konteks sosial yang mereka hadapi.

Sebagai content creator, saya memainkan peran sebagai “aktor” yang harus tampil memikat di depan kamera, namun memiliki sisi lain yang tidak selalu bisa dipublikasikan kepada khalayak luas.

Dualitas Peran dan Pengalaman Pribadi

Pengalaman saya dalam dunia konten menjadikan teori ini tidak lagi sekadar konsep akademik, tetapi kenyataan sehari-hari yang saya alami. Di satu sisi, saya dituntut untuk menjadi pribadi yang menyenangkan dan produktif dalam menghadirkan konten. Di sisi lain, dalam lingkungan keluarga maupun sosial, saya adalah pribadi yang lebih sederhana, tanpa tekanan ekspektasi eksternal.

Dalam membuat konten, saya berusaha menciptakan karakter yang sesuai dengan preferensi penonton. Gaya bicara, pilihan kata, hingga gestur tubuh saya bentuk sedemikian rupa agar bisa menarik perhatian. Tetapi ketika berada di rumah, saya tidak perlu lagi memainkan peran itu. Saya bisa menanggalkan karakter tersebut dan menjadi manusia biasa dengan segala kekurangan dan kejujuran yang dimiliki.

Metodologi dan Pendekatan Penelitian

Sebagai seorang akademisi sekaligus pelaku konten digital, saya mencoba menelaah fenomena ini melalui pendekatan studi kasus yang berangkat dari pengalaman pribadi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, untuk memahami bagaimana saya menampilkan diri dalam dua ruang berbeda: di depan kamera dan dalam kehidupan sehari-hari. Fokus penelitian ini terletak pada bagaimana saya memainkan peran di ruang publik dan privat, serta bagaimana saya menjaga keseimbangan antara keduanya.

Melalui analisis menggunakan teori dramaturgi, saya mengamati bagaimana tiap-tiap peran saya konstruksi secara sosial, baik untuk menciptakan kesan tertentu maupun untuk memenuhi ekspektasi masyarakat digital.

Panggung dan Belakang Panggung

Ketika berada di depan kamera, saya berada di panggung depan (front stage). Di sini, saya berusaha menampilkan citra diri yang optimal, bahkan cenderung ideal. Saya mengatur pencahayaan, memilih kata, mempersiapkan ekspresi, dan memastikan semuanya tampak sempurna. Kamera menjadi cermin yang menuntut konsistensi, dan algoritma media sosial menjadi hakim atas apakah peran saya berhasil diterima.

Namun, ketika kamera mati dan saya kembali ke kehidupan sehari-hari, saya berpindah ke panggung belakang (back stage). Di sinilah saya bebas menjadi diri sendiri tanpa tuntutan ekspektasi penonton. Saya bisa menunjukkan kelemahan, kelelahan, bahkan keraguan. Dalam ruang ini, saya tidak perlu membentuk citra, saya hanya perlu menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Asumsi dan Analisis

Beberapa asumsi yang bisa ditarik dari pengalaman ini antara lain bahwa kehidupan sosial dapat dianalisis sebagai pertunjukan drama, bahwa setiap individu memiliki kontrol atas bagaimana mereka tampil di ruang publik, dan bahwa ada perbedaan signifikan antara kehidupan di panggung (depan kamera) dan kehidupan di balik panggung (rumah atau kehidupan pribadi).

Saya percaya bahwa setiap orang pada dasarnya memainkan berbagai peran dalam hidupnya. Namun, dalam konteks content creator, tuntutan akan konsistensi citra sangat tinggi. Kita bukan hanya dituntut untuk kreatif, tetapi juga harus bisa mempertahankan persona yang menyenangkan dan “terjual”.

Di balik itu, ada kebutuhan psikologis untuk menjaga keseimbangan antara peran sosial dan identitas pribadi. Ketika peran yang dimainkan terlalu jauh menyimpang dari identitas diri, maka muncul tekanan mental yang tidak sedikit. Ini bisa berujung pada kelelahan emosional, bahkan krisis eksistensial.

Keseimbangan yang Krusial

Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara dua wajah ini sangat penting. Saya menyadari bahwa saya tidak bisa terus-menerus bermain peran tanpa henti. Saya harus memiliki ruang untuk menjadi versi asli dari diri saya, tanpa harus menuruti keinginan pasar atau algoritma media sosial.

Saya juga mulai menyadari bahwa keterbukaan terhadap audiens bukan berarti harus membongkar semua hal pribadi. Namun, ada nilai dalam kejujuran dan kesederhanaan. Konten yang autentik seringkali lebih menyentuh karena berangkat dari pengalaman nyata.

Melalui refleksi ini, saya ingin menyampaikan bahwa menjadi content creator bukan hanya tentang bagaimana kita tampil di layar, tetapi juga tentang bagaimana kita merawat sisi personal yang tidak terlihat publik.

Dalam konteks teori dramaturgi, kita semua adalah aktor sosial yang memainkan berbagai peran dalam hidup. Namun, penting untuk tetap menyadari bahwa panggung utama dalam hidup kita bukanlah kamera, melainkan ruang-ruang pribadi di mana kita bisa menjadi manusia seutuhnya.

Dengan memahami peran kita dan menjaga keseimbangan antara citra sosial dan identitas pribadi, kita bisa menjadi individu yang lebih utuh dan jujur. Dunia digital memang menuntut performa, tetapi kehidupan nyata menuntut kejujuran. Dan di antara keduanya, kita terus berproses menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *