Dusta Cempaka

Ilustrasi foto/freepik
Ilustrasi foto/freepik

Dilansir dari Ensiklopedia Sastra Indonesia, D. Zawawi Imron dikenal sebagai penyair asal Batang-Batang, Sumenep, Madura. Sajak-sajaknya sering kali menghadirkan tema perenungan tentang alam, terutama alam Madura. Lingkungan tempat ia dilahirkan yang kental dengan budaya Madura dan masyarakat yang sangat taat beragama (Islam) sangat memengaruhi tema sajak-sajaknya.

Selain sebagai penyair, Zawawi juga dikenal sebagai mubalig di wilayah Madura dan Jawa Timur. Sebagai juru dakwah, ia sering mendapatkan simpati dalam menyampaikan risalah-risalah Islam.

Bacaan Lainnya

Nama Zawawi mulai mengorbit setelah kritikus Subagio Sastrowardojo membahas karyanya pada acara Pertemuan Penyair Sepuluh Kota yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada April 1982. Pada tahun yang sama, dalam acara Temu Penyair Muda di Taman Ismail Marzuki, Subagio memilih Zawawi sebagai salah satu penyair terbaik bersama Kriapur. Tulisan-tulisan Zawawi banyak dimuat di koran dan majalah, seperti Horison. Salah satu buku kumpulan sajaknya yang terkenal adalah Bulan Tertusuk Ilalang (Balai Pustaka, 1982).

Puisi berjudul “Dusta” adalah salah satu karya D. Zawawi Imron yang diterbitkan di Jawa Pos pada 2024, bersamaan dengan tiga puisi lain, yaitu Kenapa, Anak-Anak, dan Dialog.

Baca Juga: Hujan dan Kerinduan

Menurut Pradopo (2010:7), puisi adalah rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam bentuk yang paling berkesan. Sementara itu, Endraswara (2008:12) menyatakan bahwa psikologi sastra penting dalam memahami karya sastra karena dapat mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan, memberi umpan balik tentang karakter, dan membantu analisis karya sastra yang sarat masalah psikologi. Dalam tulisan ini, puisi “Dusta” akan diapresiasi menggunakan pendekatan psikologi, khususnya psikologi karya.

DUSTA

Untuk menikmati harum cempaka apakah
Bunga itu harus dicium?
Tidak usah!
Kita punya udara yang tidak berdusta pada cuaca.

Dusta itu milik manusia
Bukan milik bunga dan udara
Karena itu bersujudlah!

Sebelum masuk ke pembahasan puisi di atas, terdapat ilustrasi menarik sebuah lentera dan lafadz Allah SWT yang diapit oleh keempat puisi karya D. Zawawi Imron itu. Seolah memberi sedikit gambaran tentang isi dari puisi-puisinya, yang mungkin bertemakan tentang Allah SWT yang dipercaya umat Islam sebagai Tuhan yang Esa dan menjadi penerang bagi kehidupan hamba-Nya.

Untuk menikmati harum cempaka apakah, Bunga itu harus dicium? pada larik pertama dan kedua bait pertama puisi tersebut aku-lirik menyampaikan secara harfiah apakah untuk mengetahui harum dari bunga, seseorang harus menciumnya secara langsung.

Akan tetapi seperti yang kita ketahui puisi selalu memiliki makna tersirat yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Mungkin makna tersirat yang ingin disampaikan aku-lirik adalah menyoal tentang orang-orang yang mempertanyakan wujud Tuhan, mereka yang selalu membutuhkan bukti konkret untuk percaya pada sesuatu.

Klausa ‘Bunga’ dalam larik kedua tersebut merujuk pada Tuhan. Diketahui Islam merupakan salah satu agama yang melarang umatnya untuk membayangkan seperti apa wujud Tuhan mereka. Aku-lirik berusaha menyampaikan apakah untuk mempercayai Tuhan, mereka harus mengetahui wujud nyata Tuhan seperti apa terlebih dahulu.

Tidak usah!, Kita punya udara yang tidak berdusta pada cuaca pada larik ketiga dan keempat mungkin yang dimaksud aku-lirik adalah kuasa Tuhan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Klausa ‘udara’ merujuk pada kuasa Tuhan. Ini memperkuat kemungkinan bahwa puisi ini membahas tentang Tuhan.

Seseorang tak perlu mempertanyakan tentang wujud Tuhan sedangkan kuasa Tuhan sudah jelas dapat kita dapat saksikan. Hidup dan matinya makhluk, silih bergantinya siang dan malam, berbagai keindahan alam, dan berbagai hal luar biasa di dunia ini yang tentunya tidak terlepas dari kuasa Tuhan bagi mereka yang mempercayainya.

Baca Juga: Keberanian dan Pengorbanan Demi Cinta

Dusta itu milik manusia, pada larik pertama bait kedua dalam KBBI klausa ‘Dusta’ memiliki makna tidak benar (tentang perkataan); bohong. Mungkin yang dimaksud aku-lirik pada larik ini merujuk pada kekurangan dan kelemahan manusia. Seperti yang kita ketahui manusia merupakan tempatnya salah, akan terasa begitu berlebihan jika seorang manusia mempertanyakan wujud Tuhan.

Bukan milik bunga dan udara, seperti yang sudah diurai pada larik kedua bait pertama klausa ‘Bunga’ merujuk pada Tuhan dan uraian larik keempat bait pertama klausa ‘udara’ merujuk pada kuasa Tuhan. Ini memperkuat kemungkinan yang dimaksud aku-lirik pada larik kedua bait kedua adalah Tuhan dan kuasa-Nya.

Kedua hal tersebut dianggap sebagai sesuatu hal yang tak memiliki kekurangan dan tak tercela sama sekali tidak seperti manusia. Karena itu bersujudlah!, larik terakhir pada bait kedua memperkuat kemungkinan bahwa keseluruhan puisi ‘Dusta’ karya D. Zawawi Imron membahas mengenai Tuhan, kuasa Tuhan, dan orang-orang yang berani menyoal tentang wujud Tuhan dan kuasa-Nya. Sebagai seorang manusia kita cukup mengimani apa yang sudah disampaikan kepada kita, taat dan tunduk kepada perintah-Nya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *